Aruh Sastra, Lingkungan, dan Egaliterisme

 Aruh Sastra, Lingkungan, dan Egaliterisme

Oleh Benny Arnas

asyikasyik.com, 7 November 2023

Percakapan menarik tentang sastra dan lingkungan dalam diskusi yang berlangsung di Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) XX (Banjarmasin, 27–29 Oktober 2023) meninggalkan cekung jejak yang sukar saya ratakan dalam ingatan.

Diskusi yang mengkritisi ekologi dalam sastra, kurangnya daya ge(b)raknya terhadap peradaban, plus keterlibatan Negara dalam literasi lingkungan, membuat forum itu memanas ketika sesi tanya jawab dibuka. 

Bahkan hingga forum yang digelar bakda Zuhur itu ditutup dengan terlambat karena pertanyaan dan tanggapan yang tak kunjung padam meskipun senja mulai bertandang, percakapan tentang sastra sungai terus berlanjut dalam kelompok-kelompok kecil.

Tentu ini menggembirakan karena memberikan kesan yang jauh dari formalitas sebuah festival sastra yang, dalam beberapa contoh, kerap menjelma jadi forum yang membosankan atau bahkan hadir sebagai sajian showbiz semata.

Tudingan Keliru Alamat

Sastra, dengan moral yang tersuruk di dalam cerita atau makna yang menyemak di antara metafora, bukanlah teman baik bagi siapa pun yang menuhankan keinstanan.

Sastra cenderung memunggungi akselerasi. Sastra, dengan materi apa pun yang terkandung di dalamnya, mengajak sesiapa untuk berpikir kritis, bukan bertindak taktis. Dan itu butuh proses. Butuh waktu. Butuh ketekunan, khususnya dalam memelihara kepercayaan bahwa sastra memiliki kekuatan mengubah peradaban lewat lentingan imajinasi dan bahasa yang diproduksinya.

Jadi, ketika salah seorang peserta dengan berapi menganggap narasi pemantik dari saya, Felix K. Nessi, dan Reizqie M. A. Atmanegara, yang didaulat sebagai pembicara tidak memberikan solusi terhadap masalah lingkungan, tudingan itu jelas sekali keliru alamat.

“Anda salah forum,” ingin sekali saya membalasnya begitu. Namun, pernyataan itu tidak mungkin berdiri sendiri. Ia harus satu paket dengan penjelasan yang, karena keterbatasan waktu, tak mungkin saya uraikan saat itu.

Esai ini, dengan semangat menyuburkan diskusi tekstual yang egaliter, bermaksud menunaikan tanggung jawab sebagai penulis sekaligus salah satu pembicara terhadap antusiasme audiens.

Sastra Bukan Karya Informatif

Ketika Anda membutuhkan uaran informatif yang to the point, jangan mencarinya di forum sastra. Jangan mengharapkannya kepada karya sastra. Anda salah objek.

Lebih pas bagi Anda berada di antara para aktivis, pengambil kebijakan atau kalau perlu masyarakat pekerja kelas bawah korban penindasan kapitalisme atau oligarki sebagai narasumbernya. Kegiatan-kegiatan itu bisa dalam bentuk diskusi, pernyataan sikap atau rekomendas, atau demonstrasi kalau tak sabar beraksi.

Tapi, lekas bukankah kata sifat yang bersahabat dengan kritisisme. 

Oleh karenanya pula, novel Uncle Tom’s Cabin(1852) karya Harriet Beecher Stowe, butuh waktu bertahun-tahun untuk memainkan peran penting dalam pergerakan anti-penindasan dan anti-perbudakan di Amerika Serikat.

Begitu juga The Jungle besutan Upton Sinclair. Novel yang diterbitkan pada tahun 1906 ini mengungkapkan kondisi pekerja di pabrik-pabrik daging sehingga memicu reformasi dalam industri makanan dan obat-obatan di Amerika Serikat.

Dari dalam negeri, tidak instan bagi puisi-puisi Wiji Thukul untuk dibaca masyarakat. Ya, membacanyadulu. Membaca kemudian membuat mereka kritis. Lahirlah gerakan. 

Hal yang sama terjadi pada puisi-puisi Rendra yang membuka mata masyarakat bahwa, di bawah oligarkiOrde Baru, ketertiban adalah kestabilan palsu. 

Sebenarnya, jangankan sastra, teks politik seperti Manifesto Komunis karya Karl Marx dan Friedrich Engels atau Mein Kampf-nya Adolf Hitler juga harus kompromi dengan waktu. Butuh kesabaran bagi narasi ideologis itu menggerakkan massa, melahirkan perubahan signifikan: memengaruhi perubahan besar dalam sejarah dunia abad ke-20..

Lingkungan Bukan Alam Semata

Namun, sejatinya, ada yang lebih substansial dari itu. Kita kerap kali menganggap lingkungan (hidup) adalah tentang bumi atau alam semata. Tunggal. Mandiri. Indie. Terlepas dari sekitar. 

Ini tentu saja bias dan keliru. 

Periksalah. Baik menurut Undang-Undang ataupun kamus ekologi, perilaku dan pengaruh manusia tak bisa diabaikan ketika mendefinisikan lingkungan (hidup).

Artinya, membicarakan lingkungan hidup adalah bukan hanya membicarakan bagaimana bumi merespons perubahan zaman, tapi juga bagaimana manusia melakukannya. 

Dalam banyak kasus (baca: karya sastra), hal yang kedualah yang malah kerap terjadi. Manusia menjadikan alam (bumi) sebagai objeknya. Sebuah realitas sastra yang menjadi pusaran kritik peserta yang membicarakan topik ini dalam konteks kekalimantanan: kenapa sungai tidak bisa menjadi subjek atas karya sastra!

Alam Sebagai Subjek

Menjadikan alam sebagai subjek mungkin menarik secara pemikiran, namun dalam tataran teknis (baca: menggarap karya), tanpa kemampuan dan pemahaman menulis yang mumpuni, ia rentan ambigu atau gagal perform.

Hal ini bersigesek dengan yang dikemukakan oleh Reizqie A. M. Atmanegara, penyair Kalimantan Selatan, ketika mengungkapkan kegelisahannya tentang sejumlah puisi penyair Kalsel tentang sungai yang, alih-alih memihak kepada sungai, malah jatuh pada romantisisme karena miskin data. (Diskusi “Sastra dan Lingkungan”, ASKS XX, 28–10–2023).

Sebagai perbandingan, dalam ranah sastra Indonesia, bias ini terjadi ketika membincangkan cerpen “Air Raya” karya Azhari, misalnya. 

Banyak yang menganggap cerpen yang terbit di Kompas lima bulan sebelum tsunami meluluh-lantakkan Aceh pengujung 2004 itu adalah cerita bertema lingkungan—tentu saja selain menganggap cerpen ini memiliki daya magis sebab bagai menjadi pertanda datangnya bencana besar itu di tanah kelahiran si pengarang.

Padahal, “Air Raya”, yang berkisah tentang kerinduanseorang anak laki-laki kepada ayahnya, namun sang ibu malah menggunakan kisah Nabi Nuh dalam kitab suci agar sang anak percaya bahwa ayahnya tidaklah mati sebagai pengkhianat (negara atau GAM [?]) melainkan sedang menambal perahu Nuh.

Tidak banyak karya sastra Indonesia seperti “Rumah-rumah Menghadap Jalan” (Raudal Tanjung Banua, 2005), “Pohon Kersen” (Linda Christanty, 2010), atau “Durian Ayah” (Rizqi Turama, 2016) yang menghadirkan lingkungan bukan sebagai tempelan, latar, atau kondimen drama semata, melainkan materi utamanya sehingga terang benderang posisi (karya) sastra(wan) pada lingkungan hidup.

Sastra, Kalsel, dan Kehadiran Negara

ASKS yang tahun ini memasuki dua dekade penyelenggaraannya  adalah bentuk keberhasilan sastra bermitra dengan Negara—atau sebaliknya. Masuknya ASKS  ke dalam struktur kegiatan—dan juga anggaran—Pemda adalah sebuah kemesraan yang jarang terjadi, atau bahkan anomali, di banyak daerah di Indonesia.

Menyenangkan sekali ketika mengetahui, dari tahun ke tahun, dinas yang membidangi kebudayaan di setiap kota dan kabupaten di Kalimantan Selatan menggelar perhelatan sastra tingkat provinsi yang beberapa tahun belakangan, makin ”berbunyi” di kancah nasional.

Di saat yang sama, sebagaimana ASKS 2023, isu (lingkungan) yang memungkinkan para sastrawan dan Negara bergesekan, juga digelar tanpa membatasi pembicara—dan juga pesertanya—dengan protokol ini dan itu sehingga egaliterisme itu terbangun organik

ASKS bukan hanya ajang reuni dan kongkow semata. Ia adalah tempat bagi kritisisme dipantik, termasuk membuat lingkungan diperhatikan dengan caranya sendiri. Dengan puisi. Dengan prosa. Dengan diskusi yang membuat sesiapa yang hadir dan terlibat makin solid secara pemikiran dan gerakan sebab, mereka sadar bahwa sastra ternyata tidak pernah benar-benar sendiri.*** 

Benny Arnas

https://bennyarnas.com

Penulis & Pegiat Literasi

2 Comments

  • Terima kasih banyak Bang, essai ini benar-benar telah menyempurnakan diskusi ASKS kemarin waktu. 😍

    Izin share, Bang. Terima kasih banyak lagi, sehat dan bahagia selalu buat Bang Benny sekeluarga, Aamiin Allahumma Aamiin … 🤲🤲🤲

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *