Kasih Ibu Kepada Ayah & Puisi-puisi Lainnya
Oleh Benny Arnas
Kasih Ibu Kepada Ayah
demi memuaskan
Ibu pergi menelusuri uban-ubah
Ayah demi memuaskan
dahaga masa mudanya mengunjungi gunung-
gunung salju di malam yang kecut. Hingga kini,
lebih dari tujuh windu waktu
memelihara usia, Ibu akhirnya
memutuskan meminjam kepala
Ayah. Ayah selalu bilang, Ibu
adalah wanita yang diperbudak oleh mimpi
di senja merah kala. Sadarlah, Ibu.
Ingatanmu tak ubahnya lembah yang berpagar
pegunungan dan berperigi
palung bunga. Bedanya, salju telah dipindahkan
Tuhan ke kepala Ayah ketika kumis dan janggut menjuntai
agar rela menjadi jembatan dari rambut Ibu
ke pusaranya.
Teh Bunga Mawar
Raja datang.
Ibu masih berbaring.
Istirahat.
Di tempat tidur.
Raja mengetuk pintu.
Ibu bilang:
Aku lelah sekali.
Aku tahu.
Ibu penasihat kerajaan.
Tapi kenapa Ibu seperti melecehkan raja?
Kenapa, Nak?
Kau tidak suka dengan sikap Ibu?
Tidak, Bu.
Ibu pasti punya dalih.
Yang kuat menenangkan.
Yang hebat menyejukkan.
Sehingga Ibu melakukan itu.
Ibu tersenyum.
Dan bilang:
Lihat lagi!
Rupanya raja belum puas.
Diutus perdana menteri.
Kali ini Ibu bangun.
Membuka pintu kamar.
Terkuak setengah.
Aku masih lelah, kata Ibu.
Kembalilah petang nanti.
Akhirnya.
Diutus seorang prajurit rendahan.
Pukul lima petang.
Ibu gegas bangun.
Membuka pintu.
Menuruni anak tangga.
Mempersilakannya masuk.
Menyuruh Anak membuatkan teh.
Teh yang mahal.
Teh bunga mawar.
Prajurit kikuk.
Prajurit menyeruput teh.
Meminumnya.
Sampai habis
(entah karena nikmatnya teh—entah karena gugupnya jantung).
Nah, Anakku.
Setiap orang punya kedudukan.
Setiap pohon punya ladang.
Setiap mayang punya miang.
Setiap hidup harus seimbang.
Setiap perkara harus ditimbang.
Tunjukkan:
Kepada yang bergelimang hormat, ambillah sedikit kebanggaannya. Kepada yang dibelit kehinaan, suguhkan ia kehormatan.
Walaupun hanya dengan bangkit dari tempat tidur.
Membuka pintu kamar.
Menuruni jenjang.
Membuka pintu rumah.
Mempersilakannya duduk.
Menjamunya.
Di ruang tamu.
Dengan secangkir teh.
Menjadi Kambing Berjamaah
Orang-orang berkerumun.
Dengan wajah yang penuh.
Bibir yang merapal.
Langit jatuh.
Matahari tumbuh.
Pohon-pohon melepuh.
Bumi berpeluh.
Ibu dan Anak mendekati.
Ikut berkerumun.
Seorang wanita tua.
Berjubah bludru.
Berkerudung ungu.
Aku adalah penyanyi dari surga!
Suaranya bergema.
Menggetarkan.
Meremangkan.
Menciutkan.
Mengancam dengan indah.
Mencekik dengan tali api dari angin.
Orang-orang menunggu.
Kapan ia bernyanyi.
Orang-orang tak sabar.
Seperti apa nian.
Suara dari surga itu.
Ibu bertanya:
Maaf, Penyanyi.
Penyanyi dari surga.
Suara apa yang paling susah kautiru?
Bumi berhenti bergasing.
Ibu menanti jawaban.
Orang-orang menanti jawaban.
Orang-orang memeram penasaran.
Suara al Kindi dan Mencius, jawab wanita tua itu.
Orang-orang mengangguk-angguk.
Ibu bertanya.
Lagi.
Wanita itu mendelik.
Menantang.
Lalu.
Suara apa yang paling mudah ditiru?
Wanita itu diam.
Lalu terkekeh.
Terbahak-bahak.
Sungguh.
Suaranya bergema.
Menggetarkan.
Meremangkan.
Menciutkan.
Orang-orang menunggu.
Kapan ia bernyanyi.
Orang-orang tak sabar.
Seperti apa nian.
Suara dari surga itu.
Suara wanita itu.
Ia menjawab:
Suara malaikat, hantu, dan titah Tuhan!
Orang-orang terperanjat.
Tubuh mereka menggigil.
Mereka takjub.
Mereka ketakutan.
Mereka terperangkap.
Tapi tidak buat Ibu dan Anak.
Ibu menggamit tangan Anak.
Keluar dari kerumunan.
Pergi.
Meninggalkan kerumunan.
Ibu, ujar Anak.
Menengadah ke wajah Ibu yang biru.
Seperti langit yang hampir jatuh.
Mengapa kita berlalu.
Tidakkah kita ingin membuktikan kehebatannya?
Seperti apa nian suaranya.
Suara dari surga itu.
Diam, Nak.
Dia penipu!
Bagaimana Ibu tahu?
Kita belum pernah mendengarnya.
Siapa tahu dia memang hebat.
Penyanyi dari surga!
Ibu menghentikan langkahnya.
Menatap Anak.
Belajarlah.
Berkhidmatlah.
Hayatilah hidup.
Bila pun ia kumandangkan suara malaikat, hantu,
dan titah Tuhan, apakah akan kauiyakan?
Apakah orang-orang akan menjadi kambing berjamaah?
Kalian tidak memiliki perbandingan!
Anak diam.
Wanita itu takkan dapat meniru al Kindi dan Mencius.
Kita hidup bersamaan dengan pandai musik jagat raya
dan orang nomor dua setelah Konfusius.
Dia takkan bisa meniru.
Tapi kupikir.
Dia bukan penipu, Bu.
Lalu apa, Nak?
Dia itu Iblis.
Kau juga tahu dari mana ia datang, bukan?
Anak mengangguk.
Sebutkan?
Dari nerak
Jangan Pulang Hanya Karena Rindu
Lonceng.
Berdentang.
Berdetang-dentang.
Nyaring.
Cempreng.
Seorang anak.
Berlari.
Melewati pasar.
Lalu permukiman.
Lalu kali-kali.
Lalu jembatan.
Jembatan-jembatan kecil.
Ibu!
Seorang ibu sedang menganyam.
Daun-daun pandan kering.
Bersalih-silang.
Membuat terindak.
Semacam caping.
Pengganti payung.
Untuk hujan yang merintih.
Untuk air mata bahagia.
Ibu menoleh.
Air mukanya lelah.
Kau pulang cepat?
Tidak, Bu.
Sekolah yang cepat selesai.
Kenapa?
Ada musyawarah.
Guru dan cendekiawan dan orang alim.
Kau berbohong?
Tidak, Bu.
Kau berbohong!
Ibu menunjukkan sebuah terindak.
Terindak setengah jadi.
Kau lihat ini?
Anak menunduk.
Kau lihat ini?!
Ia masih menunduk.
Ibu meraih dagu Anak.
Mengangkatnya.
Anak menatap terindak.
Krash!
Terindak bagai kertas yang disobek.
Hancur.
Berserakan.
Daun-daun cokelat muda luruh.
Kenapa kau pulang cepat?
Anak meneguk liur.
Ia masih menatap daun-daun pandan kering
yang berserakan di ujung kakinya—kaki ibunya.
Baiklah, Ibu.
Kalau Ibu tak percaya.
Dada Ibu megap-megap.
Menahan buncah.
Meredam marah.
Merayunya untuk tak pecah.
Aku tak peduli, kata Anak.
Aku tak peduli.
Pada lonceng.
Suara lonceng.
Dentangnya yang cempreng.
Hari ini …. (Ia terisak).
Kenapa?
Ibu membentak.
Hari ini ….
Lanjutkan!
Suara Ibu membangunkan peri-peri.
Hari ini ….
Aku—aku—aku ….
Aku—aku—aku …. sangat merindukanmu Ibu.
Di sekolah tadi.
Aku berpikir.
Bagaimana kalau Ibu tidak ada lagi.
Aku—aku—aku ….
Merindui.
Ibu.
Aku tak butuh alasan untuk itu ‘kan, Bu?
Ibu meninggalkannya.
Menekuni daun-daun pandan yang kering.
Menganyam lagi.
Terindak.
Terindak-terindak.
Untuk berteduh.
Kalau-kalau di surga nanti.
Masih ada gerimis.
Masih boleh menangis.