Ketika Edward John Smith Terbang di Langit Peking
Tribun Batam, 25 Oktober 2025
Jelang pukul 10 malam, 14 April 1912, ribuan mil di tenggara Pulau Newfoundland, setelah asik bercinta, dan bersenang-senang di dek bagasi kapal bermuatan 2.224 penumpang itu, Jack Dawson dan Rose DeWitt Bukater kesasar di ruang kemudi.
-----
OLEH BENNY ARNAS
————-
Seorang laki-laki 60 tahunan sedang menuang Bourbonke gelasnya ketika mereka membuka pintu bergambar kemudi kayu itu. Edward John Smith, demikian laki-laki Inggris itu memperkenalkan diri setelah mengajak sepasang remaja itu menemaninya minum.
“Tak ada tempat terbaik untuk minum selain di tempat Tuhan memercayai Titanic kunahkodai,” serunya seraya mengangkat botol wiski keluaran Kentucky County itu. “Ini bukan Scotch, bukan juga Irish. Ini minuman yang paling banyak dibicarakan hari ini!” Ia tertawa tanpa suara.
“Yakin kami tidak menganggumu, Kapten?” tanya Jack sebelum memulai tegukan pertamanya. Pikiran remaja 17 tahun itu kelabakan mendeskripsikan sensasi minuman fermentasi serealia itu. Kecut, sedikit manis, menggigit, tapi lembut di ujungnya.
Rose, seperti bisa membaca apa isi kepala sang kekasih, menahan tawa. “Apakah keluargamu ada di kapal ini?” Gadis bergaun tebal dengan potongan leher terbuka lebar hingga menampakkan celah paling lembut di antara dua bukit tinju yang bermukim di dadanya itu,menoleh kepada Edward.
Laki-laki yang rahang, dagu, dan kumisnya dipenuhi uban itu mengangguk. “Sarah ada di dek atas, blok 4A,” suaranya berat, serak, namun tegas.
“Apa?” teriak Rose. “Nyonya Sarah Smith? Oh, kamikemarin ngobrol. Kamu tidak pernah menemaninya, Edward?”
Laki-laki itu menggedikkan bahu, mau menjawab tapi ragu.
“Ia bercerita bahwa putri pertama kalian …”
“Helen,” timpal si kapten.
“Ya, Helen,” Rose mengiyakan, “lebih suka berlibur ke rumah neneknya. Dia bercerita dengan sedih. Kulihat wajahnya murung. Kupikir kau harus menyempatkan diri ke atas, Kapten.”
Edward mengangguk, masih ragu. “Aku sudah bilang agar Sarah ke Glasgow saja menemani Helen, tapi … baginya prestise di atas segalanya. Di kompleks kami, satu-satunya perempuan yang naik Titanic dengan fasilitas kelas satu adalah Sarah.”
“Tapi …”
“Poinnya adalah,” Edward tak mau memberinyakesempatan, “aku tidak bisa meninggalkan ruang kemudi karena jam berlayarku belum memungkinkanku melakukannya.”
Dahi Jack berkerut. Lalu ia minum lagi. “Bagaimana mungkin?!”
Edward menuang kembali wiski ke gelas Jack yang kosong. “Aku adalah petugas cadangan, Jack.”
Jack dan Rose membelalak.
“Arthur James seharusnya yang berbincang dengan kalian tentang apa saja malam ini. Menenggak wiski dan memandang langit paling perawan dengan bintang-bintang yang mengintip di sana-sini. Tapi …”
“Anda puitis sekali, Kapten,” kata Rose.
“Anda juga membaca sastra?” tembak Jack.
““Dua minggu lalu saya membaca Marlowe.”
Jack mengangguk. Wajahnya semringah. “Dr. Faustus?”
Edward membelalak. “The Tragic History of Dr. Faustus?”
Jack mengangguk. Lalu mereka bersulang lagi.
“Sebagai pembaca Shakespeare, tidakkah aku terlihat jauh dari otentik?” sindir Rose.
Edward tertawa, sebelum gadis itu mengembalikan topik percakapan. “Bukankah kau punya rekan? Jangan bilang kalau berhari-hari perjalanan kita ke New York kau akan membiarkan Sarah seorang diri?”
Edward berdeham. “Kapal ini memang hebat. Tapi, kapten dan awak inti kapal ini harus dirawat sepekan sebelum jadwal berangkat.”
Jack dan Rose saling pandang.
“Hingga Januari tahun ini, kami semua terperangkap di Cina. Tiga puluh awak diberi jatah berlibur ke Peking Desember tahun lalu sebelum memulai pelayaran bersejarah ini. Dan hanya lima orang yang selamat darimanchuria.”
“Manchuria?” Jack mengusap wajahnya.
“Alias pneumonia,” Edward melengkapi.
“Bagaimana kau … maaf,” kata Rose seraya menyibak poni berombaknya, “ … masih hidup saat ini?”
Jack kembali menegur Rose, tapi Edward mengangguk. “Aku 1 dari 5 orang itu, Rose.”
“Dan kalian?” Edward malah bertanya balik.
“Jack seniman,” Rose mengambil alih. “Sementara aku penikmat opera.”
“Aku sesekali menulis puisi dan bermain drama, tapi sejujurnya, aku lebih suka berjudi,” Jack berterus terang.
Edward tertawa sampai terbatuk-batuk. Ia menyodorkan gelas kosongnya kepada Jack. “Isi lagi, Anak Muda!” lalu ia batuk lagi. “Rose,” katanya ketika gadis itu memandang Jack dengan jengkel. “Jangan lepaskan Jack,” ia terkekeh lagi. “Selera humornya setara bacaanmu …”
Rose mencubit lengan Jack yang baru saja mengisi gelas wiski Edward dengan separuh Bourbon. “Ini sudah sangat larut,” ia menarik kekasihnya untuk menjauhi kemudi. Rose baru sadar, Edward hampir menenggak sebotol besar wiski sendirian.
Edward melirik arloji di tangan kanannya. Alkohol membuat ia sempoyongan. “Temani aku menghabiskan malam di ruang bangsat ini, Anak Muda!” Lalu ia terjatuh.
Pasangan kekasih itu menoleh. “Hanya membantunya, Rose,” kata Jack ketika gadis itu hendak mencegahnya. “Aku ingin mengajakmu menikmati pesta sesungguhnya di dek bahan bakar,” katanya begitu berhasil mengembalikan Edward ke kursi malas dengan jok yang empuk.
“Kau yakin Edward tidak apa-apa?” kata Rose beberapa saat setelah Jack menutup pintu ruang kemudi. “Apa tidak sebaiknya kita memberitahu awak kapal? Keselamatan kita di tangan orang yang sedang mabuk berat, Jack!” Rose menyibak rok gaunnya yang lebar.
Jack mengangguk. “Ayo kita turun.”
Rose mengangguk. Bahunya masih turun-naik menahan buncah.
“Kau membaca halaman pertama Daily Southamptonminggu lalu?”
“Bahwa Tuhan pun takkan mampu menenggalamkan Titanic?”
Jack mengangguk. “Dan itu kata-kata si Edward!”
“Dan nyawa dua ribuan penumpang ada di tangan pemabuk?” Rose mempercepat langkahnya menuruni tangga, seakan-akan ia lebih tahu dari siapa pun yang penghuni blok 1F, dek paling murah di kapal itu, kamar untuk penumpang pemenang lotre.
“Dia kapten, Rose,” kali ini mereka sejajar.
“Dia cadangan!” suara Rose memarau.
Kapal berguncang.
Jack dan Rose saling pandang.
“Hanya badai,” Jack memimpin.
“Seperti tabrakan,” Rose menyusul.
Kini mereka sudah berada di dek terbawah.
Guncangan lagi.
“Ini seperti tabrakan, Jack!” ulang Rose.
“Tabrakan cinta kita,” Jack balik badan, mengerling, dan kembali berlari. “Ini tangga terakhir!” serunya. “Ayo, Rose!” teriak Jack, “sebentar lagi pestanya dimulai!”
Rose menyusul. Kedua tangannya yang sedari tadi sibuk mengangkat ujung roknya yang berat dan menjuntai tak ia rasakan sebagai kerepotan.
Di ruang kemudinya, ketika Edward sedang bermimpi terbang di langit Peking yang magenta, Titanic menabrak Bahtera Nuh yang, entah bagaimana ceritanya, ujung palkanya menyumbul dua meter di atas permukaan samudra.***
Verona–Lubuklinggau, 2025