Innsbruck: Dan Segala yang Tak Pernah Selesai
Ethile, in the damp old city of Innsbruck
Between every departure and return, the soul learns to measure silence.
Ibn ‘Arabi
Oleh Benny Arnas
Saya sedang duduk di kursi bermeja nomor 42, gerbong tengah, kereta TGV Lyria jurusan Paris–Zurich–Innsbruck. Jendela di sebelah kiri memantulkan wajah saya sendiri—pucat oleh sisa demam, lelah oleh perjalanan panjang, tapi juga anehnya tenang. Di luar, pegunungan Jura berlari mundur seperti kenangan yang enggan dijemput. Sore itu, Paris sudah menjadi masa lalu; Zurich, masa depan yang tak pasti; dan Innsbruck, semacam titik pertemuan antara dua masa yang saling melambai dari kejauhan.
Enam tahun lalu, saya bertemu Ethile di dalam kereta seperti ini. Hanya bedanya, waktu itu kereta bergerak dari Hallstatt menuju Bled. Musim semi sedang mekar-mekarnya. Ia masih berusia dua puluh empat tahun, mahasiswa biologi di Universitas Salzburg, membawa ransel besar dan sebatang mawar kering di saku jaketnya. Percakapan kami singkat, kikuk, tapi cukup untuk menyalakan satu perasaan samar yang tak padam bahkan setelah kami berpisah di stasiun kecil Slovenia itu.
Sejak pertemuan pertama itu, saya selalu percaya bahwa beberapa manusia datang ke hidup kita bukan untuk menetap, melainkan untuk menyalakan cahaya tertentu—sejenis bara yang akan terus menyala diam-diam dalam kepala. Maka ketika empat tahun lalu Ethile! Ethile! terbit, saya tahu, bagian terbaik dari novel itu bukan keberhasilannya dicetak oleh penerbit, melainkan kenyataan bahwa Ethile sendiri masih hadir dalam hidup saya, walau hanya lewat pesan singkat, pertanyaan iseng, atau percakapan kecil tentang versi bahasa Inggrisnya yang belum juga rampung.
Kini, saya duduk di kereta menuju kota tempat ia tinggal bersama pasangannya, Judith, di distrik Hötting, Innsbruck. Seharusnya perjalanan ini biasa saja, tapi seperti segala hal yang menyangkut Ethile, semesta seolah ingin menambah sedikit bumbu dramatik. Ketika pengumuman berbunyi dalam bahasa Prancis, saya tidak mengerti sepenuhnya—hanya mendengar seruan kesal dari seorang laki-laki Austria di depan saya: “How could it be?”
Versi bahasa Inggris pengumuman menjelaskan: kereta akan mengalami keterlambatan 25 menit. Saya menatap tiket di tangan dan sadar, kereta berikutnya—yang akan membawa saya ke Innsbruck dari Zurich—dioporasikan oleh perusahaan berbeda. Tidak ada jaminan koneksi. Saya mulai gelisah. Sementara di luar, langit Eropa menggelap cepat seperti mata yang menutup perlahan.
Saya mengabari Ethile. Ia meminta saya tetap tenang, menanyakan langsung ke petugas. Saya mengiyakan, tapi tak benar-benar melakukannya. Seorang lelaki tua di samping saya—barangkali seorang eksekutif Swiss—menatap saya sekilas lalu melanjutkan membaca koran Le Monde. Dua penumpang Austria di depan saya, pasangan lelaki yang baru menikah di Marseille dua hari lalu, bercakap riuh tanpa peduli dunia di luar. Saya di tengah-tengah mereka, menatap keluar dan merasa sepi di antara keriuhan.
Di Basel, kereta kembali terlambat lima belas menit. Harapan saya merosot cepat seperti jarum kompas yang kehilangan utara. Saya mulai menyiapkan rencana cadangan: mungkin saya akan berhenti di Zurich dan bermalam di sana. Atau langsung ke Milan, kota terakhir sebelum penerbangan saya pulang ke Jakarta minggu depan. Saya menulis pesan singkat pada Ethile: “Either Zurich or Milan. Depends on fate.” Ia menjawab cepat: “I’ll wait, Benn. Whatever happens.”
Beberapa menit menjelang Zurich, kabar baik datang dari petugas yang akhirnya saya–dan para penumpang tujuan Innsbruck lainnya–datangi. “Kereta ke Innsbruck tidak akan terlambat. Tapi kalian tidak punya banyak waktu untuk berpindah,” katanya, tegas dan tanpa empati. Saya lekas kembali ke kursi, mengemasi tas, meneguk sisa air mineral, dan bersiap seperti tentara sebelum pertempuran. Begitu plang bertuliskan Zurich yang melintang di tengah stasiun tertangkap pandang, saya berlari bersama penumpang lain menuruni peron dingin itu. Platform tujuh: Innsbruck, begitu yang tertera di papan digital.
Saya tiba tepat ketika peluit berbunyi. Napas saya memburu, dada saya perih, tapi kaki saya menolak berhenti. Saya melompat ke gerbong terakhir sebelum pintu tertutup otomatis. Begitu duduk, saya menatap jendela—Zurich menghilang dalam hujan tipis—dan dalam hati saya berbisik: “Aku sampai di kereta yang sama. Lagi.”
Kereta berjalan pelan, membelah pegunungan yang seolah muncul dari kabut dan waktu yang beku. Di depan saya duduk seorang biarawati tua. Ia memegang rosario dan menatap ke luar, bibirnya bergerak tanpa suara. Di sebelahnya, seorang bocah kecil tidur dengan kepala bersandar di pundaknya. Adegan itu membuat saya ingat perjumpaan pertama saya dengan Ethile enam tahun lalu: bagaimana dua orang asing bisa saling tenang hanya karena saling diam.
Perut saya mulai perih. Saya baru sadar sejak dari Paris belum makan. Saya mengambil dua butir Promag, lalu membuka kotak bekal: nasi dan sambal ikan asin. Di antara tujuh penumpang Eropa yang membawa sandwich dan apel, saya makan dengan khusyuk, seperti seseorang yang baru diselamatkan dari puasa panjang. Seorang penumpang muda menatap saya lama, lalu tersenyum kecil. “Smells spicy,” katanya. Saya tertawa dan menjawab, “Tastes like home.”
Malam menua, lampu di kabin diredupkan. Udara semakin dingin. Saya sempat tertidur dan terbangun saat kereta berhenti di Arlberg. Hampir saja saya turun, karena mengira stasiun itu tujuan akhir. Untung papan digital menampilkan tulisan besar: Next stop: Innsbruck Hauptbahnhof. Saya menghela napas lega. Sekali lagi, keberuntungan kecil menunda kekacauan besar.
Pukul dua dini hari, akhirnya saya tiba. Stasiun hampir sepi. Suara kopor berderit dan langkah kaki menggema di lorong panjang. Di ujung peron, Ethile berdiri. Jaket biru gelapnya basah oleh embun malam. Ketika kami berdekapan, saya merasakan betapa enam tahun adalah jarak yang bisa lenyap dalam satu pelukan.
“Finally,” katanya.
“Like a dream comes true,” jawab saya, separuh bercanda.
Ia menatap saya seperti dulu—dengan pandangan jernih, tanpa basa-basi. “Sudah makan?” tanyanya begitu mobilnya keluar dari stasiun. Saya mengangguk. “Masa kritis sudah lewat,” kata saya dalam hati sambil mengingat dua butir Promag yang saya makan setelah menghabiskan bekal tadi.
Rumah Ethile di Hötting lebih luas dari yang saya bayangkan. Seperti rumah-rumah modern Eropa, pintu masuknya langsung mengarah ke dapur kecil dan kamar mandi, sebelum terbuka ke ruang tamu yang terang dan hangat. Di belakangnya, dinding kaca besar memamerkan kebun kecil. Di atas meja makan, tanaman merambat dan pot anggrek seperti dimanjakan. “Kami yang menanam semua ini,” katanya sambil melepas jaket. “Tapi aku hanya bagian menyiram.”
Saya tertawa. “Tampaknya pekerjaan kalian dibagi adil.”
“Kau pintar sekali menyenangkan tuan rumah,” katanya.
Kami masih bercanda kecil sebelum akhirnya saya tidur di sofa lipat yang dibuka menjadi ranjang lebar. Selimut tebal dan lampu temaram membuat saya merasa aman. Dari luar terdengar gemericik hujan menampar genting. Saya memejamkan mata, membiarkan tubuh saya yang letih diselimuti aroma kopi yang masih tersisa di udara.
Sebelum terlelap, saya sempat berpikir: ada pertemuan yang terjadi bukan untuk melanjutkan apa pun, melainkan untuk menegaskan bahwa sesuatu pernah ada. Malam itu, di kota yang belum pernah saya injak sebelumnya, saya merasa Ethile bukan hanya seseorang yang saya temui di kereta enam tahun lalu, tetapi juga cermin panjang perjalanan saya sendiri—tentang waktu, kehilangan, dan keinginan untuk memaknai ulang apa yang dulu pernah saya tulis.
Dan ketika jam di ponsel menunjukkan pukul 03.11, saya mendengar hujan berhenti. Kota tertidur dalam diamnya yang sempurna.
Pagi di Rumah Hötting
Cahaya pagi di Hötting datang perlahan seperti tamu yang tahu diri. Tirai tipis memantulkan sinar lembut ke ruang tamu tempat saya tidur. Bau roti gandum kering bercampur aroma kopi. Dari dapur, saya mendengar suara langkah ringan. Judith, pasangan Ethile, sedang menyiapkan sarapan. Ketika saya duduk, gadis bertubuh mungil itu tersenyum dan berkata dengan nada bercanda, “Akhirnya saya percaya kamu itu benar-benar ada!”
Ethile muncul dari dapur membawa papan kayu dengan roti sourdough dan pisau di atasnya. Judith menaruh beberapa toples kecil di meja. “Stroberi, aprikot, dan rasberi,” katanya sambil menunjuk satu per satu. “Semuanya kami tanam dan olah sendiri.”
Saya tertawa kecil. “Jadi kalian bukan hanya pasangan, tapi juga petani urban?”
Judith mengangguk bangga. “Kami lebih percaya pada tangan sendiri daripada supermarket.”
Saya menatap Ethile, mencari konfirmasi.
Ia hanya tersenyum. “Dia benar, Benn. Kalau sempat, nanti siang aku bawa kamu ke kebun. Tapi hati-hati, kami punya anjing yang suka mengira semua tamu datang untuk menanam.”
Sarapan pagi itu sederhana tapi hangat. Di luar, hujan masih menetes pelan di kaca jendela. Dari dinding kaca belakang rumah, pegunungan Alpen terlihat samar di balik kabut. Anggrek berbunga di atas meja makan, dan sirih gading merambat di rak buku, seperti dua simbol yang hidup berdampingan antara tropis dan Eropa.
Saya menatap sekeliling dan berkata, “Rumahmu seperti perpustakaan yang dibangun di tengah taman.”
Ethile menjawab, “Itu karena aku tidak bisa memilih antara membaca atau menanam.”
Lalu ia menunjukkan satu kotak stroberi segar. “Ini dari kebun. Baru dipetik kemarin.”
Saya mengambil satu dan langsung memakannya. Manis dan asam bercampur, mengingatkan saya pada rasa nostalgia. “Kamu tahu,” kata saya, “rasanya seperti pagi di kampung waktu kecil, ketika ibu saya menaruh gula di atas buah asam sebelum saya berangkat sekolah.”
Ethile tertawa. “Kamu selalu punya cara menjadikan segala hal sebagai cerita.”
Setelah Judith berangkat ke tempat kerjanya di taman nasional, Ethile keluar sebentar naik sepeda. “Aku hanya beli beras,” katanya. Tapi setengah jam kemudian ia pulang dengan membawa vas berisi anggrek putih.
“Saya tak melihat ada beras di situ,” kata saya menggoda.
“Berasnya di tas belakang. Tapi bunga ini lebih menarik,” jawabnya ringan.
Kami tertawa. Saat saya ingin membantu menyiapkan makan siang, Ethile malah bingung menanak nasi dengan alat masak di dapurnya. “Kamu yakin ini bisa?” katanya ragu saat melihat saya mengukur air rendaman beras di dalam rice cookerdengan jari tengah.
“Ini cara turun-temurun di negara kami,” jawab saya, bangga.
Saya masukkan beberapa telur ke dalam penanak nasi itu. “Supaya selain ayam goreng saus kuning yang kamu buat, kita punya lauk tambahan.”
“Telur di nasi? Kamu serius?” tanyanya, terkejut.
“Tunggu saja hasilnya,” jawab saya.
Ketika nasi matang dan aroma saus kuning mengisi dapur, saya mencicipinya dan berkata, “Aku tak tahu kamu bisa jadi juru masak sehebat ini.”
Ethile mengangkat bahu. “Menulis dan memasak sama saja. Keduanya tentang keseimbangan rasa.”
Setelah makan siang, hujan mulai reda. Kami berdua bersiap untuk mendaki bukit kecil yang berjarak sekitar lima ratus meter dari rumahnya. Ethile menolak ketika saya hendak membawa tas punggung. “Tidak perlu. Ini cuma jalan sore.”
“Jalan sore lima kilometer?” saya protes.
“Kalau bersama teman lama, jarak tidak pernah terasa jauh,” katanya.
Kami mulai berjalan menanjak di antara rumah-rumah yang tampak seperti potongan dari kartu pos lama. Di kanan kiri, bunga liar bermekaran, dan udara pegunungan membawa aroma tanah basah. Sepanjang jalan, Ethile banyak bercerita tentang flora di sekitar: mana yang bisa dimakan, mana yang beracun.
“Bagaimana kamu tahu semua ini?” tanya saya.
“I’m a biologist,” jawabnya ringan. “Tapi sebenarnya, semua ilmu hanyalah cara lain untuk tidak buta terhadap dunia.”
Kalimat itu membuat saya diam sejenak. Saya pikir-pikir, mungkin benar. Ilmu yang sejati bukan tentang menguasai, tapi tentang menyadari keberadaan sesuatu yang lebih besar dari diri kita.
Kami beberapa kali berpapasan dengan penduduk lokal yang berjalan dengan anjing mereka. Mereka menyapa ramah, tapi tetap menjaga jarak. Orang-orang Tirol memang terkenal sopan tapi tertutup. Tidak dingin, hanya berhati-hati. Seperti kota mereka yang hidup di antara tebing dan salju, mereka seakan belajar bertahan dengan kesunyian.
Ethile menunjuk sebuah pancuran air di pinggir jalan. “Itu sumber air pegunungan. Bisa langsung diminum.”
Saya meneguk air itu. Rasanya bersih, seperti belum pernah disentuh dunia. Saya teringat surat Al-Anbiya ayat 30: wa ja‘alnâ min al-mâ’i kulla syay’in ḥay. Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup.
Mungkin begitulah rasa hidup yang paling murni: ketika air tidak hanya melepas haus, tapi juga mengingatkan bahwa kita bagian dari sesuatu yang lebih luas.
Karena terlalu asyik berbincang, kami tidak sadar sudah sampai di dataran tinggi yang dihuni beberapa rumah tua dan satu kafe kecil di tepi bukit. “Kabar baiknya,” kata Ethile, “kita bisa turun nanti naik cable car.”
“Dan kabar buruknya?” tanya saya.
“Kopi dan tiketnya kamu bayar sendiri.”
Saya tertawa, mengira ia bercanda. Tapi ternyata tidak. Dompet saya tertinggal di rumah. Alamakjang! Ah, wajah saya pasti langsung berubah.
“Tenang, aku yang bayarin dulu,” katanya cepat.
Apa? Bayarin dulu? Lalu suara lain menimpali. Ini Eropa, Benn. Di sini, bahkan cinta pun harus punya pembagian biaya.
“Bagaimana?” Ethile menunggu.
Saya menatapnya lama. Sungguh tak habis pikir. “Baiklah, nanti aku ganti,” kataku akhirnya.
Kami duduk di dekat jendela besar. Dari situ, lembah Innsbruck tampak seperti lukisan kelabu-hijau yang ditusuk garis Sungai Inn. Saya memesan latte, Ethile memilih capuccino. Ia menunjuk ke luar jendela. “Itu sungai yang memberi nama kota ini. Innsbruck, berarti jembatan di atas Sungai Inn.”
Saya menyeruput kopi susu itu. Rasanya kuat, sedikit asam, tapi hangat di tenggorokan. Saya ingat obrolan tentang kopi yang kami lakukan di pagi hari: tentang biji kopi Amerika Selatan yang mereka sangrai sendiri, tentang harga yang membuat saya teringat masa lalu di mana kopi adalah simbol kemurahan, bukan kemewahan. Di Eropa, kopi telah menjelma identitas, seperti halnya buku bagi penulis. Di setiap cangkir ada jejak sejarah kolonial, pertemuan ras, bahkan konflik ekonomi dunia.
Saya berkata, “Lucu, ya. Dulu kopi mengantarkan para penjajah ke negeri kami. Sekarang, kopi justru membuat orang seperti saya datang ke sini, mencari rasa yang sama.”
Ethile tersenyum. “Dunia memang tidak pernah bergerak lurus. Ia berputar, seperti biji kopi di dalam penggiling.”
Ketika kami naik cable car, hujan kembali turun. Kabin bergoyang pelan, suara baja bergesekan terdengar seperti napas panjang gunung. Ethile menunjuk ke luar. “Itu sungai yang kami lindungi di taman nasional. Kadang aku merasa lebih kenal alam ini daripada manusia.”
Saya menjawab, “Mungkin karena alam tidak berpura-pura.”
Ia tertawa kecil, tapi tidak menatap saya. Kami sama-sama menatap keluar, membiarkan diam berbicara lebih banyak daripada kalimat. Dalam diam itu, saya merasa kami kembali ke kereta enam tahun lalu—dua orang asing yang tahu, sesuatu sedang tumbuh tapi tidak perlu disebut.
Ketika turun dari cable car, kabut mulai menipis. Kami berjalan menuju pusat kota tua Innsbruck. Bangunan-bangunan Barok berwarna pastel berbaris di sepanjang sungai. Menara gereja berdiri di kejauhan, dan loncengnya berdentang lembut. Kami berlari kecil menyeberang ke gereja berikutnya untuk berteduh.
Ethile menatap ke altar. “Aku selalu suka tempat seperti ini. Sunyi, tapi tidak sepi.”
Saya menimpali, “Seperti beberapa hubungan manusia.”
Kami tertawa bersamaan. Di luar, hujan semakin pelan. Kota itu tampak seperti melarutkan kami dalam melankolinya yanb khas: tidak menyedihkan, tapi menenangkan.
Kami pulang dengan bus sore itu. Saya baru tahu bahwa di Innsbruck, orang jarang membeli tiket bus. “Harusnya bayar, tapi kami tidak pernah,” katanya, tertawa. “Ini semacam rahasia umum.”
Sesampainya di rumah, saya menyerahkan dua lembar 10 euro dan satu lembar 5 euro padanya. “Untuk kopi dan bus.”
Ia menolak. “Ini terlalu banyak.”
Apa? Dia bilang terlalu banyak. Aku kira dia akan bilang, “Ach, tidak perlu, Benn, aku hanya bercanda tadi.” Oh, tidak. Jelas sekali, tadi dia bilang, “Ini terlalu banyak”. Salah. Aku salah. Ini Eropa, bukan Asia, apalagi Sumatra.
Ketika Ethile menerima uang itu, ada perasaan yang sulit dijelaskan: semacam keharuan yang tenang. Dalam kesantunan orang Eropa yang kaku itu, saya menemukan bentuk lain dari keramahan: yang tidak banyak bicara, tapi selalu memberi ruang.
Kota yang Menyimpan Melankoli
Dari jendela kamar tamu di kediaman Ethile, saya memandangi kota Innsbruck yang perlahan bangun. Langit kelabu, pegunungan berselimut salju di kejauhan, dan sungai Inn yang mengalir tanpa suara. Dari sini, kota itu tampak seperti lanskap yang menahan napas: indah, tapi juga murung.
Ada sesuatu yang ganjil di udara Innsbruck. Semacam kesedihan yang tenang. Tidak seperti Paris yang sibuk, atau Wina yang elegan, Innsbruck seperti berdiri di antara dua dunia: antara kemegahan sejarah dan kerendahan hati alam. Di sinilah saya merasa segala yang “Eropa” tampak lebih jujur, tidak dibungkus pencitraan, tidak pula memaksa bahagia.
Ketika berjalan di pusat kota, saya memperhatikan hal-hal kecil yang sering luput dari pandangan turis: cara orang lokal menundukkan kepala sedikit ketika berpapasan, cara mereka menunggu lampu hijau bahkan ketika jalan kosong, atau cara mereka tersenyum singkat tanpa perlu membuka percakapan. Semuanya seperti menyembunyikan kesepian, tapi juga penghormatan terhadap keteraturan.
Ethile pernah berkata, “Orang Austria hidup dari keseimbangan antara keteraturan dan kebebasan. Tapi di Innsbruck, keduanya sering bertabrakan.” Saya tidak langsung paham maksudnya. Namun hari itu, saya mulai mengerti. Di kota yang dipeluk gunung-gunung besar ini, orang seperti dipaksa untuk menerima batas. Dan mungkin dari sanalah mereka belajar rendah hati.
Kami berjalan di sepanjang Maria-Theresien-Strasse, jalan utama yang membelah kota tua. Di kanan kiri berdiri bangunan abad ke-17 berwarna pastel: kuning lembut, hijau pudar, merah bata. Di ujungnya, Golden Roof—atap berlapis tembaga yang berkilau redup di bawah cahaya matahari. “Itu dibangun oleh Kaisar Maximilian I untuk menyaksikan parade rakyatnya,” kata Ethile. “Tapi sekarang, lebih banyak turis yang memotretnya daripada warga yang mengingat sejarahnya.”
Saya menatapnya lama. “Lucu, ya. Manusia selalu membangun sesuatu untuk dikenang, tapi lupa untuk mengingat.”
Ia menatap ke arah sungai. “Mungkin karena mengingat itu menyakitkan.”
“Tapi melupakan lebih berbahaya,” balas saya.
Kami terus berjalan sampai ke Marktplatz, alun-alun yang kini dipenuhi kafe dan toko cendera mata. Di kejauhan, lonceng Hofkirche berdentang. Di dalam gereja itu, patung perunggu para leluhur Kekaisaran Romawi berdiri di sekitar makam Maximilian—diam, gagah, tapi juga sepi.
Saya teringat kata-kata Ibn Khaldun dalam Muqaddimah: “Peradaban hancur bukan karena musuh dari luar, melainkan karena kehilangan makna di dalam.” Mungkin itu juga yang terjadi pada banyak kota tua di Eropa. Mereka tetap berdiri, tapi kehilangan denyut makna di balik batu-batu indahnya.
Ethile tampak menikmati berjalan tanpa tujuan. Ia berhenti sejenak di depan toko pastry. “Kamu pasti suka croissant di sini,” katanya sambil berjalan masuk. Saya mengangguk. Kami memesan croissant isi pistacio. Pemuda itu duduk membelakangi dinding kaca yang memberi pandangan saya–yang duduk di hadapannya–akses ke seberang, etalase sebuah toko penuh buku berbahasa Jerman dan Inggris, sebagian tentang pegunungan Tirol, sebagian lagi tentang filsafat.
Saya bayangkan kami masuk.
Pemilik toko, pria tua berkacamata, menyapa lembut, “Grüß Gott.” Suara yang seperti doa singkat. Saya menelusuri rak demi rak. Di pojok, saya menemukan buku tipis berjudul Der Wanderer und der Berg — Sang Pengembara dan Gunung.
“Cocok untukmu,” kata Ethile.
“Karena aku pengembara?”
“Karena gunungnya di sini,” katanya sambil menunjuk keluar. “Dan kamu sedang berdialog dengannya.”
Saya tersenyum. Ada sesuatu yang menarik dalam cara Ethile berbicara—tenang, tapi selalu meninggalkan gema di kepala.
“Kenapa kamu tak menuliskan lebih banyak tentang dirimu?”
Ah, kata-katanya memecah balon lamunan saya. Ethile seperti mau bilang, “Kenapa kau malah menulis tentangku?” Tentu saja dengan mudah saya jawab. “Kamu hanya proxy.”
Dia tertawa.
“ … agar aku bisa menitipkan suara-suara perjalananku dalam novelku. Paham sekarang?”
Alih-alih tersinggung. Dia malah tertawa. Dan itu yang kusuka, dan selalu kusuka, darinya.
Di luar, kabut kembali turun. Barisan Alpen perlahan lenyap di balik awan. Saya memandang ke arah itu, lalu berkata, “Gunung di sini seperti rahasia besar. Ia tidak mengizinkan orang untuk menatapnya terlalu lama.”
Ethile tak menjawab, tapi saya seperti mendengar gumamannya. “Gunung tidak suka disembah, Benn. Ia hanya ingin dipahami.”
Kata-kata itu mengingatkan saya pada kalimat Imam Ali yang pernah saya baca di buku tua: “Jangan memandang kebesaran gunung, tapi renungkanlah tangan yang menciptakannya.”
Kami menghabiskan waktu berjam-jam berjalan tanpa arah. Menyusuri gang-gang sempit yang menghubungkan bangunan berusia ratusan tahun. Beberapa dindingnya masih memperlihatkan bekas tembakan Perang Dunia II. Ethile menunjuk salah satunya. “Entah kakek siapa yang pernah ikut perang di sini. Tapi aku bayangkan dia jarang bercerita, atau mungkin tidak pernah sembuh dari rasa bersalah.”
Saya diam. Setiap kota di Eropa punya semacam luka yang diwariskan. Tidak lagi berdarah, tapi masih terasa nyerinya. Innsbruck menyimpan lukanya dengan sopan, seperti seseorang yang belajar tersenyum sambil menahan sakit.
Sore itu, kami duduk di tepi sungai Inn. Airnya mengalir cepat, berwarna hijau kebiruan. Di seberang tampak barisan rumah berwarna pastel yang menjadi ikon kota. Langit mendung menambah nuansa sendu.
Saya bertanya, “Kenapa kamu memilih tinggal di sini, bukan di kota besar seperti Salzburg atau Wina?”
Ethile berpikir sejenak. “Karena di sini aku bisa mendengar diriku sendiri.”
“Dan Judith?”
“Ia mencintaiku karena hal yang sama. Tapi kadang ia juga takut aku terlalu sunyi.”
Jawaban itu seperti menyalakan ruang refleksi dalam diri saya. Saya membayangkan hidup dalam kesunyian seperti itu: dikelilingi gunung, bekerja dengan tanaman, menulis catatan lapangan tentang flora pegunungan, sementara dunia di luar terus berlari mengejar sesuatu yang bahkan tak punya nama.
Innsbruck bukan hanya kota. Ia semacam meditasi. Tempat orang belajar menundukkan ambisi dan berdamai dengan keterbatasan.
Kami melewati jembatan tua yang menjadi lambang kota. Di bawahnya, sungai bergemuruh halus. Di tengah perjalanan, Ethile berkata, “Kamu tahu, setiap kali aku menyeberangi jembatan ini, aku merasa seperti menyeberang dari masa lalu ke masa depan.”
Saya menatap arus sungai. “Dan di tengah-tengahnya, selalu ada air yang tak pernah sama.”
“Iya,” katanya pelan. “Mungkin begitulah cara waktu bekerja.”
Kami berhenti di seberang jembatan. Angin dingin bertiup dari lembah. Dalam diam itu, saya kembali merasa aneh: keakraban kami tidak perlu dijelaskan, tapi juga tidak pernah bisa dinamai. Bromansa yang menggantung di antara dua individu yang tahu batasnya, tapi tidak bisa sepenuhnya menolaknya.
Saya menatap wajahnya yang diterpa cahaya sore. Ada kejujuran yang sulit ditemui di banyak orang—jenis kejujuran yang tidak dibuat-buat, tapi lahir dari kebiasaan hidup dekat alam. Saya tahu, dalam beberapa hal, Ethile adalah representasi Innsbruck itu sendiri: tenang, jernih, tapi menyimpan kesunyian yang dalam.
Malam menjelang. Kami pulang dengan langkah pelan. Di rumah, Judith asyik dengan bacaannya. Aroma tanaman memenuhi ruangan. Kami duduk bertiga, membicarakan hal-hal ringan: cuaca, buku terakhir yang mereka tonton, hingga makanan favorit masa kecil. Tapi di sela percakapan itu, saya tahu sesuatu sedang tumbuh lagi, semacam keinginan untuk memperpanjang waktu, untuk tidak segera berpisah.
Innsbruck menyalin perasaan manusia seperti kaca yang dingin: apa pun yang terpantul di dalamnya akan tampak lebih jernih, tapi juga lebih rapuh.
Sebelum tidur, saya membuka gorden sehingga kegelapan kota di balik dinding kaca memenuhi pandangan. Dari jauh, lonceng gereja berdentang sembilan kali. Di kejauhan, suara sungai terdengar seperti bisikan lama yang kembali mencari makna.
Ach, di kota ini, kesunyian bukan tanda kesepian, melainkan cara alam mengingatkan manusia bahwa ada kebijaksanaan dalam diam.
Perbatasan Emosi
Judith selalu muncul seperti matahari di antara kabut. Wajahnya bulat dengan senyum yang tak terburu-buru, seolah ia memahami bahwa kebahagiaan tidak perlu keras untuk bisa terasa. Ketika pertama kali kami bertemu di ruang makan itu, ia menyalamiku dengan tatapan jenaka—tidak ingin tahu siapa saya sepenuhnya, tapi cukup tahu bahwa saya dan Ethile memiliki lanskap yang sukar diceritakan.
“Akhirnya saya percaya kamu nyata,” katanya sambil tertawa. Saya membalas dengan candaan yang sama: “Dan saya percaya kamu bukan fiksi yang dia ciptakan.”
Ia tertawa lagi. Suaranya lembut, tapi di bawahnya ada semacam getar yang mengandung kehati-hatian. Mungkin ia sedang menakar siapa saya bagi pasangan yang hidup bersamanya itu. Saya bisa memahaminya. Hubungan seperti mereka—dua manusia yang sama-sama haus akan makna tapi takut pada kehilangan—selalu berdiri di tepi jurang komunikasi.
Ethile memperkenalkan Judith bukan dengan kata “pasangan”, melainkan “teman hidup”. Kalimat yang ambigu, tapi penuh hormat. “Kami tidak perlu kata lain,” katanya suatu malam ketika kami duduk di dekat perapian. “Judith tahu aku seperti apa. Aku tahu dia seperti apa. Itu cukup.”
Saya tidak menjawab. Sebab ada kalimat-kalimat yang sebaiknya dibiarkan mengambang dalam udara dingin.
Aku membayangkan, Judith mengajakku melihat rumah kaca kecil di belakang rumah. Di sanalah ia menanam anggrek, rosemary, mint, dan beberapa jenis stroberi liar “Ethile bilang kamu suka tanaman,” katanya.
“Saya lebih suka menulis tentang tanaman daripada merawatnya,” jawab saya.
Ia tertawa. “Tentu saja. Semua penulis begitu. Mereka ingin memahami sesuatu tanpa harus menyentuhnya.”
Kalimat itu menusuk, meski jauh dan imajiner, tapi menggema jujur dalam kepala. Saya menatap Ethile yang sedang membersihkan pot bunga. Ia tidak mendengarkan percakapan kami, tapi saya tahu ia tahu. Ada semacam kesadaran diam antara kami: bahwa saya dan Judith sebenarnya sedang berbicara tentang orang yang sama.
Kami kemudian duduk di meja kayu, menikmati kopi buatan Ethile. “Biji dari Amerika Selatan,” katanya, seperti memperkenalkan karya seni. Aromanya kuat, tapi lembut di tenggorokan. Saya memandangi cangkir itu lama, berpikir bahwa mungkin kopi dan pertemanan memiliki kesamaan: sama-sama menuntut suhu yang tepat agar tidak kehilangan rasa.
Judith bercerita tentang pekerjaannya di pusat penelitian lingkungan. Ia meneliti perubahan ekosistem di sekitar Taman Nasional Hohe Tauern. “Kamu tahu,” katanya sambil menatap jendela, “pegunungan itu hidup. Tapi orang-orang memperlakukannya seperti benda mati.”
Saya menjawab, “Mungkin karena kita takut pada sesuatu yang lebih diam dari kita.”
Ia menoleh. “Kamu bicara seperti Ethile.”
Saya tertawa. “Mungkin karena kami pernah menatap gunung yang sama, hanya dari arah berbeda.”
Di luar, hujan mulai turun. Suaranya mengetuk kaca rumah kaca seperti denting jam yang mempercepat waktu.
***
Malam itu, setelah Judith tidur, saya dan Ethile duduk di ruang tamu. Hanya cahaya dari perapian yang menerangi ruangan. Di atas meja, dua cangkir kopi sudah setengah dingin.
“Kamu masih menulis?” tanya Ethile.
“Tentu saja. Tapi tak lagi seperti dulu. Sekarang saya lebih banyak mencatat perasaan daripada ide.”
“Artinya kamu sudah lebih jujur.”
Saya menatapnya. “Mungkin juga lebih takut.”
“Takut pada apa?”
“Pada hal-hal yang saya tidak bisa definisikan.”
Ethile tertawa pelan. “Kamu masih sama seperti dulu di kereta itu. Banyak kata, tapi jarang mengakuinya.”
“Dan kamu masih suka membuat saya bingung,” balas saya. Aku ingin sekali bilang bahwa ketakutan dalam diriku karena, sebagai leluhur, Sapiens mewarisi DNA rasa “takut” sebagai mekanisme bertahan hidup dan eksistensi, tapi itu hanya bergema dalam kepala.
Angin meniup dinding kaca seakan-akan dinginnya menyapa tengkuk kami. “Judith tahu bahwa aku menunggumu datang,” katanya lirih. “Tapi dia juga tahu bahwa aku tidak tahu apa yang aku tunggu.”
Kalimat itu jatuh perlahan seperti abu. Saya tak tahu harus menjawab apa. Ada getar samar dalam suaranya, getar yang tidak mencari jawaban, hanya pengakuan.
“Ethile,” kata saya pelan, “ada hal-hal yang lebih baik dibiarkan tak selesai.”
Dia menatap saya. “Kau bicara seperti seorang sufi.”
“Saya belajar dari orang-orang yang berani diam,” jawab saya.
Ethile diam. Lalu segalanya mengambang.
Saya menarik napas panjang. Dalam diam yang panjang itu, hanya bunyi hujan dari balik dinding kaca dan atap rumah yang sayup terdengar. Kami tidak bicara lagi malam itu. Tapi saya tahu, sesuatu yang tak terucap telah bergerak pelan di udara.
Keesokan paginya, kami kembali mendaki bukit kecil di belakang rumah. Jalanan licin, udara dingin menusuk. Dalam perjalanan pulang, kami duduk di batu besar. Di bawah, kabut menelan lembah. “Tahukah kamu,” katanya, “di sini orang percaya setiap kabut membawa roh pendaki yang belum pulang.”
Saya menatap kabut itu lama. “Kalau begitu, mungkin sebagian kabut ini adalah kita.”
Ia memejamkan mata sebentar, lalu tersenyum. “Jangan membuatku sentimental, Benn.”
Kami turun perlahan. Di kaki bukit, kami bertemu dengan Judith yang membawa payung besar. “Kalian seperti dua anak kecil yang lupa waktu,” katanya.
“Lebih tepatnya dua orang dewasa yang tak mau pulang,” jawab Ethile.
Judith tersenyum, tapi matanya sedikit redup. Saya tahu, di balik kelakar itu, ada sesuatu yang berlapis: kelelahan dan pengertian.
Kami makan siang bertiga. Suasana agak canggung, tapi tidak dingin. Judith bercerita tentang pekerjaan, Ethile tentang rencana rencananya ke Albania pekan depan. Saya mendengarkan, mencoba menjadi penulis yang baik: mengamati tanpa menghakimi, mencatat tanpa menyentuh terlalu dalam.
Malam itu, saya kembali termenung, cukup lama. Di luar, salju mulai turun tipis. Dari jendela, saya bisa melihat bayangan Ethile dan Judith berbincang–dan kadang diselingi tawa pelan–di kamar yang pintunya sengaja mereka biarkan terbuka. Saya merasa hangat sekaligus rindu segala yang berhubungan dengan rumah. Saya tiba-tiba teringat kalimat dari Al-Ghazali:“Cinta sejati tidak mencari imbalan, ia hanya ingin menyaksikan keberadaan yang dicintainya dalam damai.”
Entah kenapa, kalimat itu terasa seperti doa yang dibisikkan langsung oleh udara Innsbruck.
“Belum tidur?”
Ethile sudah berdiri di muka pintu kamar yang tampaknya akan ia tutup.
“Besok kamu harus berangkat pukul tujuh. Bus ke Milan tidak menunggu siapa pun.”
Perpisahan, dan Segala yang Tidak Pernah Selesai”
“Between every departure and return, the soul learns to measure silence.” Kata-kata Ibn ‘Arabi membuka pagi terakhir saya di Innsbruck. Udara begitu jernih sampai suara detak jam di ruang tamu terdengar seperti degup jantung rumah itu sendiri. Dari jendela kamar, saya melihat salju turun pelan, menutupi taman belakang dan bekas jejak kaki kemarin. Dunia seperti baru saja dihapus dan ditulis ulang dengan tangan yang sabar.
Ethile muncul dari dapur. “Aku buatkan kopi terakhirmu di Innsbruck,” katanya. Senyumnya, seperti biasa, lebar dan memesona.
Saya menjawab dari balik selimut, “Aku sudah salat subuh dan berkemas. Aku hanya ingin leywh-leyeh sebentar. Kopi Amerika Selatan bolehlah.”
“Kau ingin melewatkan pemandangan Alpen terakhir?” katanya ketika mesin penggiling biji kopi bekerja.
Suara itu lembut, tapi menohok. Lima menit kemudian, saya bangkit dan merapikan selimut. Di ruang makan, roti dan kopi hitam sudah siap. “Judith belum bangun?” kata saya ketika menjatuhkan pantat di permukaan kursi makan.
Ethile mengangguk dan mengoleskan selai stroberi ke rotinya.
Kami sarapan dengan tenang. Tidak ada percakapan besar, hanya kalimat ringan tentang cuaca dan rencana perjalanan. Tapi di bawah semua itu, saya tahu, masing-masing dari kami sedang mengingat sesuatu yang tak ingin dikatakan.
Sekitar pukul enam, Ethile mengeluarkan sepeda setelah mengangkat kopor saya ke luar. Salju tipis masih turun ringan. Jalanan basah memantulkan warna lampu rumah-rumah di sepanjang Hötting. Saya memperhatikan kota kecil itu dari lantai tiga kediaman pemuda itu: atap-atap miring, dinding pastel, dan sungai Inn yang mengalir tenang di bawah jembatan tua.
Innsbruck berarti jembatan di atas sungai Inn. Nama yang sederhana, tapi sarat makna. Di kota inilah, sejak abad ke-15, para pengelana menyeberang dari utara ke selatan Eropa, membawa sutra, rempah, dan harapan. Di kota inilah juga Kaisar Maximilian I membangun Hofkirche, gereja megah dengan patung-patung perunggu para leluhurnya. Dan di kota inilah, ribuan tahun kemudian, saya menyeberang bukan dengan barang dagangan, tapi dengan kenangan.
Saya teringat cerita tentang novel dengan latar Maria Theresa Street, jalan utama yang menampung segala rupa peradaban: Romawi, Bavaria, bahkan sisa-sisa Ottoman yang pernah singgah di lembah ini. “Innsbruck itu kota persinggahan,” kata penjaga museum. “Siapa pun yang datang ke sini, suatu hari akan pergi. Tapi jejaknya, entah mengapa, selalu tertinggal.”
Kalimat–dari novel yang saya lupa judulnya–itu kembali terngiang ketika kami sudah tiba di halte bus dalam kota. Ya, sebentar lagi saya akan naik bus yang akan membawa saya ke halte Flixbus tujuan Milan.
Kami berdiri berhadapan di antara embus napas dingin. Bus belum datang. Judith tidak ikut mengantar, hanya menitip pesan. “Tell him I wish him more good stories,” kata Ethile, seperti berbisik.
Ethile menatap saya lama, mungkin mencari kalimat yang tak perlu diterjemahkan. “Kau tahu,” katanya, “aku ingin sekali membaca bagian awal novelmu—bagian di kereta antara Hallstatt dan Bled dalam versi bahasa Inggris. Rasanya seperti menonton ulang kehidupan yang tak pernah benar-benar milik kita. Ayolah, tidak perlu menunggu penerjemah profesional. Kau pasti bisa melakukannya.”
Saya tertawa kecil. “Lucu ya, bagaimana kata bisa mengubah sesuatu yang biasa menjadi abadi.”
“Dan bagaimana abadi bisa terasa begitu singkat,” balasnya.
Kami diam. Dari kejauhan, suara mesin bus mulai terdengar. Ia mendekat perlahan, membelah kabut. Saya ingin berkata banyak hal—tentang betapa pertemuan ini menegaskan sesuatu yang sudah saya tahu: bahwa beberapa orang hadir bukan untuk menetap, tapi untuk menandai bab penting dalam perjalanan kita. Tapi saya hanya menatapnya, seolah dengan itu saja cukup.
“Ethile,” kata saya akhirnya, “terima kasih karena sudah tidak berubah.”
Ia tersenyum. “Aku berubah. Tapi mungkin di depanmu, aku kembali menjadi diriku yang dulu.”
Bus berhenti. Kami saling memeluk, pendek, tapi hangat.
“Like a dream comes true,” kataku, mengulang kalimat enam tahun lalu.
“Only this time, the dream ends here,” balasnya, lalutertawa pelan. “Atau mungkin baru dimulai.”
Saya naik ke bus. Dari jendela, saya melihatnya berdiri di trotoar dengan sepeda gunungnya, jaketnya tertutup serpihan salju. Ia melambaikan tangan, lalu berjalan menjauh. Perlahan, sosoknya hilang di antara kabut dan bangunan tua.
***
Sepanjang perjalanan menuju Milan, saya menatap pemandangan yang berganti cepat: lembah Tirol, terowongan panjang, ladang-ladang beku. Tapi bayangan Ethile seperti menempel di jendela, enggan pergi.
Saya membuka catatan kecil yang saya bawa dan menulis:
“Beberapa kota tidak meminta kita untuk memahaminya. Mereka hanya ingin kita melewati mereka dengan penuh kesadaran.”
Lalu saya menulis lagi:
“Innsbruck bukan tentang pertemuan dua orang. Ia tentang ruang yang tak diisi oleh kata-kata, tapi oleh pengertian.”
Saya berhenti sejenak, lalu menatap ke luar. Di kejauhan, salju tipis turun lagi, menutup jalan setapak, jembatan, dan rel kereta. Dunia terasa melambat. Mungkin benar. Saya bukan siapa-siapa di hidupnya, selain kata-kata. Tapi bukankah setiap kata yang tulus adalah bentuk paling abadi dari perasaan yang fana?
Menjelang perbatasan Italia, matahari muncul tipis di balik awan. Saya menyalakan ponsel, melihat pesan baru dari Ethile:
Take care, Benn.
Saya tertawa sendiri. Bukannya membalas, saya malah mengetik di Note. “Ada dua jenis perjalanan: yang membuatmu lupa siapa dirimu, dan yang membuatmu mengenali dirimu kembali.” Ach, dan saya tahu Innsbruck berada di mana.
Di Milan, saya berjalan kaki dari terminal bus ke penginapan kecil di dekat Porta Garibaldi. Kota itu terasa lebih riuh daripada yang saya bayangkan. Jalanan penuh wisatawan, lampu, dan suara musik dari kafe-kafe. Tapi di tengah keramaian itu, saya merasa sunyi.
Saya menulis lagi di catatan: Saya menutup mata. Di luar, lonceng gereja berdentang. Saya memandang langit yang mulai gelap dan berpikir betapa anehnya dunia ini. Bagaimana satu pertemuan singkat di kereta bisa menjelma menjadi persahabatan lintas tahun, lintas jarak, dan lintas bahasa.
Dalam hati, saya mengulang kalimat Ibn ‘Arabi yang saya baca di perpustakaan Leiden beberapa minggu sebelumnya: “Between the known and the unknown lies love; a field where intellect kneels.”
Dan mungkin di sanalah saya dan Ethile pernah berdiri: di padang antara tahu dan tidak tahu, antara ingin dan berani, antara masa lalu dan kemungkinan.
Beberapa jam kemudian, di kamar penginapan itu, saya melihat bayangan saya sendiri di cermin kecil di dinding. Ada sesuatu yang berubah di wajah saya—bukan usia, tapi semacam ketenangan baru.
Saya teringat apa yang dikatakan Ethile saat mendaki bukit kemarin: “Air yang tenang bukan berarti tidak bergerak. Ia hanya tahu ke mana harus mengalir.”
Dan malam itu, saya tahu: perjalanan ini bukan tentang menemuinya, tapi tentang menemuikan diri saya yang dulu tertinggal enam tahun lalu di kereta antara Hallstatt dan Bled.
Innsbruck hanya menjadi jembatan. Dan seperti setiap jembatan, ia diciptakan agar dilewati, bukan ditinggali. Tapi saya juga tahu: setiap jembatan menyimpan jejak langkah yang tak akan terhapus oleh waktu.
Saya mematikan lampu, membiarkan gelap menyelimuti ruang. Dalam keheningan itu, saya mendengar suara samar dari jauh, mungkin hanya imajinasi: “Don’t rush to forget. Some memories deserve a slower goodbye.”
Saya tersenyum.
Lalu tidur.
Dan untuk pertama kalinya, setelah sekian lama, saya merasa damai, tanpa harus mengerti semuanya.(*)
Innsbruck-Milan-Lubuklinggau, Mei–Oktober 2025
Catatan: Versi bahasa Inggris naskah ini dapat dibaca di sini.
4 Comments
Refleksi terhadap hubungan manusia & alam yang terselip rapi.. 😍
Tidak hanya menghibur, tulisan Benny Arnas juga memberikan pelajaran berharga.
Meskipun tulisan ini menyiratkan satu hal penting bahwa harapan para pembaca tentang novel Ethile 2 sepertinya harus segera sirna.
Selalu asyik membaca karyamu Ben. Dan Benny dalam teks tumbuh bijak bunyinya.
Baca tulisan ini bikin aku beneran kangen melakukan perjalanan jauh lagi -dan kalau bisa, sendirian.
Untuk Ethile, kalau dia baca komenku ini: kalau kamu mau baca novel Ethile! Ethile! dalam bahasa Inggris, hayo kontak penerbit di sana untuk menerbitkannya ulang 😀