Penulis yang Tak ala Kadar
Oleh Benny Arnas
Batam Pos, 21 Mei 2022
Di tengah ngebutnya lalu-lalang ragam informasi yang nyaris tak terkendali hari ini, menulis seharusnya menjadi salah satu aktivitas yang diuntungkan.
Para penulis bisa membaca apa dan di mana saja. Riset berlangsung fleksibel, keluar dari batas ruang dan waktu. Kevalidan dan kedalaman informasi pun dapat dengan mudah diuji, baik dengan aplikasi pelacak plagiarisme atau melalui laman-laman yang menawarkan hasil penelitian yang komprehensif. Bahasa dapat dikatakan bukan lagi kendala mengingat menjamurnya kursus cepat di media sosial, dan banyaknya aplikasi atau laman yang menawarkan “jasa” penerjemahan dengan hasil yang tidak mengecewakan untuk sekadar memahami konten. Bertemu, membuat janji, dan mewawancarai narasumber pun bukan lagi perkara susah, sebagaimana hari ini dengan mudah kita melihat artis favorit main tiktok, tokoh nasional cuap-cuap di Twitter, olahragawan rutin membuat reel Instagram, atau content creator dan influencer yang tak meluputkan tiap menit hidupnya untuk diunggah ke Youtube. Sekat dan batas terkait aksesabilitas pengetahuan, kecakapan, dan contoh-contoh visual berserakan di mana-mana. Tidak ada yang salah dengan semua itu. Kita mau tidak mau mesti menerima hidup dengan kebaruan dan perubahan tanpa henti.
Setelah urusan membaca dan riset dikaruniai “kemudahan” di atas, bagaimana dengan menulis?
Sama saja. Dengan produktivitas membaca dan gairah riset yang baik, menulis mendapatkan imbas positif. Sebagaimana ingatan kolektif bekerja, menulis sejatinya bukan hanya tentang menulis, melainkan upaya mengundang ingatan berkumpul dan menawarkan bantuan. Ini yang disebut bahwa penulis tidak bisa “lepas dari dirinya”. Menulis adalah semburan atau ledakan aktivitas membaca dan pengalaman hidup sang penulis. Semakin kaya keduanya, semakin mahir penulis mengolah kompleksitas dalam teks. Kalau sebaliknya (atau kurang saja salah satunya), tulisan akan menjadi kering, tidak bergerak, dan tidak kaya. Oleh karena itulah, penulis, yang selain membaca banyak dan memilki pengalaman hidup yang keras, dianjurkan melakukan banyak perjalanan, baik dalam pengertian perpindahan lokus, maupun secara interaktif: bertemu orang baru dan berbaur dengan kebudayaan baru.
Kesemuanya, di tengah dunia yang menjelma bola kaca ini, adalah urusan yang jauh dari kemustahilan. Akses di mana-mana. Tawaran baru bermunculan. Inovasi pengetahuan dan kecakapan bahkan tidak dilengkapi rem.
Lalu, dengan “kemewahan” itu, bagaimana penulis menulis?
Tidak lain, tidak bukan, bukan lagi basa-basi, penulis harus menulis dengan cepat.
Mungkin ini terdengar teknis dan menafikan kedalaman, tapi sebenarnya tidak.
Bukan lagi zamannya seorang penulis pergi-ke/tinggal-di gunung, demi meresapi keheningan alam, dalam waktu yang lama. Tidak lagi zamannya penulis menulis sebuah cerpen dalam sepekan hingga sebulan atau melahirkan novel 200 halaman selama satu tahun.
Apa lagi alasan yang akan penulis gunakan agar aktivitas menulis-lama-nya dapat dimaklumi? Membawa-bawa akses bacaan dan riset tidak akan laku. Alih-alih terlihat penuh pertimbangan dan hati-hati, hal itu malah menegaskan imbisilitas penulis. Pengen kelihatan keren, tapi malah jadi norak.
Apa lagi alasan penulis tidak menulis cepat?
“Menulis bukan satu-satunya aktivitas dalam hidup saya. Saya juga bla bla bla ….”
Lha, bukannya pekerja kantoran atau guru atau pemanjat kelapa pun demikian? Mereka masih berolahraga, bercengkerama dengan keluarga, arisan, berkebun, dan lain sebagainya. Tapi, tah, ada yang akhirnya menjadi manajer atau kepala dinas atau guru teladan atau pemanjat kelapa dengan penghasilan pekanan yang bikin geleng-geleng kepala. Kenapa? Jawabannya sederhana: mereka bertanggung jawab dengan pilihan hidup, dengan profesi, dengan sesuatu yang disukai-dan-menjadi.
Bahkan, dalam sejumlah kasus, kita juga menemukan PNS berprestasi yang juga sukses berbisnis, guru yang sukses mengelola taman bacaan, atau tukang penjat kelapa yang penuh jadwal memijat dari rumah ke rumahnya tiap bakda Isya.
Apa prinsip yang dilakukan oleh pekerja kantoran, guru, dan pemanjat kelapa yang berhasil, bahkan dengan profesi lain (bukan sampingan, bukan tambahan) mereka?
Mereka bertanggung jawab dengan pilihan mereka dalam wujud rajin masuk kerja, mengajar dengan sungguh-sungguh, dan tidak memanjat kelapa hanya kalau sedang mood. Mereka bekerja dengan mendayagunakan waktu secara optimal dan adil. Mereka tidak hanya bekerja di waktu luang!
Prinsip-prinsip di atas akan menggiring-jadikan penulis dalam capaian terbaiknya. Para penulis akan memiliki etos yang berkualitas: bekerja dengan baik dalam lingkup waktu yang tidak melebar dan memanjang.
Ya, menulis cepat dicapai dengan memberlakukannya dengan adil: bahwa menulis adalah benar-benar—bagian—hidup si penulis, bukan sekadar realitas tambahan dan atau kesibukan tempelan. Penulis yang hanya menulis di waktu luang akan kesulitan menjadi penulis. Mereka tidak akan menulis baik dengan cepat. Mereka potensial menjadi penulis semenjana. Biasanya, mereka akan membawa panjangnya durasi menulis sebagai bentuk keseriusan dan kematangan dan kedalaman dan kehati-hatian, sekaligus menyebut orang-orang yang kesulitan memahami “kesemenjanaan” tulisan mereka sebagai hasil dari kemalasan berpikir.
Pada akhirnya, menulis cepat adalah pilihan, termasuk pilihan penulis yang menyebut dirinya penulis.
Mereka yang bekerja nonmenulis dan menjadikan menulis sebagai aktivitas mengisi waktu luang sejatinya adalah dokter yang menulis, guru yang menulis, atau pengusaha yang menulis, bukan sebaliknya. Mereka bukan penulis, sebab dengan aktivitas utama yang takkan bisa mengalah, mereka tidak akan menulis dengan cepat.
Mereka yang, dengan beban pekerjaan nonmenulis, masih menulis dengan jadwal dan tenggat yang ketat adalah penulis sebab mereka potensial menulis dengan cepat, paling tidak, sesuai dengan yang telah mereka rencanakan.
Nah, bagaimana dengan mereka yang tiap hari ‘menulis’, tapi masih kesulitan merampungkan tulisan atau draf buku dengan cepat? Dengan semua masalah eksternal dan problematika nonmenulis yang menyertainya, mereka dalam kelompok ini kesulitan disebut penulis.
Menulis cepat, selain membutuhkan alokasi waktu, tenggat yang jelas, dan konsistensi, juga ilmu. Dalam bahasa praktisnya: formula. Penulis yang memang penulis akan terus berusaha menemukan formula itu melalui bacaan dan proses kreatifnya yang terus berubah, baik untuk kepentingan dirinya sendiri ataupun untuk dibagikan.
Menulis yang baik adalah menulis dengan formula. Penulis yang penulis adalah penulis yang menulis dengan formula.
Menulis dengan formula adalah menulis cepat. Menulis cepat dengan formula adalah menulis baik dalam waktu singkat.
Dengan begitu, menulis menjadi aktivitas menyenangkan dan bersahabat dengan zaman yang ligat dan industri yang dinamis. Dengan begitu, menulis akan menemukan jalan-jalan kegembiraannya, termasuk urusan ekonomi. Penulis yang baik adalah penulis yang penulis adalah penulis yang tidak menghabiskan waktunya: melingkar-lingkar dan bertele-tele dengan sebuah tulisan sebab hidup, termasuk hidupnya penulis, juga harus terus berjalan, melaju, berputar, dan butuh makan. Bukan hanya di rumah dengan nasi ikan asin, tapi juga sesekali di restoran dengan steak dan es krim toping emas.