Yaman dan Hikmah-hikmah yang Menyala …
Oleh Hikmal Alif
Di bus yang akan membawaku ke Muscat, mataku hangat, hatiku basah. Aku akan meninggalkan negeri yang telah memberiku lebih dari yang kuminta.
Kamis, 22 Juni 2023, pagi yang cerah di awal musim panas. Aku dan teman-teman satu kontrakan membuat rencana menumpang huuri, kapal nelayan yang bisa menampung hingga delapan orang, untuk menikmati indahnya laut Mukallla. Beberapa waktu yang lalu, Abdurrahman yang saya kenal ketika kami iktikaf di Masjid Jabal Nur Ramadan lalu, menawariku rencana itu. “Aku punya kenalan yang kapalnya bisa kita pakai,” katanya bersemangat. “Ajak saja teman-temanmu, Lif. Kita akan berlayar hingga dua mil ke tengah laut. Pasti asyik!” serunya.
Pagi itu, aku dan teman teman bergerak dari rumah ke kediaman Abduh, begitu laki-laki berkulit gelap itu saya sapa, sekitar pukul 6 pagi. Dalam kepala masing-masing, kami membayangkan keseruan pelayaran nantinya.
Suasana tepi laut yang berangin serta lambaian tangan dan senyum lebar Abduh di kejauhan memang membuat harapan kami sempat mengembang. Tapi, setelahnya, segalanya mengambang (ya, betapa mengembang dan mengambang hanya dibedakan oleh satu huruf!). Ya, mengambang ketika kapal yang Abduh janjikan tak kunjung tampak dari pantai.
Mulanya, ada yang menghabiskan waktu dengan menikmati sepoi angin, hangatnya matahari pagi, atau sepertiku yang sekadar berkejar-kejaran dengan ombak di bibir pantai. Namun, setelah hampir dua jam kapal itu tak kunjung tiba, satu per satu teman saya pun meninggalkan pantai. “Aku minta maaf, Lif …” kata Abduh terbata-bata ketika tinggal aku seorang yang bertahan. Aku tersenyum dan menepuk pundaknya, “Tidak apa. Yang penting kita sudah bertemu.” Abduh mengangguk dan tampak lega dengan reaksiku. Aku sendiri merasa senang karena lusa aku akan kembali ke Indonesia karena masa belajarku di Jami’ah Ar-Rayan, kampus di Provinsi Hadramaut, Yaman, sudah berakhir.
Aku tak pernah menyangka kalau kegagalan kami naik hurri hanya pembukaan dari serentetan drama yang harus kuhadapi hari itu.
***
Setelah mandi dan berganti baju, aku langsung ke kampus. Ada urusan yang harus segera kubereskan. Paspor yang telah dicap visa keluar Yaman (khuruj nihaii) harus segera kuambil. Sesuai jadwal, masuul, penanggung jawab urusan paspor jami’ah, akan memberikannya hari Kamis.
Dengan hati riang, aku mengendarai sepeda motor pinjaman menuju Jami’ah ar Rayyan, kampus tempatku memperdalam bahasa Arab setahun belakangan ini sebagai persiapan kuliah di Al Azhar, Kairo, tahun depan. Di syuun tullab alias kantor administrasi kemahasiswaan, aku mendapat kabar bahwa pasporku belum distempel. “Masih di Jawazat,” jawab petugas tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Aku mencoba bersabar meskipun ketika mendongak, terik matahari bagai hendak membakar emosi. Aku tidak langsung menuju kantor administrasi dan keuangan kampus untuk mengonfirmasi jawaban pihak syuun tullab. Aku menghampiri salah seorang petugas yang menyambutku dengan ramah. “Tunggu, saya telepon Aidil dulu.” Ia menyebut nama masuul pengurusan paspor mahasiswa.
Aku salut dengan niat membantunya. Ketika hingga panggilan kedua dan Aidil belum menjawab, kupikir ia akan menyerah, ternyata ia terus mencoba hingga si masuul menjawab pada panggilan keenam. “Tunggulah sampai Zuhur,” katanya setelah berbicara di ponsel. “Orang Jawazat-nya masih di luar.”
Aku mengurut dada, lega. Masih ada harapan. Kami semua tahu kalau kantor keimigrasian memang beroperasi maksimal hingga pukul 2 siang. Namun, ternyata harapan itu lagi-lagi mengambang ketika mendapat kabar bahwa penanggungjawab visa itu masih belum berada di kantor hingga jam operasi berakhir. Allah. Bagaimana ini? Meski aku memesan tiket bus Mukalla-Muscat untuk keberangkatan Sabtu, besok benar-benar tidak ada artinya karena Jumat adalah hari libur!
Langit musim panas itu, di mataku, menjelma kibaran api merah saga. Mungkin karena suhu yang mencapai titik 43 derajat, darah mudaku terbakar juga.
Setengah berlari aku kembali ke syuun tullab. ‘’Kenapa belum selesai-selesai?” kataku dengan nada tinggi ketika bertemu petugas. “Bukannya aku sudah mengisi berkas berkas kepulangan dari seminggu sebelumnya. Kenapa bahkan sampai sekarang belum dikerjakan?!” Selama hidup, rasanya aku belum pernah seemosi siang itu.
Setan apa yang berhasil memelukku hingga emosiku bukan hanya tumpah ke kantor administrasi, tapi juga dan lanjut ke petugas di kantor di sebelahnya. Ah, brutal sekali. “Idzaa maa tiqdaar, gull, ana ma aqqdar!” teriakku. Ya, jikalau kalian tidak bisa, katakan tidak bisa!
Di luar, aliran darahku bagai ditotok. Aku beku dan mematung. Aku takut memandang langit. Aku tak ingin dilahap oleh emosi sendiri. Sekali mendongak, pandanganku menabrak dinding kampus di seberang. Ah, ingin sekali aku bersandar di sana. Tapi, buat apa? Astaghfirullah. Aku segera menuju masjid kampus. Bukan hanya karena aku belum menunaikan Zuhur, tapi karena aku teringat bunyi surat Ar Ra’du ayat 28, “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram.” Aku tahu, Allah sebaik-baik tempat mengadu dan bersandar.
Benar saja. Setelah berkeluh-kesah di rumah-Nya, sebuah titik terang bagai menerangi jalan.
Insting mengarahkanku menemui Doktor Jamal, dosen ahli lughoh, alumnus Baghdad dan Mekkah yang memberikan saya rekomendasi (tazkiyah) untuk belajar di Ummul Qura. Sesuai perkiraan, Doktor Jamal bersama para pengajar yang lain, sedang berada di perpustakaan. Di antaranya ada Doktor Isa, ahli fikih yang meskipun sepuh, tetap semangat memperdalam ilmu. Juga ada Ustaz Salim yang mengampu mata kuliah Sejarah dan Akidah. Kepada guru-guru yang kukagumi dan sayangi itu, aku pun menceritakan masalahku. Mulanya Doktor Jamal mengira aku baru mengurus segalanya hari ini. Namun, kepada sosok yang sudah kuanggap ayah di negara ini, aku tak mungkin memberikan tanggapan seperti yang kulakukan kepada para petugas kampus seharian ini. Aku pun menjelaskan duduk perkaranya pelan-pelan. Alhamdulillah akhirnya ia mengerti, bahkan mereka berempati dengan keadaan muridnya ini.
Aku sedang memandangi layar ponsel yang menampilkan tiket pesawat Muscat-Jakarta yang mungkin akan hangus begitu saja ketika Doktor Jamal menyuruh Ustaz Salim untuk menelepon Aidil. “Tak dijawab, Doktor,” lapornya beberapa saat kemudian.
“Kalau begitu, saya sendiri yang akan ke syuun thullab,” kata Doktor Jamal seraya meninggalkan saya dan Doktor Isa di perpustakaan.
Harapan itu mengembang lagi.
Tak sampai setengah jam, dosen yang sangat saya hormati itu sudah kembali. Ia menceritakan kekesalannya. “Mungkin para petugas syuun tullab terkejut melihat saya memarahi mereka seperti tadi.” Apakah doktor itu melakukannya karena menganggap aku layaknya anak atau karena aku adalah mahasiswa dengan nilai terbaik di mata kuliahnya yang diampunya, aku tak peduli. Perasaan haru dan bangga pun tebersit menghangatkan hati, meski hanya sejenak. “Mereka tampaknya tak bisa diandalkan,” lanjutnya. Setelah memintaku bersabar, ia pamit karena ada pekerjaan yang harus ia selesaikan.
Kini, tinggallah aku dan Doktor Isa saja di perpustakaan. laki-laki berjanggut lebat itu memandangku dengan iba. Sungguh aku benci keadaan ini. Allah, kuatkanlah hamba-Mu ini ….
“Aidil ini sepertinya sibuk sekali sehingga tak bisa menjawab telepon,” ia menata katanya sedemikian rupa agar aku tidak makin sedih. ”Saya coba meneleponnya lagi sekarang. Semoga dijawab.”
Allah. Ternyata Aidil langsung menjawab panggilan dosen sepuh ini. “Kata Aidil, tunggu sampai Asar, Lif,” katanya lembut setelah mengakhiri panggilan.
“Alhamdulilah,” kataku, lega.
“Insya Allah kita bertemu Asar nanti di masjid di sebelah Jami’ah, ya,” katanya setelah berbagi cerita suka-duka ketika ia mencari ilmu di India dulu. “Sekarang, kamu pulanglah dulu,” bujuknya.
Aku hanya mengangguk dengan tatapan kosong. Namun, hingga tubuhnya hilang di balik daun pintu, raga ini masih bergeming. “Pulang tanpa paspor? Buat apa?” batinku kesal.
Di ruangan yang dindingnya dipenuhi kitab itu, aku melihat seorang petugas sepuh yang sedang sibuk dengan papan ketik komputernya. Sepertinya ia sedang tak mau diganggu (atau kami sama-sama introver? Entahlah!). Aku bingung harus melakukan apa sehingga aku pun menghabiskan waktu dengan duduk-duduk dan tidur-tiduran di bangku panjang perpustakaan. Di bawah kipas angin yang memutar, aku hampir saja terlelap ketika panggilan salat terdengar dari pengeras suara masjid. Ah, aku akan merindukan azan khas negeri yang terletak di ujung selatan Jazirah Arab ini. Azan di Yaman memang berbeda. Di sini, azan dibunyikan pendek-pendek sehingga saya kerap kali bingung membedakannya dengan iqamah.
Dari dalam masjid, saya melihat Doktor Isa berjalan pelan di kejauhan. Sarung khas Yaman dan sorban kuning yang ia kenakan mengingatkanku pada sosok panglima di medan perang. Ah, melihat ketaatannya, aku selalu seketika menjadi debu. Bayangkan, laki-laki di atas 60 tahunan yang baru saja melakukan operasi stroke itu, dengan sebelah kaki yang pincang, tak mau meninggalkan salat berjamah di masjid. Yaa Rabb, tsabbit qolbii ‘alaa diinik wa tho’aathik.
“Magrib nanti in SyaaAllah paspormu siap, Lif,” katanya ketika aku menghampirinya selesai salat. “Aidil akan datang membawakannya untukmu.”
Meski aku merasa seperti sedang dipermainkan waktu dan janji palsu, hatiku masih yakin bahwa orang salih sepertinya tak akan asal bicara. Terima kasih ya, Allah.
“Kamu tentu pernah mendengar cerita tentang seorang pemain bola yang mengutuk nasib buruknya karena ketinggalan pesawat yang membawa teman-temannya memainkan pertandingan penting untuk negaranya. Sebuah kesempatan yang sudah lama ditunggunya. Namun karena sesuatu terjadi di perjalanan, ia harus tiba di bandara ketika pesawatnya sudah terbang.”
Aku menyimak. Tak sabar menunggu hikmah dalam setiap kata-katanya.
“Kamu tahu, pesawat itu mengalami kecelakaan. Tak satu pun yang selamat.”
Saya terenyak.
“Kamu tahu, bagaimana Allah mengatur segala-Nya dengan sangat presisi. Betapa Allah Maha Tahu dari apa yang hamba-Nya pikirkan. Sekeras apa pun upaya kita, kalau kata Allah tidak, ya tidak. Pun sebaliknya. Hikmal,” suaranya melembut. Sebagai hamba, tugas kita hanya berikhtiar dan rido atas segala keputusan Allah. Selebihnya, biarkan Dia yang memutuskan.”
Aku terdiam. Aku tiba-tiba teringat, beberapa syair Imam Syafii’ melintas:
Biarkanlah hari demi hari berbuat sesukanya. Tegarkan dan lapangkan jiwa tatkala takdir menjatuhkan ketentuan (setelah diawali dengan tekad dan usaha);
Manakala sifat qanâ’ah senantiasa ada pada dirimu. Maka antara engkau dan raja dunia, sama saja;
Bumi Allah itu teramat luas, namun tatakala takdir turun (menjemput), maka tempat mana pun niscaya, ‘kan, terasa sempit.
***
Senja itu, Magrib jatuh. Saya pikir, ini harapan terakhir.
Usai salat, Doktor Isa menyuruh saya menunggu di jami’ah. Tentu saja saya bergegas.
Di jami’ah, ditemani satpam-satpam kampus yang berjaga 24 jam, aku menunggu kabar baik. Dengan perasaan cemas tak menentu, aku sempat melayani salah satu dari mereka bercerita ngalor-ngidul. Bagaimanapun, waktu terus berjalan dan Aidil tak kunjung menunjukkan batang hidungnya.
Azan Isya berkumandang.
Lagi, seperti tak bosan memberi harapan, Doktor Isa berkabar bahwa ketika Aidil menghubunginya ketika aku ke jami’ah tadi “Dia mungkin sedang di jalan. Ayo, saya temani kamu balik ke jami’ah.” Jujur, aku agak segan dengan kebaikan guru saya, meskipun di saat yang sama tebersit kebanggaan dan ketenangan karena dibersamai oleh orang salih.
Setelah hampir satu jam menunggu, aku tak tega membuat Doktor Isa mengurangi waktu istirahat malamnya. Baru saja aku akan memintanya pulang, ponselnya berdering. Wallahi, ternyata pasporku hingga malam ini belum juga distempel. Dari awal memang aku ragu. Bagaimana bisa urusan ini bisa diperpanjang hingga malam sedangkan kantor Jawazat tutup siang tadi? Harapan palsu! Ah.
Langit bak runtuh di atas kepala. Debu gurun bagai bagai menyapu segalanya, tak terkecuali percik mimpiku.
Bagai memahami kegalauanku, Doktor Isa menyampaikan sebuah hadis riwayat Imam Ahmad.
أتاكم أهل اليمن, هم أرقّ قلوبا, الإيمان يمان و الفقه يمان و الحكمة يمانية
“Penduduk negeri Yaman telah datang kepada kalian. Mereka adalah orang yang paling lembut hatinya. Iman itu ada pada Yaman, fiqih ada pada Yaman, dan hikmah ada pada Yaman.”
Setelah mendapatiku yang hanya diam seribu bahasa, laki-laki itu menjauh dan tampak berbicara di telepon. Aku tak tahu dan tak peduli dengan dan (si)apa yang ia bicarakan. Aku merasa, tidak bisa pulang sesuai jadwal adalah takdirku. Tiket bus dan pesawat yang hangus. Semoga ada rezeki untuk membeli yang baru. Allah. Pikiranku sudah seputus asa itu.
“In SyaaAllah paspor malam ini selesai,” kata Doktor Isa beberapa saat kemudian. Mungkin karena tahu betapa kenyangnya aku makan “janji palsu”, ia pun pamit. Ya, kini aku mulai sangsi. Bahkan kepada kata-kata orang salih seperti beliau. Astaghfirullah. Ampuni hamba ya Allah.
Di kampus, aku seperti kambing yang tak bertemu daun berhari-hari. Lesu, lemas, dan mataku redup. Untung saja aku suka lari selama di Yaman sehingga fisikku tidak drop. Kini, aku tahu, bagaimana rasanya putus asa itu.
Setelah satu jam lebih menjadi kambing congek, aku pasrah. Pukul sepuluh malam, aku baru akan melangkahkan kaki keluar dari tempatku menunggu ketika terdengar suara gerbang diketuk terburu-buru.
Ketika pagar terbuka, tatapanku dan seseorang yang menjelma jadi hujan di tengah gurun itu bersirobok. “Ini,” katanya tergesa-gesa. Aidil menyerahkan paspor. “Sudah distempel.” Lalu ia berlalu.
Tanganku bergetar ketika menyadari akhirnya benda seukuran buku ajaib saku tipis itu ada di tanganku. Allah.
Aku tak ingat persis, siapa yang sebenarnya ingin kuhubungi. Doktor Isa atau Doktor Jamal atau siapa. Namun, baru saja kuaktifkan data seluler, pesan whatsApp teman serumah menyerbu kotak masuk. Mereka semua menanyakan keberadaanku. Ah, aku baru sadar kalau seharian ini aku tak memedulikan alat komunikasiku itu.
***
Pagi itu, 23 Juni 2023, adalah salah satu Jumat yang terindah dalam hidupku. Bukan hanya karena langit cerah, udara musim panasnya yang sejuk serta-merta, atau Laut Mukalla yang biru jernih menyala. Tapi, karena aku menyongsong hari ini dengan penuh hikmah.
“Alhamdulillah,” ucap Abduh di seberang ketika aku menceritakan kabar baik itu. Ingin sekali aku menceritakan drama kaya hikmah itu kepadanya atau siapa pun yang kutemui. Namun, belum kuceritakan saja, terbayang liku dan panjangnya kisaku.
Semoga cerita ini bisa berguna. Selain untuk kukenang sebagai cara Tuhan memberiku pelajaran tentang kesabaran, prasangka baik, dan upaya menggapai mimpi yang tak pernah mudah. Juga siapa tahu berguna bagi siapa pun yang sedang putus asa. Sungguh, orang-orang salih adalah sebaik-baik saudara. Sungguh lingkungan yang baik adalah sebaik-baik tempat tumbuh. Sungguh Allah adalah sebaik-baik penolong.
Sabtu, 24 Juni 2023, aku meninggalkan Mukalla.
Di bus yang akan membawaku ke Muscat, mataku hangat, hatiku basah. Aku akan meninggalkan negeri yang telah memberiku lebih dari yang kuminta.
Yaman, terima kasih atas segalanya. Allah, tersungkur aku oleh kasih sayang-Mu.(*)
Hikmal Alif lahir di Sungai Tarab, Sumatra Barat, 14 Januari 2004. Penyuka asiir alpukat, lari, dan bersepeda ini, adalah alumnus Jami’ah ar Rayan, Hadramaut, Yaman, dengan predikat Mumtaz (2023). Saat ini sedang menuntut ilmu di Universitas al Azhar, Kairo, sebagai mahasiwa tingkat pertama (2024).