Kurik (Cerpen Karya Hasan Al Banna)
Dadaku sesak! Pisau dan batu asah bersigesek, menelantarkanku di bukit kecemasan. Memang, sejak pagi, kecurigaan teramat gencar menggodaku. Mengapa tidak? Sepanjang ingatanku, tak pernah setambat tali memasung pergelangan kaki ini. Pun jerat tali yang ditanggalkan saat waktu duha tinggal sepertiga, tidak merta memadamkan api curigaku. Ou, Tuhan, gerangan apa ini?
Nah kan, aku diusung ke parik rumah—pekarangan belakang. Kilau pisau membidikkan cahaya yang menakutkan ke lunglai leherku. Seluruh sendi tubuhku terkunci. Kaki kembali terkekang. Lantas, kekuatan apa yang mencengkeram kedua pangkal lenganku. Aku meronta, tapi kacau-lengking suaraku tak mampu mencegah pisau melintang di leherku. Pisau yang dingin. Angkuh. Kerongkonganku panas, mengelupas, ketika terdengar laun-senyap sebaris lapaz. Bagiku, inilah terompet sangkakala!
Au, aku menggigil! Gerik pisau mulai mengancam urat leher. Dan akhirnya aku tak kuasa menafsirkan suara seretan yang menjalar ke telinga. Ampun, leluasa benar pisau menggelinjang di leherku. Inilah keperihan yang luar biasa! Keperihan yang menodai leher dengan seliang lubang. Aku merasakan arus darah berebut mendaki kawah luka. Lalu lingkar luka menjelma mulut yang mahir menyemburkan darah. Bau anyir meletup! Tubuhku marpetor, menggelepar! Dunia jungkal-balik di mataku. Simbah darah mengais tanah, menggelimangi tanaman liar di sekitar parik. Udara aneh mengalir ke muasal perih, hendak menguras ampas darah? Oih, mendadak sepitam kegelapan menyergap pandanganku.
Ei, suara apa itu? Siapa anak lelaki yang meraung pada tarik-ulur umurku? Pilu! Ah, tapi apa yang dapat aku ketahui tatkala ajal akhirnya mencerabut akar nyawa dari tubuhku…
* * *
“Rosni, sudah kau potongi alame itu?” pekik Delisma kepada putri sulungnya, yang kalau masih sekolah, sudah kelas satu SMP.
“Ya, Umak,” jawab Rosni. Alame, penganan khas Tapsel menyerupa dodol. Meski butuh lebih kurang tujuh jam untuk menanaknya, alame yang terbuat dari tepung beras ketan, santan, dan gula merah, adalah sajian wajib lebaran, selain lemang. Tapi, tidak macam lemang, alame yang dibungkus anyaman pandan, tidak basi dalam hitungan bulan.
“Oh ya, jangan pula kau lupa, sisakan empat bungkus untuk oleh-oleh Abangmu ke Jakarta, ya!”
“Ya.”
“Habis itu, ambilkan dulu kayu bakar di taruma itu!” Tak ada sahutan. Tapi langkah kaki yang menderikkan lantai dan tangga kayu sudah memastikan bahwa Rosni sedang menuju kolong rumah, memenuhi titah ibunya.
Deslima lega. Angannya merogoh bayangan Sapar, calon tamunya. Ini lebaran hari ketiga, hari terakhir Sapar berada di kampung. Maka ia harus bergegas menyiapkan santapan makan siang. Tentu mesti dimulai dengan menyiangi ayam yang sejak sepuluh menit lalu terendam air panas di dalam baskom. Kalau bisa, gulai ayam sudah masak sebelum waktu zuhur menegur. Lantas tinggal menyuruh Parlin—adik Rosni—menjemput Sapar, istri, dan dua anaknya. Kemarin, Deslima memang sudah mengundang Sapar lewat mulut. Mengundang secara langsung, maksudnya. Sapar pun sudah menyodorkan anggukan. Tapi kan, tidak salah kalau mereka dijemput. Pula, mana tahu tamu yang diundang lupa atau tersandung rutinitas hari raya yang melelahkan.
Masa lebaran seperti ini, perantau yang pulang kampung selalu keteter mengakali waktu. Terutama untuk mengunjungi famili yang allahurobbi banyaknya. Maklum, tali darah orang-orang kampung masih simpul-menyimpul. Entah karena darah yang searah atau marga yang senama. Repotnya, kalau sudah berkunjung, pantang pula kalau tak makan bersila. Maka itu, janji bertamu kadang lalai ditepati. Nah, untuk memastikan tamu jauh tetap naik ke rumah, menjemput adalah cara paling jitu.
Sapar, anak bungsu Darlen, Abang tertua Deslima. Ia tinggal di Jakarta sejak menjadi alat negara lima tahun lampau. Di sana pula ia menikahi Ningrum, gadis Jawa. Kalau tidak silap, Sapar terakhir kali pulang lebaran dua tahun lalu. Ketika itu Deslima juga mengundang Sapar makan di rumahnya. Lazim itu. Malah Deslima menerima berkah lain: salam tempel dari Sapar! Padahal waktu sadari mangalomang—sehari sebelum lebaran, ia sudah terima kain sarung dan beberapa potong pakaian untuk anak-anaknya.
Namun salam tempel dari Sapar sangat membantu. Lumayan, bisalah menyumpal liang utang yang menganga oleh persiapan hari raya. Itupun berlebih. Ya, cukuplah untuk stok makan, dan segala cingkunek keperluan hidup selama dua pekan. Apalagi sejak menjanda tiga tahun, Deslima hanya pekerja upahan di sawah milik seorang kerabat. Hasilnya? Jangankan untuk menyekolahkan Rosni dan Parlin, menyanggupi tagihan perut saja ngeri-ngeri sedap. Beruntung sanak-saudara masih berlapang dada untuk turut menghalau kesulitan hidupnya. Alhamdulillah.
Sunguh, Deslima tidak memungkiri, jika hajatan kali ini juga berhilir pada harapan untuk mendulang berkah yang serupa. Niat yang celaka? Mungkin. Tapi apa boleh buat. Apa enaknya hidup di bawah todongan kesusahan, coba? Sepertinya tak ada celah untuk lari dari kemiskinan. Maka itu, Deslima tak pernah mengucilkan setiap peluang yang bisa mendatangkan rezeki. Ia sudah terlatih membaca keadaan, termasuk memanfaatkan kedatangan Sapar!
Benar, pada kesempatan ini hanya seekor ayam yang bisa disajikan Deslima. Tapi jangan salah, ini ayam kampung terbaik: jara-jara! Ayam jara-jara, belum genap setahun umurnya, sekilo lebih sedikit timbangannya. Jara-jara jantan tentu masih lunak tunas tajinya. Sedangkan jara-jara betina belum sekalipun menetas. Alah, kalau digulai, dagingnya lembut, manis lagi lemak, dan tidak menerbitkan lendir.
Kali ini jara-jara betina yang hendak dipersembahkan Deslima kepada Sapar. Meski harus membikin Giling—anaknya yang paling kecil—meraung ketika mendapati ayam kesayangannya terkulai usai disembelih Oppung Ripai, tetangga mereka.
“Kenapa Kurik disembelih? Kenapa, Umak?” Giling meronta sambil menjengkangkan tubuhnya ke hadapan Deslima. Tentu Deslima paham, tak ada khasiatnya membeberkan alasan penyembelihan Kurik kepada anak laki-lakinya yang berusia enam tahun itu. Ia hanya mencoba membujuk Giling dengan janji akan membelikan dua ekor ayam kurik selepas hari raya. Tapi Giling tetap mengamuk sembari menyeru-nyeru ayamnya, “Kurik..! Kurik..!”
Kurik memang ayam kesayangan Giling, pemberian Uda-nya, saudara kandung mendiang suami Deslima. Kurik berbulu lebat, berwarna hitam kelabu, dan dipenuhi rerintik putih. Nah, setiap ayam yang demikian disebut: Kurik! Saban pagi, Giling yang rutin membebaskan Kurik dari sekungkung kandang di taruma rumah mereka. Kalau sedang rajin, Giling pergi mengorek tanah lembab di sekitar parik, memburu cacing kegemaran Kurik. Terus, Giling tak jera, meski berulang kali menanggungkan cubitan Deslima karena ketahuan menabur segenggam beras untuk Kurik.
Oh, ya, pernah bibir Giling koyak dipatuk Kurik. Saat itu Giling duduk di tangga, dan sedang menyantap jagung rebus. Tiba-tiba Kurik melesat hendak menggalah jagung rebus di mulut Giling. Tapi patukan Kurik luput mencatut sasaran. Maka bibir Gilinglah yang menahankan sengat paruh Kurik. Begitupun, cuma dua hari Giling memencilkan Kurik. Lepas itu, Kurik kembali dipangku-dielus.
Sejatinya, kalau bukan karena tangisan Giling, Kurik sudah disembelih menjelang bulan puasa kemarin. Memang, mereka punya tiga ekor ayam piaraan. Tapi ketiganya jantan, dan terlanjur uzur. Kalau untuk disantap, ya, tak sedap lagi. Dagingnya alot. Andai dibawa ke pekan pun hampir pasti tak menggiurkan pembeli. Namun, demi menurutkan Giling, Deslima mengalah. Kurik pun selamat dari jangkauan pisau. Ia memilih meminjam uang ke hombar balok—tetangga sebelah, lalu membeli sekilo daging, direndang dengan kacang parau untuk lauk sahur perdana.
Namun, kali ini Deslima tak punya pilihan. Riwayat Kurik harus tamat. Ia, dengan berat hati meski menyampingkan raung Giling yang bakal bergasing. Tak meleset memang, Giling murka! Deslima pun sempat habis kesabaran menghadapinya. Kaki Giling bahkan sewarna merah mati akibat dilibas dengan tali pinggang. Tapi, karena terlampau lama berkubang tangis, Giling dilumpuhkan rasa letih. Ia tertidur pulas dengan wajah sembab, penuh getah air mata.
Namun biarlah, paling tidak Deslima, dengan tubuh bersemak peluh, kembali meneruskan pekerjaan dapur yang terbengkalai. Ya, kuali naik juga ke tungku ketika tarahim mulai mengapung dari surau. Tentu sesaat lagi azan zuhur akan berkesiur. Maka Deslima harus lebih cekatan. Apalagi Rosni hanya bisa membantu seadanya. Baur saripati santan dengan bumbu gulai mesti segera terjerang hingga mendidih. Lantas, tinggal menjatuhkan potongan kentang dan ayam.
Begitulah, Deslima baru bisa menuai keranuman gulai jauh setelah orang-orang pulang dari surau. Dan, aduh, Deslima tergeropoh ketika Sapar dan Ningrum sudah muncul sebelum Parlin pergi menjemput. Aih, tikar belum digelar di ruang tengah. Tentu deretan hidangan belum melingkar di tempat yang semestinya. Tapi demi jamuan makan yang pantang cacat, Deslima—dibantu Rosni dan Parlin—berkelebat merampungkan segalanya. Ia sampai tak sadar, sejak tadi masa zuhur sudah tersungkur…
* * *
Sambil menemani tamu menyantap sajian, Deslima tak henti berkisah tentang kepahitan hidupnya. “Kalau Bou-mu ini, beginilah keadaannya, Sapar. Makan tak makan. Tapi, tak baik pula Bou banyak mengeluh. Nanti marah pula Tuhan. Iya kan?” Sapar mengangguk-angguk dengan mulut yang terisi. “Tambuh kau, Sapar. Jangan kau sungkan. Kau juga, Ningrum, tambuhlah! Tak enak rupanya kalian rasa masakan Bou, ya?” Sapar dan Ningrum mengulum senyum. Entah demi menyenangkan hati Deslima, mereka susul-menyusul meraih cambung nasi.
Waktu terus bergulir. Harapan Deslima menggelinding kencang. Ia pun tak lupa menyanjung-nyanjung Sapar. “Begitupun, Bou bersyukur karena kau berhasil di tanah rantau. Kalau kau senang, ya, Bou pun turut senanglah. Manalah ada orangtua yang tak bahagia melihat anaknya bahagia. Bukan begitu kan, Ningrum?” cecar Deslima. Ningrum kembali menyunggingkan senyum. Dan Sapar pun agaknya menikmati hujan pujian kiriman Deslima. Maka Deslima begitu yakin jika Sapar bakal menghargai jamuan makan dengan jumlah uang yang lebih besar. Paling tidak, setimpal dengan yang sebelumnya.
Tapi mustahil itu tak bertambah. Harga minyak dan bahan pokok kan sudah naik, pikir Deslima. Lagian, lebaran kali ini Sapar tak memberi selengkung kain pun untuknya. Anak-anaknya juga tak mengenakan baju baru dari Jakarta. Setiba di kampung, Sapar cuma menghadiahi mereka cokelat, roti pandan, dan dodol garut. Diam-diam Deslima menyimpulkan, bahwa Sapar sadar jika ia lebih membutuhkan uang ketimbang pakaian. Deslima tersenyum. Apalagi ketika menyaksikan Sapar, Ningrum, dan dua anak mereka begitu lahap menuntaskan gulai ayam, rebusan daun pepaya, dan sambal tuktuk.
Tapi harapan melenceng! Deslima tak mendapatkan apa-apa selain ungkapan terima kasih. Deslima terperangah! Semula ia berpikir kalau Sapar mungkin lupa menyelipkan uang di sela jabatan tangan. Maka ia pun turut menggiring tamunya sampai ke pekarangan, lantas tak sungkan menjulur tangan sekali lagi. Namun, tetap sehelai terima kasih yang disetorkan Sapar.
Tidak! Deslima haram putus asa! Jendela kesempatan belum katup sepenuhnya. Apalagi secara tersirat Sapar meminta Deslima turut melepas kepulangannya ke Jakarta.
“Petang ini kami pulang, Bou.”
“Ke Medan dulu kalian?”
“Ya, malam ini ke Medan. Besok siang baru naik pesawat ke Jakarta.” Deslima takjub, “Begitulah, ya, Bou. Datanglah Bou ke rumah melepas kami.”
“Iya, iyalah, Sapar. Pasti itu. Datang pun aku,” Deslima menepuk-nepuk pundak Sapar. Ningrum yang menjinjing kantong plastik berisi bungkusan alame tersenyum. “He, Parlin, kau antar Abang dan Kakakmu, ya!” Parlin menurut. Lantas tamu berlalu dari hadapan Deslima, mengerdil.
Tak ia berlama-lama di jantung pekarangan. Segera ia masuk, berkemas-kemas, dan membebatkan kain gendong ke tubuh Giling yang telungkup di punggungnya, lalu mendesak-desakkan langkah menyusuri jalan menurun ke rumah Abangnya, yang makan waktu tak lebih dari seperempat jam. Ini peluang terakhirku, Tuhan! Tolonglah aku!
Tapi, jodoh Deslima rupanya cuma kegetiran. Sampai Sapar sebenar berangkat pun, Deslima tak kunjung berhasil merayakan kehendak hatinya. Sapar dan Ningrum hanya menyarungkan dekapan ke tubuh Deslima. Angannya terhempas! Semangat Deslima tandus! Tega kali kau, Sapar! Umpatnya di nyeri hati. Petang itu, sekalipun tengah mengandung janin hujan, langit lebih gelap dari biasanya. Ia giring Giling pulang dengan letak songkok yang timpang. Kain gendong yang tersangkut di bahu, terseret-seret di tanah. Tak sempat pun ia pamit pada Abang dan para kerabat. Uph, ia yakin, beban hidup sudah menunggu di tangga rumah. Ah, janjinya kepada Giling berbuah serongsok mimpi.
Matilah aku!
* * *
Hujan petang mengurungku entah di pekarangan siapa. Aku bertengger di dahan paling rendah sebuah pohon nangka. Tubuhku kuyup, tenagaku tinggal sesayup. Aku menggeletar. Hei, siapakah dua sosok yang dari tadi mengawasiku begitu saksama? Gelagat tubuh mereka penuh siasat! Sumpah, aku tak mengenal kedua sosok itu! Apa yang sedang mereka rencanakan? Mmh, sebentar lagi cuaca magrib benar-benar akan merabunkan penglihatanku. Maka yang dapat aku tunaikan kini ialah menajamkan pendengaran. Lain tak ada!
Angin mendobrak dahan, meluruhkan daun-daun. Samar-samar aku dengar suara langkah yang hati-hati, juga napas yang diatur. Sesekali suara itu karam, lalu bangkit lagi. Aku menghunus kewaspadaan! Hah, perlahan aku menyimak bisikan yang timpa-menimpa. Mendekat. Mencegat kesigapanku. Kadang berwujud suara perempuan, kadang pula serupa suara seorang anak laki-laki. Suara lembab yang menyelubungkan maksud jahat, aku pikir.
“Kurik… Ayo, kemari. Kurik! Sini! Kurik..!”
Medan, 2008