Asam Padeh Bandit
Oleh Benny Arnas
——-
Pagi tadi, istri memasak dua menu. Nasi gemuk untuk sarapan dan asam padeh sambal tempe untuk makan siang.
Saya tak ingat, kapan terakhir kali saya menyantap asam pedas masakannya. Yang jelas, asam pedas adalah salah satu hidangan favorit saya.
Bakda menjemput Maura dari sekolah, pukul satu siang lebih sekian menit, saya membuka tutup panci. Saya mengerenyitkan dahi.
Kok kuah asam padehnya bening mirip kuah pindang. Ini mah gangan, bukan asam padeh, protes saya dalam hati. Selera saya langsung hilang.
Pantes, pikir saya, saya tak ingat kapan terakhir makan asam padeh buatannya. Tentu karena kurang berkesan. Tentu karena tampilan asam padehnya yang mirip gangan. Ach.
Sebenarnya saya juga suka lauk ikan kuah khas Belitung itu, tapi imajinasi saya telanjur memasok lauk ikan kuah merah kental itu ke dalam kepala.
Saya tak mungkin tidak memakannya. Membayangkan ia—yang setiap hari bangun pukul empat demi memastikan suami dan anak-anaknya akan sarapan dan makan siang dengan makanan buatannya sendiri (sebelum ia berangkat mengajar ke sekolah)—saja saya sudah nggak sanggup.
Tetapi memakannya juga membuat saya harus mengikis bangunan imajinasi yang kadung kokoh dalam kepala. Secara psikologis, saya rugi. Ach, saya merutuki diri sendiri: betapa repotnya hidup jadi saya!
Saya ambil centong. Saya cedok asam padeh itu. Sepotong ikan laut tergenang dalam cekung centong yang penuh kuah.
Saya endus baunya. Amis. Lha, kan ikan memang amis, Benn?—entah suara dari mana itu.
Iya, sangkal hati kecil saya, tapi nggak seamis ini harusnya. Harusnya, batin saya lagi, agak kesal, asam padeh itu ada aroma … entah apa itu. Bukan amis begini!
“Kamu nggak punya pilihan,” suara itu menang.
Saya ambil mangkuk. Ketika saya hendak mengambil potongan ikan yang paling kecil, tak sengaja saya mengaduk kuahnya. Saya mengerenyitkan dahi. Saya aduk lagi. Kuahnya tak lagi bening. Kuahnya kental. Mirip dengan kuah asam padeh pada umumnya, meskipun yang ini kurang merah, bahkan agak kecokelatan.
Eh, kok aromannya enak. Kok bisa gini ya?
Saya dekatkan hidung. Iya benar, ini nggak amis kok. Iya, ini aroma khas asam padeh. Selera saya muncul lagi. Saya malah mengambil tiga potong ikan. Potongan yang besar-besar.
Dan, sodara-sodara ….
Ditemani nasi panas dan sambal tempe teri medan, alamakjang, asam padeh ini alangkah banditnya di lidah.
Saya makan, lahap, sangat lahap. Saya lanjut ke sesi kedua alias nambah nasi. Tentu saja, tambuah juo asam padehnyo!
Begitu selesai makan, saya merasa sangat bersalah kepada Istri. Saya sudah tidak adil sejak dalam pikiran. Tak ada pilihan lain, saya ingin berbicara kepadanya. Saya mengambil hape. Menekan namanya di daftar kontak.
Untuk efek dramatis, saya sudah berencana akan menceritakan pengalaman makan siang saya persis seperti yang saya tulis di atas. Agar ia (mulanya) mengira saya tidak menyukai lauk yang ia masak dengan cinta itu. Agar percakapan kami meledakkan bahagia. Saya sudah terbayang ekspresi kesal-kesal mandjaaah-nya!🤣
Tapi … hingga tiga kali saya menghubungi, ponselnya tidak juga aktif. Oh, saya baru ingat, ia sedang melatih murid-muridnya untuk tampil teater besok.
Saya pun menuliskan cerita kilat ini. Saya tandai namanya. Saya tahu dia akan membacanya. Kepada kalian, siapa pun yang menganggap saya telah menyiarkan ketidakpentingan di media sosial ini, saya mohon maaf.
Untuk saat ini, yang terpikir oleh saya, hanya begini cara meminta maaf yang setimpal. Untuk kelancangan pikiran saya. Untuk segala kebaikannya.
Lubuklinggau, 25–10–2023
Buat Desy Arisandi