Budi Pekerti: Kekalahan Bu Prani, Kemenangan Nurani
Oleh Benny Arnas
Beberapa kalangan (penonton) mengungkapkan kekesalan mereka dengan akhir cerita: Bu Prani kalah. Padahal, statement Budi Pekerti justru sebaliknya.
***
Budi Pekerti (2023) adalah film besutan Wregas Bhanuteja, sutradara yang menggemparkan publik film Tanah Air lewat Prenjak yang meraih penghargaan di Cannes Film Festival 2016.
Isu tentang bahayanya “era kamera di mana-mana” sebenarnya sudah Bhanuteja angkat dalam film panjang pertamanya Penyalin Cahaya (2021). Namun, Budi Pekerti menjadi spesial karena membidik cyber bullying dengan menempatkan protagonis, sosok pahlawan tanpa tanda jasa, sebagai korban.
Film ini dibuka dengan skena yang memikat.
Menampilkan long shot to close up punggung guru yang sedang memberikan refleksi (begitu tokoh utama memberi istilah pada “”hukuman”) kepada seorang murid yang gemar merundung, penonton digiring untuk mendapatkan gambaran bahwa Bu Prani (Sha Ine Febrianti), perempuan dengan garis muka tegas itu, adalah guru yang berwawasan, kreatif, dan disukai murid-muridnya.
Sebagai sutradara sekaligus penulis skenario, Bhanuteja tampaknya sadar benar bahwa cerita yang seru harus dibuka dengan adegan yang mengganggu.
Mengambil latar Yogyakarta, film ini mengisahkan Bu Prani seorang guru BK terlibat perselisihan dengan pengunjung di pasar. Sayangnya, kejadian tersebut berhasil direkam oleh seseorang dan diunggah ke media sosial. Karena sikap Bu Prani yang dinilai tidak mencerminkan layaknya seorang guru, ia mendapatkan kecaman dan komentar negatif dari netizen.
Guru: Teladan dan Tuntutan
Bagaimana seharusnya guru menjalankan perannya?
Apabila teller bank harus rapi dan berpenampilan menarik atau pelayan restoran yang banyak tersenyum, guru tidak bisa sekadar menjalankan standard of operations (SOP) demikian. Guru juga harus menjadi teladan di luar jam kerja!
Seorang teller bank atau pelayan restoran, meskipun punya kehidupan pribadi yang problematik, selama performa di tempat bekerjanya baik, mereka akan tetap bekerja.
Tidak dengan guru. Terpeleset bersikap di luar jam pekerjaan, bumerang akan bergasing mengarah kepadanya. Ke kehidupannya. Termasuk keluarganya.
Masalahnya, tidak semua yang ditangkap publik adalah sebuah kebenaran.
Ya, Budi Pekerti bukan hanya film tentang bahayanya cyber bullying. Ia adalah ajakan untuk menjadi pribadi yang teliti, yang tidak gampang menghakimi.
Film ini seperti berbisik ke telinga penontonnya:
“Memangnya kamu ada di tempat kejadian? Memangnya kamu tahu latar belakangnya bersiap demikian? Memangnya kamu paham orang yang kamu rundung itu luar dalam?”
Budi Pekerti
Cerita berdurasi 1 jam 50 menit ini adalah manifestasi atasan kutipan terkenal dari To Kill a Mockingbird (1960), novel karya Harper Lee yang dialihwahana menjadi film oleh Robert Cullinan (1962):
Anda tidak akan pernah memahami seseorang sampai Anda berada di sudut pandangnya. Sampai Anda masuk ke dalam kehidupannya dan berjalan di dalamnya.
Harper Lee
Apakah ada yang peduli bagaimana Bu Prani harus mengurus suaminya yang depresi, kedua anaknya yang tenggelam dengan kesibukan masing-masing sehingga tak pernah bisa ia mintakan bantuan untuk sekadar membeli kue putu di pasar, tunggakan kontrakan rumah dan tagihan utang suami yang sebelumnya selalu gagal berwirausaha?
Tidak ada. Termasuk sekolah tempatnya mengajar. Institusi tempat Bu Prani mengabdi itu justru menjadi sekumpulan orang yang mendesak Bu Prani agar melakukan sesuatu yang netizen inginkan: meminta maaf.
Viralitas, Imbasnya, dan Konsep Audiovisual
Mengambil latar pandemi, guru-guru bermasker kuning dalam film ini menjelma burung dengan paruhnya yang sibuk mematuk makanan (baca: meributkan urusan orang lain). Suara Bu Prani sendiri, sebagai bagian dari burung itu, akhirnya angslup oleh keriuhan tuntutan.
Betul kata Muklas Animalus (Angga Yunanda), putra Bu Prani, bahwa di zaman ini … ”Salah atau benar itu perkara siapa yang paling banyak ngomong!”
”Salah atau benar itu perkara siapa yang paling banyak ngomong!”
Muklas Animalus
Dalam Budi Pekerti, kita melihat bagaimana keluarga Bu Prani akhirnya menjadi bulan-bulanan di lingkungan kerja mereka.
Sosok Tita (Prilly Latuconsina), pegiat musik indie yang peduli pada isu sosial hadir sebagai versus dari saudaranya, Muklas Animalus, content creator yang menganggap sabda netizen adalah segalanya.
“Kalau dituduh yang salah, ya aku bilang yang sebenarnya.”
Tita
Namun, perjuangan untuk itu tentu tidak mudah.
Segala tindakan dan perlakuan masing-masing anggota keluarganya pun ikut dinilai dari dicari kesalahannya. Sehingga hidup mereka menjadi tidak tenang dan apa pun yang mereka lakukan akan dipandang salah. Selain kehilangan keharmonisan keluarga, hingga Bu Prani terancam kehilangan pekerjaannya.
Ketenangan yang disimbolisasikan warna biru sepanjang cerita menjelma sekadar palet, bukan membungkus atmosfer cerita. Semiotika biru yang hadir dalam bentuk jaketnya Bu Prani, tshirt lengan panjang Muklas, blus corak bunga Tita, dan tshirt polo-nya Pak Didit alias suami Bu Prani (Dwi Sasono)—sekadar menyebut beberapa visual, ibarat pertandingan bola, hanya merepotkan, bukan mengalahkan.
Siasat visual ini makin kompleks ketika (ilustrasi) musik yang digunakan sepanjang film berhasil membuat tiap bagian memiliki karakternya sendiri. Kadang melow, kadang centil. Ini bukan hanya membuat cerita berjalan seru, tapi juga memberikan tiap skena kavlingnya masing-masing.
Mengutip June Kim selaku Associate International Programmer Southeast Asia di TIFF,
“Dengan palet warna yang unik dan kuat, serta musik yang terkesan mengolok-olok, Budi Pekerti mengingatkan kita bahwa kejutan-kejutan dan ketidakharmonisan ada di sekitar kita.”
June Kim
Ya, viralisme yang menjadi kejaran dalam budaya Era Infotek, lewat Budi Pekerti, menjadi aftertaste yang menjejak di benak audiens karena pemilihan warna dan suara yang penuh pertimbangan.
Budi Pekerti adalah Metafora
Sudah banyak bahasan tentang simbol yang menyerak dalam Budi Pekerti.
Kompas.com (10/11/2023) bahkan membahasnya dalam ini artikel tersendiri, seperti warna merah dan biru berangkat dari warna dasar buku PPKN yang mengajarkan budi pekerti ketika sang sutradara masih duduk di bangku SD dulu; pose unggas yang merupakan representasi atas karakter suka berkicau manusia hari ini; air mata kiri menyampaikan pesan kesedihan yang lebih mendalam; dan ring light yang menjadi “hantu” dalam kehidupan para karakter sehingga alat penerang itu tidak dibawa ketika, di akhir cerita, keluarga Bu Prani memutuskan pindah rumah.
Tapi, yang paling menyala dalam Budi Pekerti adalah moral yang diusungnya. Beberapa kalangan (penonton) mengungkapkan kekesalan mereka dengan akhir cerita: Bu Prani kalah.
Padahal, statement Budi Pekerti justru sebaliknya.
Keluarnya Bu Prani dari sekolah di akhir cerita didorong oleh sebuah kesadaran: buat apa bertahan di institusi yang seharusnya menjunjung budi pekerti, namun justru lebih mendengarkan “kicauan burung” (baca: netizen yang tidak tahu apa-apa)?
Kalaupun kalah, memodifikasi kutipan terkenal dalam Bumi Manusia (1980) karya Pramudya Ananta Toer, Bu Prani sudah melawan, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.
Demi kemenangan kebenaran.
Demi kemenangan hati nurani.(*)
Lubuklinggau, November 2023
Catatan:
a) Prenjak memenangkan Leica Cine Discovery Prize di Festival Film Cannes 2016. Pada tahun yang sama, film ini juga meraih penghargaan untuk kategori film pendek terbaik di Festival Film Indonesia 2016.
b) Penyalin Cahaya (Photocopier) adalah film cerita seru misteri Indonesia tahun 2021 yang disutradarai oleh Wregas Bhanuteja, sekaligus merupakan debutnya dalam penyutradaraan film panjang. Mengangkat isu pelecehan seksual lewat foto punggung seorang mahasiswi yang tersebar, di sepanjang film, kita akan melihat perjuangan keras korban dalam mengungkapkan kebenaran atas permasalahan yang menimpanya.
c) Tentang “hantu” dalam cerita ini, sebenarnya mengingatkan kita pada “batu hias” dalam film Parasite (2020) besutan Bong Joon-ho. Batu yang hingga akhir cerita terus dibawa oleh Kim Ki Woo (Choi Woo Shik) sehingga, sebagaimana kita tahu, cerita itu berakhir denga tragedi berdarah yang mengerikan.
d) Novel Bumi Manusia ini diadaptasi ke layer lebar oleh Hanung Bramantyo pada 2019 dengan judul yang sama. Menariknya, kutipan terkenal dari novel itu–“Kita sudah melawan sehormat-hormatnya” , sebagaimana novelnya, diucapkan oleh Nyai Ontosoroh yang diperankan oleh Sha Ine Febrianti, aktor yang memerankan Bu Prani dalam Budi Pekerti (2023). Kalau Nyai Ontosoroh mengantar Ine ke dalam daftar nominasi Pemeran Perempuan Terbaik Piala Citra 2021, Bu Prani membuat sang aktor mengangkat piala tersebut di panggung FFI 2023.