“Oppa”, Cukup Sekali Jumpa
Oleh Benny Arnas
Dua hari lalu, administrator Benny Institute mengabarkan ada calon orangtua siswa yang ingin bertemu. “Kamu terangkan saja kelas-kelas yang kita punya, Yu,” kata saya kepada gadis bernama Ayu itu dengan nada malas. Pengalaman membuktikan bahwa para orangtua calon siswa itu biasanya menanyakan hal-hal yang sudah dihafal admin jawabannya. Tapi, entah kenapa, seakan-akan bertemu saya memberikan perbedaan signifikan. “Mereka lebih puas,” kata Ayu. “Tapi, sebagian juga nggak jadi memasukkan anaknya belajar, ‘kan?” balas saya.
Benny Institute memang memiliki sejumlah kelas dengan pilihan gratis dan berbayar, yaitu: kelas berbagi cerita (dalam bahasa Inggris), menulis, seni peran, dan aksara ulu; serta sejumlah klab seperti Memandang yang membincangkan film pendek, Majelis Lingkaran yang membahas esai dan jurnal lintas isu, atau agenda literasi insidensial lainnya. Selama pandemi, beberapa kelas dan agenda tidak bisa berjalan sebagaimana biasa. Baik karena dihentikan sementara atau dialihkan ke model luring.
Semua informasi di atas, sebagaimana yang saya nyatakan, administrator sudah hafal dan bisa menjelaskannya kepada calon siswa, termasuk orangtua mereka, dengan baik.
Karena hal itu pulalah, saya memutuskan untuk tidak menemui orangtua calon siswa tersebut hari itu. Dan … sebagaimana yang biasa terjadi, peserta belajar Benny Institute bertambah hari itu.
“Percaya atau tidak,” kata saya dengan senyum lebar, “kalau saya yang datang, yaaa dia tidak akan jadi masuk.”
“Tapi, Kak…,” Ayu seperti sengaja menggantungkan kalimatnya yang baru dimulai.
“Kenapa?”
“Peserta belajar kali ini tidak jelas mengambil kelas apa.”
“Katanya kelas privat?”
“Ya, tapi nggak tahu kelas privat apa, katanya.”
“Lha?”
“Anaknya kelas tiga SMA. Pindahan dari pesantren di Jambi. Mau kuliah di Turki. Bahasa Turki-nya bagus.”
“Trus?”
“Dia mau belajar sama Bang Benn.”
“Iya, tapi ….”
“Belajar secara privat.”
“Tapi belajar apa?”
“Terserah, katanya.”
“Terserah bagaimana?”
“Asal bisa sukses kayak Bang Benn.”
Aduh! Ngawur ini!
“Pukul dua ini kelasnya, Kak.”
Dan siang itu saya memasuki kelas dan mendapati remaja putra yang membuat saya pangling. Saya kira, ia lebih layak disebut calon model atau aktor karena perawakan dan wajahnya yang mirip artis Korea. Kami sepantaran, tapi kulitnya jauh lebih putih, wajah glowing, dan … senyumnya manis minta ampun.
“Saya mau jadi apa saja,” katanya ketika saya bertanya tentang cita-cita beberapa saat setelah ia menceritakan banyak hal tentang dirinya.
Saya tidak pernah mendapatkan jawaban seperti itu. Biasanya murid saya akan menyebut salah satu profesi atau memilih jawaban “tidak tahu”. Jawaban kedua itu sangat dapat saya terima karena hingga tamat kuliah pun saya sejatinya tidak tahu saya mau jadi apa, saya tidak tahu apakah saya memiliki cita-cita.
“Saya harus panggil Sir atau Bang Benn?” katanya tiba-tiba.
Bagaimana ia tahu ….
“Belajar itu, setahu saya, adalah transfer karakter, Sir,” katanya tiba-tiba.
Dia memilih memanggil saya Sir tanpa menunggu jawaban saya.
“Bukan sekadar transfer ilmu dan pengetahuan. Jadi ….”
Kepala saya tiba-tiba pusing. Kenapa anak ini ceramah di pertemuan pertama. Menyebalkan sekali!
“Jadi, saya harap Sir bisa jadi guru yang baik untuk saya.”
“Seperti apa guru yang baik itu menurutmu?”
“Guru dengan perangai yang baik, berilmu, berkarya, dan menjaga aibnya.”
Saya tertawa kecil. “Saya jauh dari hal-hal itu. Kamu salah orang, Nak.”
“Orang yang menilai kita, Sir.”
“Saya tidak pernah berhadapan dengan murid sepertimu,” saya memilih menatap matanya.
Kami beradu pandang, bagai beradu ilmu.
Seperti menyadari kekuatannya, ia tersenyum. Senyum yang saya yakin membikin banyak remaja putri autokesengsem.
“Saya juga tak punya waktu untuk mengajarimu segala hal,” saya membuang muka. Saya kalah dalam urusan beradu pandang. “Kalau mau belajar di Benny Institute, pilih kelasmu. Semua ada mentornya. Saya tidak mengajar semua kelas. Kamu ingin belajar menulis atau …?”
Dia menggeleng. Dan tersenyum lagi. Ah.
“Saya memaksa, Sir.”
Saya melongo.
“Saya jauh-jauh dari Jambi dan ingin menghabiskan satu tahun dengan menjadi murid Sir. Apa yang harus saya lakukan agar Sir menerima saya?”
Saya mengakhiri kelas hari itu lebih awal.
“Besok saya akan datang di jam yang sama, Sir. Saya menunggu penugasan via WhatsApp.”
Saya melihat lembar kehadiran yang baru saja ia tanda tangani. Ada nomor WhatsApp-nya di sana.
“Miss Ayu bilang kalau Sir sering memberi penugasan via WhatsApp kepada siswa privat.”
Saya masih bengong.
Dia bangkit dan menempelkan punggung tangan kanan saya ke pipi kirinya. Saya mau bilang bahwa sejak Covid-19 masuk ke Indonesia, Benny Institute meniadakan salaman antara guru dan murid, tapi telat.
Di rumah, saya mengutuk banyak hal. Saya mengutuk masa remaja saya yang tidak visioner sebagaimana murid privat barusan. Murid baru itu bagai mengingatkan saya bahwa memang seharusnya tiap kita belajar dari guru yang benar agar yang sampai kepada kita bukan hanya ilmu dan kecakapan, tapi juga karakter dan adab.
“Silakan, Sir,” balasnya ketika saya mengirim pesan WhatsApp bahwa saya akan menulis pengalaman bertemu dengannya untuk kolom esai pekanan saya. “Tanpa nama, Sir,” pesan lanjutannya masuk.
“What’s my task for today, Sir?”
“No class today,” kata saya.
“Jadi kapan, Sir?”
“I’ll let you know.”
“Saya memaksa, Sir.”