Lebaran Haji Neknang

Neknang menunjukkan surat-surat si tentara Pakistan. Mereka berkorespondensi dalam bahasa Arab. Tarikh terakhir surat itu adalah 2010, sebelas tahun yang lalu.
”Pokoknya sebelum Idul Adha Juli nanti Ayah pasti ngajak Neknang jalan-jalan!” Pandanganku tak beralih dari laporan residensi menulisku di Pakistan di layar laptop. ”Potong telinga Ayah kalau enggak jadi lagii!” suaraku meninggi ketika perempuan 37 tahun itu bilang kalau aku sudah mengatakan hal yang sama sejak kepulanganku dari Eropa Timur, Mei dua tahun lalu. Tentu saja aku keberatan dipandang sebagai cucu durhaka.
Juni ini, ketika aku bisa membuktikan kata-kataku dan istriku malah diam saja, tentu saja aku kesal.
”Ayo, Nang!” aku membuka pintu mobil setelah memasukkan bekal yang sudah istriku siapkan di bagasi.
Neknang mengangsurkan tongkatnya terlebih dahulu sebelum menjatuhkan pantatnya di samping kemudi.
”Venn minta maaf, Nang,” kataku lima menit setelah mobil melaju, ”karena baru sekarang bisa ngajak jalan-jalan.”
Neknang tidak menjawab. Kulirik sebentar. Wajahnya berseri. Matanya berbinar. Ah, akhirnya ….
”Kemarin-kemarin Venn sempat khawatir, Nang.”
Neknang menoleh.
”Pertama, Venn sibuk nian. Kelas menulis dan kegiatan yayasan sedang padat.”
Dia memandangku, menunggu.
”Walaupun sedang pandemi, beberapa jadwalku malah tidak dialihkan ke virtual.” Ah, aku lupa, virtual pastilah istilah asing di telinga veteran itu. ”Bulan lalu saja Venn baru pulang dari Asia Selatan.”
”Pakistan?” cetus Nang lirih.
”Pakistan baru menutup negaranya untuk orang asing pada 26 Mei.”
”Bukan itu masalahnya, Cung.”
Kalau tidak menyebut nama, Neknang biasa memanggil cucu-cucunya dengan cucung, bahasa Musirawas untuk cucu.
”Kan Nang bisa nitip …” Ia sengaja menggantungkan kata-katanya.
Aku ingin menjelaskan, tapi …
”Apakah kamu ke Baltit?”
Aku mengangguk pelan. Laju BRV-ku melambat begitu kami melintasi pasar.
”Kamu ke museum di benteng yang terletak di antara gunung-gunung batu Gilgit itu?”
”Venn minta maaf, Nang.”
”Kamu ini, Cung!” suara Neknang meninggi, meski tidak lantang.
Aku benar-benar merasa bersalah.
”Venn dikejar-kejar deadline, Nang. Nggak kepikiran lagi untuk pamit.”
”Kamu sudah tahu tentang stempel itu, kan?”
Aku mengutuk kealpaanku. Kisah minor di balik perang antarkompeni itu tak tercatat dalam sejarah: Inggris menurunkan pasukan negara persemakmuran untuk mengusir Belanda dari Sumatera. Tentara-tentara dari Baltit, Pakistan Utara, tampil tangguh menunaikan tugas mereka. Neknang berkenalan dengan salah seorang tentara Pakistan yang entah tersesat, lari, atau mengembara pascaperang. Ketika itu serombongan remaja Musi yang sudah turun bergerilya hendak bertandang ke rumah panggung pesirah untuk memenuhi undangan makan ketupat lebaran gulai kambing yang menjadi hidangan andalan kediaman kepala puak itu tiap Lebaran Kurban. Neknang dan teman-temannya sempat mengira tentara berkulit merah itu adalah kompeni Belanda, sebelum pemuda besar-tinggi itu mengucapkan salam. Karena di antara mereka hanya Neknang yang bisa berbahasa Arab, ialah yang mengurusi tentara itu.
Tentara itu tinggal sepekan di rumah panggung, kata Neknang. ”Ia meninggalkan ini,” Neknang menunjukkan stempel berbahan besi. Di telapak tanganku, benda berbentuk elips itu tidak mirip stempel, melainkan piring mungil berajah Arab gundul. Selain berat dan dingin di kulit, warna hijau gelap dengan sudut berbintik hitam memberinya kesan misterius. ”Katanya, siapa tahu, stempel itu bisa mempertemukan kami lagi. Surat terakhirnya mengatakan kalau ia sudah menjadi juru kunci museum di Benteng Baltit, tanah kelahirannya yang merupakan bagian Provinsi Gilgit. Tentu saja harapan itu terdengar tidak masuk akal. Tapi, darah remaja membuat Neknang berpikir tidak ada yang tidak mungkin.”
Neknang menceritakan itu sehari setelah kepulanganku dari perjalanan menulis di Slovenia. Anggota legiun veteran itu tentu tahu benar—sekaligus berharap—bahwa sangat mungkin penulis yang yang sudah mengunjungi belasan negara seperti cucunya ini untuk menginjakkan kaki di Pakistan suatu hari.
Neknang menunjukkan surat-surat si tentara Pakistan. Mereka berkorespondensi dalam bahasa Arab. Tarikh terakhir surat itu adalah 2010, sebelas tahun yang lalu. Sayang sekali aku kesulitan membaca Arab gundul cum tidak mahir bahasa Arab. Oh, kini aku tahu, selain karena Neknang kukuh berkebun sebelum ayahku memintanya berhenti di usia 85, kebiasaannya membaca dan menulis (termasuk menulis surat-surat ke Pakistan) telah membuat kepikunan kesulitan mencari tempat dalam dirinya.
”Mesik tik Neknang yang kamu pajang di ruang tamu itu jangan dijual ya,” katanya ketika kami memasuki Muara Beliti. ”Walaupun sudah tua dan rusak, kalau dibawa ke tukang reparasi, pasti bagus lagi.”
Ah, orang-orang sekarang ngetik menggunakan komputer atau laptop atau bahkan ponsel, Nang.
”Sudah masuk Zuhur?” tanyanya tiba-tiba.
”Belum, Nang,” kataku seraya mengoper gigi. ”Tapi ini sudah jam makan siang.” BRV-ku menepi dekat padang rumput dengan pohon-pohon ketapang berkanopi lebar. Tempat ini membuatku déjà vu.
Seturun dari mobil, pandangan Neknang menyapu pemandangan di hadapan. ”Ini seperti Lapangan Merdeka dulu, Venn,” katanya ketika aku membentang tikar.
Oh, déjà vu itu: Lapangan Merdeka.
”Tadi Sika,” aku menyebut nama istriku, ”masak gulai ampai lauk salai, sambal cong, dan lalapan jengkol muda.” Sajian makan siang itu sudah kutata di atas tikar.
Neknang bersila setelah satu tangannya menapak kuat di permukaan tikar demi menahan beban tubuhnya. Aku mengangsurkan sepiring nasi dan mendekatkan rantang gulai ampai ke arahnya. Neknang mengambil sepotong ikan lais asap dengan sendok. Terdengar bunyi sruppp yang membuatku tertawa bahagia. Ah, menghirup kuah gulai ampai pas makan siang, nggak ada lawan!
”Ingat pas kita makan di atas rumput Lapangan Merdeka setelah Neknang memboncengku sekian putaran, Nang?” tanyaku dengan mulut penuh nasi.
”Itulah kenapa Neknang kukuh minta jalan-jalan sebelum meninggal.”
”Neknang jangan ngomong gitu,” aku mengambil jengkol muda. Krenyes! Daging lalapan itu bertemu sambal cong di lidah, lemak nian!
”Kamu, kan, selalu nguso kalau Neknang sudah mengeluarkan L2 Super,” laki-laki kelahiran 1928 itu terkekeh.
Aku menghentikan kunyahan. Sudah lama sekali aku tidak mendengar nguso, kata dalam bahasa Musi yang berarti ”ngotot ingin ikut”. Kenangan masa kecil itu membuka gerbangnya: Neknang mengajakku berjalan-jalan dengan motor kopling lawasnya. Setelah berkeliling Lapangan Merdeka—yang kini sudah menjadi bagian dari halaman Masjid Agung Assalam Lubuk Linggau itu, kami biasanya menepi. Aku akan menemaninya ke tukang sol sepatu di emperan Museum Subkos Garuda atau kantor pos di seberangnya dan membeli koran setelah ia mengepos surat. ”Ada berita apa, Nang?” tanyaku setiap kali dia memegang atau membaca koran. ”Tentang buta huruf lagi, Cung,” jawabnya sambil membuka-buka halaman koran. ”Pemerintah sibuk sekali buang duit untuk program seperti itu,” lanjutnya. ”Apa mereka tidak tahu kalau banyak orang yang pandai membaca justru jadi pengkhianat?”
Tentu saja aku belum bisa menangkap arti kegeramannya kala itu.
”Satu-satunya tuah membaca yang nyata itu yaaa Neknang bisa bertukar kabar dengan rekan pejuang di Pakistan,” katanya suatu hari pada tahun 1991. ”Ayo, kita beli baju barumu.” Aku ingat, itu ia ucapkan beberapa hari sebelum Lebaran Haji.
Aku baru sadar. Tentang Pakistan itu, sudah sejak lama ia bunyikan.
”Kamu melamun?”
Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Kulihat piring Neknang sudah bersih dan mengilap. Gulai ampai di rantangnya tinggal sedikit. Alih-alih melanjutkan makan, aku malah mencuci tangan di kobokan setelah membuang isi piringku ke dalam kresek. Aku mendadak kenyang.
”Kita pulang sekarang,” katanya seraya mengambil tongkat dan berusaha keras untuk berdiri.
”Lho, Nang?” kataku heran. ”Kan jalan-jalanya baru sebentar? Apa nggak sekalian ke dusun kita di Binjai? Atau …”
Neknang melengos. Ia malah membuka pintu mobil.
Karena ia tak kunjung merespons keherananku, aku memutuskan putar balik. Aku tahu, Neknang sangat marah kalau kami tidak menghabiskan makanan di piring sendiri, tapi aku tidak mengira ia akan sekesal ini.
”Neknang kenapa?” kataku setelah 20 menit mobil melaju. ”Kenangan motoran di Lapangan Merdeka itu sangat berkesan bagi Venn,” kataku bersemangat, ”sampai-sampai Venn terbawa suasana. Venn …”
”Bagi Neknang juga, Cung.”
Kami memasuki perbatasan Lubuk Linggau.
”Tapi … kenapa susah sekali kamu menyediakan waktu buat Neknang? Jangan-jangan, pas Neknang mati nanti, seperti cucuku, Kodim juga nggak mau repot-repot menyelenggarakan upacara terakhir?”
”Nang, jangan …”
”Kalau dulu Nang yang mengajakmu, anggaplah sekarang Nang yang nguso!”
Aku menoleh dengan kening berkerut. ”Tapi, Nang,” kerongkonganku tercekat, ”sekarang kita sudah jalan-jalan, ‘kan?”
”Kamu tidak pernah punya waktu.”
”Padahal janjiku Idul Adha, Nang,” debatku. ”Sekarang aku menepatinya lebih awal!”
”Tidak ada lebaran, tidak ada jalan-jalan …”
Dalam keheranan yang gagal kuterjemahkan, pipiku pedas seperti habis ditampar.
”Ayah kenapa?” Oh, itu suara Sika. ”Nyebut Neknang terus!”
Aku memandang istriku seraya mengucek mata. Ia tampak kacau dengan rambut kusut dan daster favoritnya yang robek di bagian punggung.
”Kan sudah kubilang, abis ngubur langsung mandi. Eh, malah ngenyel!” Ia kembali menarik selimut, melanjutkan tidur dalam posisi memunggungiku.
Aku masih mengumpulkan kesadaran. Di luar, tiang listrik dipukul petugas jaga malam dua kali. Dentang Whatsapp dari meja di samping dipan membuatku bangkit. Banyak sekali ucapan belasungkawa yang masuk. Aku buka Whatsapp dari Dede. Apa maunya negara ini, tulis adik bungsuku itu di ujung pesan.
Ketika Mak mengabari kabar lelayu itu tadi pagi, aku matikata. Ketika Dede menelepon kalau ia sudah di komando distrik militer (Kodim) untuk mengurus upacara penghormatan terakhir untuk pejuang, aku tak peduli. Ketika menyingkap kain yang menutup wajahnya, aku tak tergerak menciumnya. Ketika memandikannya, membersihkan sela-sela jemari kakinya, aku tidak menangis. Baru di dalam liang, aku hampir berhenti pada ”tiada Tuhan selain Allah” ketika mengumandangkan azan dekat telinga kanannya. Sampai yasinan bakda Magrib tadi, aku masih tegar meski mataku mulai hangat. Tapi malam ini, begitu memasuki kamar yang gelap, penyesalan itu menjelma menjadi adegan kebersamaan dalam ditidurku.
Aku berjalan ke kamar mandi. Mungkin wudu bisa membantu menenangkanku. Tapi … dadaku sebak, seperti ada air bah kesedihan yang memaksa keluar. Kunyalakan keran agar raunganku tersamarkan oleh kucuran air.
Isi pesan Whatsapp dari Dede berkelebat. Kodim minta kita menyiapkan berkas ini-itu agar upacara militer bisa digelar. Itu pun kalau kita mau ngubur Neknang sore. Stres! Apa maunya negara ini!(*)
Lubuk Linggau, 20-21 Juni 2021