Waktu untuk Menulis, Kelas, Metode hingga Hidayah
Anehnya, pada tahun kelima kepenulisan saya, alias pada tahun 2013, saya malah membuka kelas menulis. Ya, lima tahun menulis mempertemukan saya dengan banyak sekali orang yang memiliki minat pada dunia kepenulisan. Lima tahun menulis mempertemukan saya dengan banyak sekali orang yang memiliki kesulitan dalam menulis, termasuk bertemu dengan mereka yang selalu gagal menyelesaikan tulisan.
Entah bagaimana, dengan semua capaian yang masih sangat terbatas saat itu (beberapa cerpen saya dimuat media nasional dan dua kumpulan cerpen tunggal), saya pikir saya bisa membantu mereka yang menemukan kesulitan dalam menulis dengan berkumpul di tempat dan waktu yang sama di bawah payung kelas menulis.
Kelas menulis itu berjalan. Ramai. Seru. Tapi tidak seperti yang saya harapkan. Saya ulangi: tidak seperti yang saya harapkan.
Kenapa?
Pertama, karena saya mengajar sebagaimana saya berproses kreatif: otodidak, mengalir, tanpa konsep, tanpa perencanaan. Dengan gaya demikian, banyak target tak tercapai. Meski sering mendengar peserta kelas merasa keberadaan kelas menulis sangat membantu, saya justru tidak melihatnya begitu. Benar, sebagian mereka menyetor tulisan dan kami membahasnya. Tapi, tulisan-tulisan itu, terlepas seperti apa kualitasnya, mereka tulis dengan cara masing-masing. Sementara yang tidak berbakat dan tidak gigih menemukan cara sendiri hanya akan jalan di tempat. Lalu buat apa kelas menulis? Begitu sering saya bertanya kepada diri sendiri dengan nada geram.
Kelas menulis, sebagaimana kelas-kelas peminatan lainnya, adalah lingkungan yang kaya akan energi kreatif. Dan karena energi kreatif sejatinya bisa didapatkan di mana saja, termasuk dalam kelas menulis (karena rekan-rekan satu renjana dan mentor yang siap menjawab saja berada di dalamnya). Ya, kelas peminatan sebagai sumber energi kreatif adalah suatu keniscayaan. Ia tidak bisa dijadikan ukuran berhasil-tidaknya kelas menulis, termasuk berhasil-tidaknya metode yang digunakan si mentor.
Ya, buktinya, sebagian besar peserta masih tetap tidak bisa menyelesaikan tulisan meskipun energi kreatif itu sudah melimpah-ruah. Saya sungguh kecewa dan penasaran. Kenapa? Apakah mereka tidak mendapatkan energi kreatif itu? Tentu saja mereka mendapatkannya. Lalu, kenapa mereka tidak bisa menyelesaikan tulisan?
Saya menemukan jawabannya? Ya, tapi tidak saat itu. Tujuh tahun kemudian, tepatnya.
Ya, seiring berjalannya kelas, saya mengurainya satu-satu.
Dua hal yang berjalan seiring-sejalan alias tidak ada yang disebut lebih penting di antara keduanya yaitu:
Hal pertama, telahkah para peserta kelas menulis memiliki pengalaman tekstual yang kaya alias telahkah mereka banyak membaca dan banyak latihan menulis? Mereka yang tidak kunjung bisa menyelesaikan tulisan biasanya mereka yang malas membaca dan jarang menulis.
Hal kedua, telahkah mentornya menggunakan metode praktis dan terukur? Kalau jawabannya “tidak”, peserta kelas yang tidak punya jam terbang membaca dan atau menulis yang memadai tetap tidak akan bisa terbantu. Mereka hanya akan menghabiskan waktu dalam kelas dan tidak memperoleh apa-apa selain keasyikan bertemu dan bergaul dengan mentor dan teman-temannya. Energi kreatif itu menjelma kegembiraan bersosialisasi, bukan pemancing kreativitas dalam berkarya.
Alangkah kasihannya mereka.
Alangkah teganya si mentor.
Pertanyaaan sekarang adalah, sejauh apa keberadaan metode menulis-praktis dan terukur dapat membantu peserta dalam menulis?
Jawabannya sangat kondisional.
Bagi yang sudah memiliki pengalaman membaca dan menulis yang memadai, metode-praktis-dan-terukur akan membuat mereka lebih efektif dalam menyelesaikan tulisan. Tentu saja, mereka akan lebih produktif kalau mengamalkan metode-praktis-dan-terukur itu.
Bagi yang tidak memiliki pengalaman membaca dan menulis yang memadai, metode tersebut akan menyadarkan mereka bahwa menulis akan selamanya menjadi angan-angan semata kalau mereka tidak memaksa diri untuk berusaha berkali-kali lipat dari kelompok-membaca-menulis memadai. Berusaha berkali-kali lipat di sini artinya memaksa diri untuk membaca lebih banyak buku dan berlatih lebih keras untuk menulis. Saya memakai diksi “memaksa diri” karena itulah bayaran setimpal atas masa lalu yang absen dari aktivitas literasi baca-tulis.
Ya, kelompok ini biasanya akan kesulitan menyelesaikan tulisan karena keterbatasan wawasan dan pengalaman tekstual. Mereka mungkin akan memahami bagaimana logika cerita bekerja—karena kelas harus membereskan urusan fundamental ini sejak awal—dan hal itu akan membuat mereka tak sabar untuk mulai menulis. Tapi, menulis tanpa ingatan tekstual (narasi, literer, dan sastra) potensial membuat pekerjaan menulis selalu membentur tembok.
Oleh karena itu, mereka tak punya pilihan lain selain memaksa diri.
Mentor bisa saja mengambil alih urusan “memaksa” ini. Tapi, tidak ada yang lebih hebat dan kuat dorongannya, selain dari dalam diri sendiri.
Tapi, tunggu dulu. Ternyata, di lapangan, ada juga mereka yang tidak memiliki pengalaman membaca dan menulis yang memadai tapi bisa menyelesaikan tulisan mereka!
Ya, ada.
Tapi, jumlahnya dipastikan sangat sedikit. Tentu saja, mereka masuk dalam kategori berbakat atau sangat berbakat. Anomali selalu ada. Termasuk di dalam kelas.
Tapi, percayalah, seanomali-anomalinya mereka, tulisan yang diselesaikan biasanya memiliki keterbatasan, khususnya dalam kekayaan kata, narasi, atau bahkan metafora, kalau mereka adalah anomali yang malas. Artinya, seberbakat-bakatnya peserta belajar, previlese mereka dapatkan hanyalah sampai tulisan selesai dengan komposisi tekstual yang miskin dan kering.
***
Jadi, syarat menjadi penulis adalah banyak membaca dan banyak (latihan) menulis. Kelas menulis baru diperlukan kalau mereka tetap kesulitan menyelesaikan tulisan. Bagi yang tidak memiliki pengalaman membaca dan (latihan) menulis yang memadai, kelas diperlukan karena energi kreatif dan perangsang kesadaran membaca dan latihan menulis beredar di dalamnya. Sekali lagi, yang perlu dipahami, kelas dalam esai ini adalah kelas yang diampu dengan metode praktis dan terukur. Kelas yang lebih banyak menceramahi penulisnya tentang manfaat menulis dan proses kreatif mentornya sebaiknya dihindarkan. Kelas itu tidak akan memberikan efek signifikan kalau pesertanya adalah mereka yang ingin belajar menghasilkan tulisan.
Tapi, percayakah Anda, ternyata, kelas yang mengajarkan metode praktis-dan-terukur, bahkan dengan mentor yang komunikatif pula, plus berisikan peserta yang mempunyai pengalaman membaca dan menulis memadai pun … masih … belumlah cukup!
Ya, semuanya menjadi sia-sia apabila peserta kelas tidak memperlakukan “menulis (dan membaca)” sebagai bagian tak terpisahkan dalam aktivitas mereka. Maksudnya, apabila para peserta didik memiliki jadwal kegiatan harian, apakah menulis di dalamnya? Kalau tidak ada, mereka tidak akan pernah bisa menulis: menyelesaikan tulisan, apalagi melahirkan karya.
Tidak.
Tidak akan pernah.
Tidak akan bisa.
Kenapa? Karena mereka masih menganggap menulis sebagai aktivitas waktu luang.
Saya berkeyakinan, kita tidak akan pernah mendapatkan apa pun dari sesuatu yang kita anaktirikan, selain kekecewaan dan angan-angan atau harapan tanpa realisasi. Saya percaya sekali itu. Oleh karena itu, kepada mereka yang menjawab “saya tak punya waktu luang” atau “saya kesulitan mencari waktu luang” atas pertanyaan “mengapa kamu belum menulis pula padahal sudah membaca banyak dan sering mengikuti kelas?”, saya tahu kalau mereka tidak akan pernah bisa menulis, apalagi berkarya, kecuali tiba-tiba hidayah menghampiri mereka. Kita semua tahu dan mafhum, bukan, bahwa hidayah dan keajaiban adalah saudara kembar yang kerap disalahkaprahi dan hidup subur dalam impian kepala umat manusia yang sangat gemar bermimpi. Ya, otodidak ataupun bukan, syarat wajib menjadi penulis adalah … menyediakan waktu menulis. Ya, waktu untuk menulis.