Paradoksitas Urban dalam Ratu Sekop
Oleh Benny Arnas
asyikasyik.com, 24 Januari 2023
BAGAIMANA orang-orang berusaha bahagia adalah topik klise. Iksaka Banu paham benar. Ibarat kanvas, tema di atas ia sapu dengan warna yang benderang. Bukan sekadar untuk menarik perhatian. Lebih dari itu; kecenderungan garapan. Pada 13 cerpen yang dihadirkan dalam kumpulan cerpen Ratu Sekop (Marjin Kiri, 2017), warna itu adalah realisme urban. Dengan sapuan kuas sedemikian rupa, warna itu memiliki tekstur; paradoksitas realisme urban.
Lewat cerpen pembuka “Film Noir”, aroma paradoksitas itu perlahan-lahan menguar dari kanvas cerita. ‘Kepolosan’ seorang sutradara kawakan Arya Panji Diwangkara yang terlambat mengendus potensi kebusukan yang menggeliat dalam diri Anggi, pelayan/peracik minuman (?) yang bukan hanya berhasil ia orbitkan sebagai aktris terkenal, tapi juga menyuntingnya sebagai pendamping hidup, adalah pertanyaan yang mengambang di akhir cerita. Seorang urban seperti Arya seharusnya paham bahwa memperistri seorang gadis-dari-dunia-malam yang memerankan adegan ranjang dengan sempurna dalam film debut besutannya adalah berisiko. Perkara ia membalaskan dendamnya, itu urusan yang lain.
“Film Noir” bukan lagi menggambarkan reaksi urban menghadapi tuntutan duniawi. Lebih dari itu, ia adalah potret obsesif orang-orangnya. Urban menunjukkan belangnya di hadapan impian bahagia yang mereka tahu adalah utopis; menghalalkan berbagai cara untuk meraihnya. Ambisius, lalu obsesif!
Hal serupa ditemukan dalam 12 cerita lainnya, meskipun dengan motif yang berbeda.
Cerpen “Superstar” adalah yang paling mendekati warna yang diusung “Film Noir”. Sama-sama bercerita tentang muramnya dunia panggung yang lebih kerap ditayangkan kegemerlapannya. Cerpen “Ratu Sekop” menampilkan lebih filosofik. Bagaimana Sambu Werdana akhirnya menemukan Danis, seorang gadis penjaja seks yang cocok menjadi model lukisannya. Cerpen ini dengan natural menampilkan karakter-karakter urban yang tak bisa ditebak sekaligus tak bisa dipegang. Kehadiran obsesi terasa nyata-dan-manusiawi dalam diri Sambu yang tampil profesional. Keputusannya mengalihkan model Ratu Sekop pada karakter lain di akhir cerita, makin menegaskan bagaimana keliyanan juga menjadi rekan kreatif yang mumpuni bagi seorang urban yang obsesif.
Seperti hanya berubah nama, Sambu Werdana kembali hadir dalam cerpen “Belati” dengan memerankan Armin Kelana, pelukis dengan jiwa yang tidak mampu mengimbangi kebesaran namanya. Armin frustrasi. Para kritikus seperti kompak memberi ulasan buruk terhadap cara berkaryanya yang baru. Menariknya, Armin justru tidak menyadari kalau keputusasaannya justru menggiringnya “menikmati obsesi baru dalam berkarya” meskipun itu artinya ia harus mengorbankan nyawanya, meskipun “rencana mengorbankan nyawa itu” kembali melahirkan obsesi lain yang disulut oleh ketaksengajaan–atau kecelakaan (?)–yang berakibat fatal; hilangnya nyawa beberapa orang dalam sehari. “Belati” menunjukkan belang obsesi yang gemar beranak-pinak.
Sejatinya, tokoh Aku-Tentara dalam cerpen “Sniper” mati-matian menolak perkembangbiakan obsesi itu, meskipun gagal. Keinginan untuk pulang ke Jakarta yang muncul ketika atasannya mengeluarkan instruksi di tengah suasana perang di hutan sehingga mau tidak mau ia harus melepaskan tembakan ke arah lawan adalah sebuah paradoks yang pelan-pelan menghadirkan empati. Perasaan itu berhasil mengoyak-ngoyak kemanusiaan ketika cerita telah tiba di garis finish.
URBANITAS ternyata tidak berbanding lurus dengan rasionalitas. Namun irasionalitas yang ditampilkan cerita-cerita di atas sedikit-banyak menguar aroma paradoksitas masyarakat yang digolongkan relatif jauh lebih terpelajar daripada masyarakat nonurban.
Paradoksitas itu makin menyengat umpama aroma cat yang disapukan ke tembok untuk menghasilkan karya mural dengan tujuan menutupi coretan piloks mereka yang melihat vandalisme sebagai kesenangan, dalam cerpen “Cermin”. Bagaimana seorang urban seperti Arno kehabisan akal menghadapi istrinya yang superposesif-namun-rapuh (ah, bukankah yang posesif sudah jelas rapuh?) sehingga menjadikan solusi ala paranormal sebagai jalan keluarnya. Ya, “Cermin” tidak berhenti sampai di sana sebab paranormal itu memang sakti–dan kejadian itu mengambil latar dan napas urban!
Motif ala “Cermin” sepertinya cukup diminati Iksaka Banu dalam titimangsa karya antara 2000-2005. Terbukti, dalam “Listrik”, “Jubah”, “Lelaki dari Negeri Halilintar”, dan “Vertigo” ia menggunakan pendekatan plot dan–ini yang paling kentara–premis yang sama: rasionalisasi kegaiban! Tidakkah hal itu makin menegaskan betapa nyata dan menyengatnya paradoksitas dari kenyataan ganjil yang bermukim di tengah-tengah masyarakat urban yang dekat sekali dengan ilmu pengetahuan.
Paradoksitas urban yang lain hadir dalam bentuk obsesi-teknologi yang melampaui batas nalar. Dalam cerpen “Undangan Seratus Tahun”, tokoh Gunawan Wibisana dan VIP dengan meminjam lidah Susilohadi, urban lebur dalam realisme zamannya. Gunawan terobsesi menjadi bahagia dengan menghindari kematian yang ditetapkan oleh kebijakan pemerintah Makronesia Raya, sebagaimana Susilohadi yang terobsesi hidup 1000 tahun demi menjadis saksi manusia hidup harmonis dengan alien. Apakah paradoksitas itu menjadi bukti bagaimana visionernya orang-orang kota, itu urusan yang lain, sebab bagi masyarakat–pasca–modern, rasionalitas menjadi pedang di hadapan ketidaklogisan.
Kebertentangan demi kebertentangan yang dengan gembira raya berserakan dalam cerpen-cerpen yang termaktub dalam Ratu Sekop adalah lensa yang dengan konsisten digunakan Iksaka Banu untuk memotret kehidupan urban. Dengan gaya garapan yang realis, semua cerpen tampil mengalir dengan ketegangan yang terjaga, karakter-karakter yang konsisten memainkan peran, data yang kaya, dan ending penuh perhitungan. Iksaka Banu nyaris mengulangi keparipurnaannya mengetengahkan cerita-cerita berlatar masa kolonial dalam Semua untuk Hindia (KPG, 2015) apabila ia menganggap 12 cerpen sudah cukup untuk sebuah buku.
Ketika lukisan agung itu hampir rampung, “Istana Gotik” seperti tetesan cat yang sengaja disapukan untuk menebalkan sebuah citra, tapi yang terjadi sebaliknya. Warna Holywood malah menjadi paradoks yang lain, yang gagal mengimbangi 12 cerita yang lain, yang serta-merta menjadi “asing”, dalam komposisi buku. Tak ada gading yang tak retak.***