8 Subjektivisme Muslim yang Tidak Akan Pernah Mampu Dipahami Nonmuslim terkait Palestina

Gambar: KontenIslam.com
Oleh Benny Arnas
Opini tentang konflik Palestina-Israel dari orang-orang nonmuslim berseliweran di linimasa media sosial. Sebagian besar meminta kedua belah pihak (dalam konteks keindonesiaan, tentu saja pihak yang ia tuju adalah muslim!) untuk bersikap tenang, mengedepankan dialog, berpikir positif, dan menghindari unggahan-unggahan yang bisa memicu konflik, sebab kedamaian harus ditempuh dengan cara-cara damai.
Beberapa hal yang patut Anda timbang baik-baik sebelum menjadi komentator yang fasik adalah:
1. Konflik Israel-Palestina, dari 1922 hingga hari ini, bukanlah peperangan. Ia, terang-benderang, adalah opresi, penindasan, penjajahan.
2. Tapi, Anda juga tidak dipaksa memahami sesuatu yang bukan konsen Anda kok karena Anda—nonmuslim yang “bijak”—memiliki objektivisme yang bernama netralitas dan kemanusiaan untuk kedua belah pihak. Sayangnya, objektivisme itu tidak pernah selaras dengan subjektivisme muslim sebagai salah satu pihak yang, secara fakta, sah dan meyakinkan, lebih banyak dirugikan.
3. Analoginya Anda punya keluarga. Keluarga Anda dizalimi. Si penzalim menolak meminta maaf, mengabaikan dialog, bahkan tak keruan kali melanggar perjanjian. Kemarahan, ketakrelaan diperlakukan tak adil, dan sejenisnya adalah ekpresi yang wajar. Manusiawi. Dan berterima. Nah, dalam subjektivitisme muslim, ganti saja “keluarga” dengan “keluarga sesama muslim”. Sesalah-salahnya keluarga sendiri saja, kita masih punya insting melindungi, apalagi terang sekali keluarga itu terzalimi. Kalau sampai di sini Anda masih ngeyel pun, masih juga sangat bisa dimaklumi. Mengapa? Ya, karena Anda bukan muslim!
4. Analisis dan opini netral anda tentang neo-apartheid di Palestina tidak berlaku. Lagi-lagi urusannya adalah subjektivitisme spiritual. Tentang bagaimana muslim berpikir, bertindak, dan mengambil keputusan. Apa itu? Islam tidak menganut nirtendesisme, nihilisme, netralisme, apalagi kebenaran umum. Tidak ada. Mencari ilmu saja kami harus bersanad. Kapasitas dan kapabilitas guru harus terang kiblat, mahzab, dan tingkat konsistensinya alias tidak ada ruang bagi sinkretisme. Oportunistik, dalam sirah dan sejarah, adalah saudara kembarnya kemunafikan!
5. Tidak ada ruang bagi tafsir humanisme buta yang dewasa ini menjelma dalam wujud hak asasi manusia, PBB yang fasik, atau pengamat dan analis mendadak yang berceramah bahwa tak ada jalan paling mulia dalam konflik selain keberserahan dan bertapa di kesunyian dan kegelapan. Maaf, kesunyian dan kegelapan, bagi kami, tidak berkarib dengan keluasan jiwa. Ia adalah tempat favorit bagi jin dan iblis! Menyamakan kesunyian dan kegelapan dengan keberserahan dan kesucian adalah salah besar.
6. Mengutip Harper Lee dalam To Kill A Mockingbird: “Anda tidak akan pernah memahami seseorang sampai Anda berada di sudut pandangnya. Sampai Anda masuk ke dalam kehidupannya dan berjalan di dalamnya.” Anda, yang berdiri jauh di luar lingkaran konflik ini, yang bukan bagian dari tubuh kami, tidak akan pernah bisa memahami kami.
7. Jadi, kalau Anda tak bisa bersimpati, berhentilah mengajari muslim dengan teori kemanusiaan yang adil dan beradab atau kedamaian yang dijunjung umat manusia. Itu sudah sangat busuk dan basi. Berceramahlah di fanpage-nya Yael Eckstein atau Israel Defense Forces atau Ben Shapiro atau di unggahan-unggahan yahudi yang terang-terangan mencuri rumah saudara-saudara Palestina kami. Saran ini bukan agar Anda membersamai kami. Bukan. Ini agar Anda mengaplikasikan prinsip keadilan dan kedamaian dan kesamaperlakuan yang Anda junjung. Lakukanlah. Buktikanlah.
8. Teman-teman nonmuslimku, saya mencintai kalian dan mencintai persaudaraan. Tidak ada yang tidak mengimpikan kedamaian—sebagaimana yang kita rasakan di Tanah Air. Tapi, kalau kalian memperlakukan kepalestinaan—urusan yang tidak ada “darah” kalian di sana—seolah-olah kami adalah orang-orang barbar, tentu saja tulisan ini harus saya buat. Sungguh, kalau penindasan ini terjadi pada kaummu (baca: agamamu), kalau tak bisa menunjukkan empati, saya lebih memilih diam. Mengutap-ngutip aneka teori mulia tentang kemanusiaan yang kita semua tahu, di mata penjajah dan politik yang belang-belang, statusnya tak lebih tak kurang adalah wawasan dan ilmu pengetahuan semata, membuat Anda kelihatan wagu. Dalam realitas, teori-teori itu sudah lama mengabu karena dibumihanguskan. Oleh Israel dan … para pengikutnya.
Lubuklinggau, 17 Mei 2021 (Disunting seperlunya pada 16 April 2025)