Blijung

 Blijung

Benny Arnas | Media Indonesia, 27 Maret 2022

“SUDAH kubilang berkali-kali, Sumi,” kata Sadun kepada adik perempuannya yang tersedu sedan di kaki pintu rumah kayunya. “Tak de faedah mengirim anak kite ke luar,” suaranya meninggi. “Batas SMP jak sekoleh. Kalau tak tertahankan hasratnye, SMA jak di Ketapang atau Sukadane. Eh, ini malah kaukuliahkan Blijung ke Ponti. Ape tak gila? Begini, ‘kan, jadinye? Alih-alih membangun Karimate, kabar pun tak lagi ade! Sekarang … ade kabar listrik akan masuk pulau. Mane baktinye? Sudah dilibas orang si Blijung tu!”

Sumi masih menunduk dan terisak. Penyesalan dan kerinduan meletup-letup di dadanya. Ini memasuki bulan ketiga belas Blijung, anak bujang semata wayangnya yang meninggalkan Karimata sejak lima tahun lalu, tak lagi memberi kabar. Kini, ratusan mil laut yang memisahkan Pontianak dan Karimata adalah buah yang dagingnya sepat dan pahit di lidah kenyataan.

“Belum bisa balik ke Tanjung Ru, Mak,” katanya lewat surat yang dititipkan ke pengepul cumi yang sedang membeli barang kebutuhan rumah tangga di Pontianak. “Blijung menyelesaikan urusan penting.”

Mulanya Sumi menganggap wisuda Blijung awal tahun lalu akan menjadi momen perjumpaan mereka. Namun, musim angin barat yang menggila tiap Desember hingga Januari mengembalikan kapal nelayan yang ia tumpangi ke Karimata. Sumi hanya bisa menggigit bibir harapan. Kabar ketakhadirannya tentu baru akan Blijung terima beberapa hari setelah ia resmi menyandang gelar sarjana teknik.

Ah, anak bujang semata wayangku, batin Sumi, tak dapat kubayangkan wisudamu tanpa Mak. Tapi, percayalah, Nak, ia menghibur diri. Ayahmu tentu tersenyum di pusaranya. Maafkan Mak yang tak kuasa melawan kehendak alam.

Kala itu, ingin sekali Sumi memiliki telepon genggam. Nonton sinetron di rumah kades tiap malam membuatnya tahu kalau ada alat ajaib yang kuasa mengantarkan suara dan rupa ke mana-mana. Tapi, untuk apa? Ia memang masih menyimpan nomor ponsel Blijung, tapi … lagi-lagi … untuk apa? Tak ada listrik dan sinyal provider apa pun di pulau! Hanya rumah kades yang menyala di malam hari, itu pun dengan bantuan genset sehingga ia dan warga lain beroleh hiburan dari kotak ajaib 24 inci di ruang tamunya dari pukul 7 hingga 9 malam.

“Kenapa Mak minum Bodrex?” tanya Blijung lima belas tahun yang lalu ketika Sumi ‘tertangkap basah’ minum obat sakit kepala itu. “Takkah itu obat untuk aki, Mak?”

Selalu, Sumi akan tertawa dengan air mata berlinang tiap kali mengingat pertanyaan polos Blijung-7-tahunnya. Bukan rahasia lagi kalau di Karimata saban accu bermasalah, Bodrex yang dimasukkan ke tiap lubangnya menjelma jadi pil ajaib. Tak sampai 10 menit, accu yang biasa digunakan untuk menyalakan mesin kapal penangkap cumi dan listrik di rumah kades kala malam tiba pun akan beroperasi lagi.

 “Iskandar Zulkarnain, Pak Ustaz,” suara cempreng Blijung nyata sekali menabuh-nabuh gendang telinga Sumi.

Sepuluh tahun lalu, dengan telunjuk yang masih terangkat, ketika ustaz kondang yang sering muncul di TV memberikan pertanyaan di akhir ceramahnya di Pulau Pelapis tentang siapa penakluk pasukan Jengis Khan dari Mongolia di daratan Arab, Blijung memesona ratusan hadirin.

Di antara kerumunan jemaah, di bawah pohon limau di sudut AlunAlun Tanjung Ru, wajah Sumi dan suaminya hangat oleh air asin yang meluap dari mata yang memerah serta-merta. Tak sia-sia kami sekeluarga jauh-jauh menyeberang pulau untuk mengikuti maulud nabian, teriak hati kecil Sumi. Sejak itu, Blijung menjadi buah bibir orang-orang di segugusan Kepulauan Karimata sebagai Anak Pulau Genius!

“Apa pun yang terjadi,” kata suaminya sembari mencium-cium sarung hadiah dari ustaz kondang yang diberikan Blijung kepadanya, “anak kita harus sekolah tinggi, Dik!”

Sarung bermerek gajah yang sedang istirahat itu masih tersimpan di lemarinya. Sumi sudah mengingatkan Blijung agar memasukkannya ke tas punggung yang akan ia bawa ke Pontianak, tapi remaja itu hanya menggeleng dan tersenyum.

Ah, Blijung bagai tahu benar. Pemberian ustaz itu tidak hanya mengingatkan Sumi pada bujang purnama yang mengangkat derajat keluarga lewat isi kepalanya, tetapi juga memutar kenangan bersama sang suami. Kau bukan hanya pandai, Blijung, gumam Sumi waktu itu, melainkan juga perasa. Hatimu sangat lembut, Nak.

Sumi juga ingat, belum sepekan kematian suaminya, Blijung giat sekali nyumi, begitu orang-orang di Kepulauan Karimata menyebut aktivitas memancing cumi yang biasa dilakukan sejak matahari terbenam hingga subuh bertandang. “Blijung bukan nak menggantikan Ayah, Mak,” katanya ketika Sumi memintanya tidak nyumi hingga subuh sebab pagi harinya Blijung masih harus sekolah. “Blijung ingin Mak memiliki simpanan ketika nanti aku pergi.”

Oh, bagaimana bisa anak kelas tiga SMP mengatakan itu?

“Juga … agar Blijung punya pegangan yang cukup saat kuliah nanti.”

Sumi mengusap-usap kepala putranya. Ia pandangi lamat-lamat lengannya yang hitam dan bersisik karena kapalan dipanggang matahari dan dibasuh air asin. Cepatnya kau dewasa, Nak.

Di Karimata, nyumi adalah cara cepat mendapatkan uang banyak. Saking melimpahnya cumi di laut, nelayan dapat menjual hingga 50 kilogram per malam. Kalikan saja 40 ribu sebagai harga per kilo yang ditetapkan pengepul waktu itu. Oleh karenanya, bukan hal yang aneh kalau tiap kali ikan-ikan tertangkap atau terkait mata pancing, para nelayan akan melepaskannya begitu saja. Kapasitas motor air—alias kapal yang digerakkan mesin kecil—yang tak seberapa, terlalu berharga untuk ikan-ikan yang ditawar sangat murah di dermaga.

 “Mak akan membuat lebih banyak cumi kering, Nak,” kata Sumi suatu hari seperti berjanji. “Kau tahu, kan, kalau harganya lebih tinggi daripada.…”

“Pokoknya jangan kirimi Blijung uang, Mak,” tegas Blijung, bahunya turun-naik menahan buncah, “dan … setinggi-tingginya harga cumi, Mak jangan pernah nyumi. Blijung tak mau menjadi Ejak atau Muawiyah yang piatu karena Bi Milu dan Wak Juai terapung di laut setelah dihajar puting beliung,” bibir Blijung yang legam bergetar hebat. “Blijung akan melakukan apa saja, asal halal, untuk hidup di kota, tanpa mengabaikan kuliah,” ia tatap mata ibunya lekat-lekat, lamat-lamat.

Sumi membuang muka. Tak sanggup ia menantang tatapan itu. “Mak percayelah,” pungkasnya. Lalu Blijung mencium punggung tangan kanan Sumi. Satu, dua, hingga dua puluh detik kemudian, Sumi dibekap haru. Air matanya hampir menitik di kepala anaknya.

Sebenarnya, ingin sekali Sumi mendebat, tapi ia memilih memercayai Blijung. Pada bola mata remaja 18 tahun itu Sumi menangkap nyala yang susah ia bedakan: semangatkah, atau kesumat?

Sejak ayahnya melepas nyawa karena telapak kakinya disengat ampai, ubur-ubur yang berukuran lebih kecil, terlambat mendapatkan pengobatan karena nelayan lain lebih mementingkan menunggui cumi yang kala itu harganya sedang tinggi-tingginya, Blijung tahu bahwa nyumi di Karimata tidak hanya kuasa menewaskan sang ayah, tapi juga membunuh kemanusiaan.

“Blijung pasti kembali, Mak, tapi bukan dengan hanya gelar sarjana,” begitu ia membuka surat terakhirnya, “Blijung aktif di banyak organisasi dan perhimpunan. Bukan sekadar agar bisa makan, tapi agar terang masa depan.”

Sumi tak terlalu mengerti apa yang putranya nyatakan. Yang terang, lekas ia menuliskan sebatang kalimat di selembar kertas untuk dibawa nelayan ke Pontianak: Baleklah, Blijung … Mak rindu.

Sejak itu, tak ada lagi balasan.

Hingga … setelah lebih setahun Blijung hilang ditelan angin dan kepak burung elang yang melintasi langit Karimata, dada Sumi tak lagi muat menampung kesedihan, kepedihan, dan kenelangsaan. Ia pun berjalan kaki 4 kilometer dari Tanjung Ru ke Dusun Padang, melabuhkan keluh ke hadapan Sadun, satu-satunya keluarga yang ia punya.

Ketika laki-laki itu hendak kembali menembakkan kalimat yang menghunjam Sumi ke dasar penyesalan, anak bungsu kades tiba di halaman dengan napas terengah-engah. “Blijung pulang, Bi Sumi!” teriaknya. “Dia dan temantemannya dalam perjalanan dari dermaga ke rumah Bibi.”

Oh, bagai hendak pingsan Sumi oleh kabar mahabahagia itu.

Sadun lekas menyalakan sepeda motor, membonceng Sumi yang menangis bahagia di belakangnya. “Blijung memang harus diberi pelajaran,” teriak laki-laki itu ketika motor melaju kencang di jalan setapak desa. “Hilang dan tibe tanpa kabar macam hantu laut jak!”

***

Di Tanjung Ru, orang-orang berseragam jingga memenuhi halaman dan beranda rumah kayu Sumi. “Kami teknisi pemasangan listrik dari kabupaten,” kata salah satu dari mereka ketika Sadun bertanya.

Dari dalam rumah, Blijung yang melihat ibunya di muka pintu berlari dan mencium kaki perempuan paruh baya itu. “Maafkan kalau Blijung butuh waktu selama ini untuk kembali, Mak,” raungnya dengan air mata yang ia biarkan mengalir sederasderasnya.

“Blijung-lah yang mengusulkan pemasangan listrik di Karimata, Bang,” kata petugas yang lain kepada Sadun yang masih penasaran. “Dia membuat proposal, berani sekali bicara dengan pimpinan kami, hingga akhirnya Bupati pun mendukungnya,” tambah petugas yang lain.

Sadun mati kata. Kakinya menapak jenjang rumah kayu Sumi dengan perasaan bersalah.

Di hadapannya kini, dua beranak berpelukan dengan tangis yang ruah. Tak kuasa ia redam gejolak air hangat yang memaksa keluar dari ekor matanya. Karimata dan air mata sudah lama sekali tak terpisahkan. Hari ini, mereka kembali berjumpa untuk alasan yang belum pernah ada: cahaya masa depan.

Desa Padang, Karimata, Oktober 2022

Benny Arnas

2 Comments

  • Karimata, air mata tumpah ruah membacanya. Feel-nya dapet. Menarik sekali. Sukses, Bang!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *