Quattordici

 Quattordici

DAN di hadapanku tiba-tiba terbentang almanak raksasa. Di sana, dalam kurungan kotak-kotak yang berwarna hijau tahi kuda, angka-angka bersembunyi di balik lambang-lambang yang tak kupahami. Tiba-tiba seseorang menyentuh pundakku. Laki-laki yang berjanggut putih lebat berombak. Ia mengucapkan selamat datang di Grekia. O, daerah apa itu? Sungguh, aku tak mengerti apa yang tengah menimpaku. Bagaimana aku dapat terpelanting ke tempat yang asing ini. Aku bagai berada dalam kastil yang berpilar lebih dari 14. Bagian dasar dan atas pilar, dihiasi ukiran orang-orang setengah telanjang. Mereka mengenakan kain yang dililitkan di badan. Semacam sari bagi wanita India, atau pakaian ihram bagi jamaah haji. O bukan, sepertinya ia terbuat dari bahan yang agak keras. Semacam kulit. Mungkin kulit kambing. Mereka (dalam ukiran itu) memegang busur dan anak panah yang siap dilesatkan. Aku bagai pernah mendapati motif ukiran-ukiran itu. Entah di mana, aku lupa.

“Kita akan berkelana.”

Laki-laki itu menatapku sesaat. Ia sedikit menyalipku. Kini ia sudah berjalan di depanku. Tingkahnya bagai seseorang yang kubutuhkan untuk mencapai tujuan. Aku ikut saja.

Valentino

Hari ini adalah 1740 tahun yang lalu. Kastil Morvelanto, sebuah gereja yang berinkarnasi menjadi masjid tanpa kubah dengan dua menara, menyimpan drama satir Valentino, seorang pendeta yang dihukum pancung oleh Claudius II. Kala itu, Kaisar Romawi itu berlaku berat sebelah. Ia tak menghukum Marius, karib Valentino yang sama-sama menentangnya. Maka, adalah mahfum kiranya bila Valentino mendatangi makam Marius di kastil dekat gerbang Tuscany. Mereka berdebat perihal kesetiaan dalam berkawan. Marius menyanggah tuduhan Valentino yang menyebutnya antek-antek kaisar hingga Claudius meninggal dalam perang melawan serombongan orang berjubah dari Andalusia. Marius bahkan menyatakan Valentino sangat beruntung. Bahkan seharusnya berterima kasih yang tiadatara kepadanya.

“Aku seolah-olah menjadi pengikutmu, Valentino. Padahal kita adalah karib yang sama-sama berjuang menikahkan Julio dan Sophia di penjara kala itu.”

Valentino diam. Dan makin mati-taji ketika dengan air mata yang ruah Marius menyatakan betapa laki-laki dan perempuan kini hanya mengingat sahabat seperjuangannya itu daripada dirinya.

“Aku bukan haus pengingatan, Valentino. Aku hanya ingin mengatakan, namamu abadi. Dan bila pada tengah Februari itu orang-orang berlaku baik demi cinta, maka adakah Tuhan kuasa menolakmu bertandang ke kerajaan Yesus, hah?”

Valentino menyeringai. “Kau benar-benar bejat, Marius!”

“Maksudmu?”

“Kau tahu bagaimana belanga api itu memanggil-manggilku. Para pemuda dan gadis itu melunaskan gairah mereka di atas namaku. Va-len-ti-no!”

 “Oh, tidakkah itu yang kau perjuangkan, Valentino? Tidakkah kita dulu yang berkoar-bingar bahwa Claudius II sangatlah tak pandai merawat kecemasan. Mengkambinghitamkan kecintaan keluarga dan kekasih sebagai musabab enggannya para pemuda bergabung di armada perang?”

“Ah, pantas kau tak dikenang, Marius!”

“Maksudmu?!”

“Kini berbeda. Bila mereka bergaul serupa sepasang pengantin ketika laki-laki belum disumpah di hadapan pastur, bagaimana dapat kau katakan Tuhan memberkati?”

“Apa urusannya denganmu, Valentino?”

“Mereka mengatasnamakan cinta, Marius?”

“Dan itu adalah kau?” Marius menyeringai.

“Hari itu dipilih mereka untuk merayakan, meluapkan, dan menuntaskan semuanya, hingga perihal yang sejatinya tak halal dilakoni. Hari dipangkasnya kepalaku dari tonggak bahu!”

Marius diam sebelum membias dalam udara yang menyusup dari rongga-rongga tanah. Hilang.

“Aku ingin tidur, Valentino. Aku lelah.” Suara itu menggema di ceruk makam mewah itu.

Valentino pergi. Terbang. Mengawang. Menyaksikan sepasang muda-mudi bertukaran kado di bangku taman dekat alun-alun Bologna, sepasang remaja di bawah 17 tahun tengah berpagutan di balik semak bluebery, seorang jejaka tengah memberikan apel berpita pink kepada gadis berbaju merah toska yang duduk di jenjang colesium….

Lupercalia

Hari ini adalah Minggu. Minggu yang sebenar Minggu. Bila pun Selasa, maka orang-orang yang tengah menanak-rindu yang tak tertanggungkan, akan menulis angka 14 itu dengan pensil merah. Bukan merah muda karena terlalu samar untuk almanak yang berkertas mengkilap. Merah toska biasanya lebih menyala. Dan inilah buah dari kekeliruan yang lebih dari 170 dekade itu. Dewa Zeus dan Hera muntab. Mereka menyalahkan Valentino. Maka, mereka mencari laki-laki pastur itu di seantero bumi. Dan inilah sifat yang kerap menyertai orang-orang kuno: Mereka buta cerita perihal nama-nama negeri yang sudah musnah atau diganti. Mereka tak mendapati romawi sebagai kekaisaran. Mereka tak mendapati Romawi sebagai kerajaan. Maka, tersesatlah mereka hingga di Osaka. Entah, mungkin karena Jepang masih memiliki kaisar, atau apa. Di sana, mereka bingung tak kepalang. Orang-orang berkulit putih bening, alis yang miring ke atas, mata sipit, bagai merayakan perkawinan mereka berdua.

“Oh Zeus, apakah ini Athena?”

“Tentu bukan Hera. Takkah kau lihat wajah mereka serupa boneka yang belum selesai dipahat kedua matanya.”

Hera mengangguk. “Tapi Zeus, mengapa mereka merayakan semacam Hari Kekasih?”

 “Kau tahu Hari Tujuh di China, Hera?”

“Perayaan cinta?”

“Kupikir, ini tak jauh berbeda, Hera. Mereka pula merayakannya. Tapi….”

“Tapi kau tak mendapati pernak-pernik yang berbau si keparat tak berkepala dari Romawi itu, bukan?”

Hari Putih. Demikian orang-orang Korea dan Jepang menyebut hari ketika perasaan suci dihelat. Namun, mereka tak memilih tanggal bakda sepasang angka paling sial di dunia sebagai waktu perayaan.

“Zeus, ini bukan Lupercalia.”

Zeus tercenung. Perayaan perkawinan mereka itu tak bingar lagi. Pikirannya mengembara ke masa-masa Lupercalia dikenang dengan begitu raya. Setiap polis di Yunani akan berpesta. Lorong-lorong kelam yang bersempalan di sudut-sudut kota akan terang seketika karena dalam jarak 20 meter, obor-obor raksasa disulut di atas tonggak-tonggak batu yang berbaris.

Zeus bermata kaca. Hera mengusap-usap bahunya. Hera menatap suaminya. Tatapan iba. Ia bagai memahami kesedihan dan kegalauan sang dewa.

“Kita akan menyongsong hari terakhir Gamellion, Zeus?”

“Gamellion?”

“Ya, takkah kau lupa, kita dahulu menamai tengah Januari hingga tengah Februari sebagai Gamellion,” bisik Hera. “Biarlah hari ini milik Valentino, Zeus. Namun esok, tentulah milik kita berdua.” Hera hampir saja terkakak apabila Zeus tak membuatnya terhenyak.

“Tak usah berlebihan dalam berharap,” ujar Zeus tenang. “Tak ada yang merayakan hari perkawinan kita, Hera. Tak ada Lupercalia. Pun tak ada lagi Gamellion….”

Bulan Renyai

Cerita ini akan segera khatam di di tenggara Asia. Nusantara, demikian dulu negeri ini tertitik dalam sejarah. Cerita ini pula akan ditutup di bulan yang (masih) suka bermain-main dengan hujan. Hujan yang tak sepenuh hati membuat bumi kuyup seperti Januari yang rajin mandi.

Orang-orang di negeri ini merayakan Hari Kekasih dengan sepenuh hati. Mereka bagai terlupa bila dua bulan sebelumnya, Muharram disongsong tanpa riap, Idul Fitri dihelat tanpa hikmah, dan Ramadan ditekuni dengan harap segera bertemu hari raya.

Sejatinya, mereka tak perlu tahu perihal Valentino yang dipancung, perihal Kaisar Claudius II yang bertangan besi, perihal Marius yang luput dari hukuman, perihal Hera dan Zeus yang (setiap) hari perkawinan mereka dirayakan dengan sesembahan yang bergema. Mereka pula tak perlu tahu perihal gadis-gadis Romawi yang menuliskan nama mereka di atas kertas berukuran 3 x 3 cm. Menggulungnya. Memasukkannya ke dalam toples kaca sebesar buah kelapa, lalu mempersilahkan para pemuda mengambil kertas itu (seraya berharap dengan cemas bahwa pemuda yang ditaksirlah yang akan mendapatkan kertas atas nama mereka). Tak perlu semua itu. Atau mereka memang tak tahu-menahu kisah itu. Atau mereka tahu namun mengabaikannya. Ah, begitulah tabiat orang-orang negeri ini. Begitulah.

Ya, terlupalah bila ada yang lebih layak ditumpahkan cinta atasnya. Tentang hujan yang tak kunjung tamat riwayatnya. Tentang langit yang mulas berpanjangan. Hingga… kota-kota di negeri ini, kerap kuyup oleh hujan yang merenyai. Sebentar lagi pun, mendung akan muntah. Dan jangankan mensyukuri cinta dan rahmat Tuhan itu, mereka masih asyik membincangkan asmara di hari yang paling merah ini. Bahkan gadis-gadis itu dengan terpaksa mengangkat rok sebatas lulut; melipat ujung jeans; berpayung dengan gigil; menjinjing apel berpita pink, sebatang cokelat murahan, atau setangkai mawar yang tak lengkap lagi jumlah kelopaknya… demi merayakan cinta (apa? cinta?) di Hari Kekasih. Hari yang sudah dinanti-nantikan. Diimpi-impikan.

Pink Morning

Dan aku pun tercekat ketika meregangkan badan dan mengucek mata, pandanganku tertumbuk pada angka merah toska itu: 14. Angka itu bertengger dalam kotak-kotak almanak. Segera kusibak selimut. Aku melompat dari ranjang. Kulihat ponsel. Sembilan panggilan tak terjawab. Dua belas pesan. Dari nomor yang sama. Miranda. Aku segera menuju kamar mandi. Bukan, bukan memenuhi rengekan kekasihku agar aku mengenakan kemeja junkis berwarna merah muda dan membawa kado berpita pink pula. Aku hanya berpikir sebaiknya aku memenuhi ajakan Muksin untuk mengikuti kajian fikih di Masjid Agung Kota hari ini. Tentu saja, tak lupa kukabari dulu si Miranda bahwa hari ini aku tak dapat mengajaknya jalan-jalan ke air mancur Temam sebagaimana janjiku minggu lalu. Mungkin ada baiknya kuketik sebuah pesan pendek untuk gadis itu.

“Sepertinya ini pagi yang cerah, ya? Tentu Om dan Tante sangat senang bila anak gadisnya turut serta ke gereja….”

Pesan terkirim. Entah, aku bagai melepaskan beban berat. Hmmm, kuharap aku akan jalan-jalan ke Yunani, Asia, dan Italia, lagi malam nanti, sebagaimana mimpiku malam tadi.

Benny Arnas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *