Karimata, Kapan Tiba …. (2)

 Karimata, Kapan Tiba …. (2)

oleh Benny Arnas

Mulanya, saya pikir, setelah empat jam menumpang speedboat ke Telok Batang, kami akan langsung naik kapal. Badan rasanya sudah menuntut hak untuk beristirahat, tapi … karena tak punya pilihan, saya pikir, perjalanan 8 jam ke Karimata harus ditempuh. Tapi, kami rupanya menumpangi mobil Avanza.

“Ke Pendopo,” kata Ale kepada sopirnya.

“Kita tidak mungkin menyeberang sekarang,” katanya begitu ia sudah duduk di samping kemudi sementara saya di belakangnya. “Buat apa naik kapal malam-malam, Benn,” ia menoleh ke belakang. “Dimakan badai, selesai kau!”

Saya tidak heran lagi. Jadi, saya memilih mengikuti ke mana ia mengarahkan urusan. Fauzan dan Ghifari, kedua rekan residensi yang baru berkenalan di speedboat tadi, tampaknya juga sudah memahami perangai Ale.

Dua jam kemudian, kami memasuki kompleks rumah megah berwarna putih. Ketika seseorang yang tampaknya tidak asing dengan Ale menghampiri kami dan mengatakan kalau kamar sudah siap, saya baru ngeh di mana kami berada.

“Ini kamar VIP,” kata Ale ketika saya mengempaskan tas punggung ke dipan empuk. “Istirahatlah sebentar, kita cari sandal dan makan malam,” ia melirik sepatu yang saya susun di pojok kamar. “Ngapain naik kapal pakai sepatu gayamu itu? Kamu nggak liat kita semua pakai sandal?”

Saya berpikir sejenak. Ale benar, Fauzan dan Ghifari pun hanya memakai sandal.

“Apakah di kotamu ada itu?” ia menunjuk tugu durian di simpang tiga Sukadana usai kami makan ayam bakar di kedai kenalannya di pasar Sukadana malam itu.

Rupanya cerita saya tentang Batik Durian Lubuklinggau yang perform di Milan Fashion Week tahun ini masih diingatnya.

Di beberapa tempat makan pinggir jalan, sejumlah TV menayangkan siaran langsung final Thomas Cup antara Indonesia kontra China. Ponsel saya berdering. Istri menawarkan video call. Wajah Dinda, putri pertama saya, memenuhi layar.

Seperti tak bosan mengulang, ia selalu tak habis pikir kenapa ayahnya selalu jalan-jalan, dalam waktu yang lama, dan tidak mengajak mereka. Saya memang tak pernah mengajak anak-anak, tapi Dinda tidak sepenuhnya benar sebab saya selalu mengajak istri, meski atas nama tanggung jawab sebagai guru dan tak tega menyerahkan anak-anak kepada nenek dan pengasuhnya selalu ia jadikan alasan.

“Ayah kerja,” selalu begitu jawaban saya. Saya pernah menjawab tentang residensi, tapi pertanyaannya setelahnya panjang dan tak berkesudahan hingga tiga hari.

“Aku sudah menyiapkan semua yang kamu pinta,” kata Ale dalam perjalanan dari pendopo rumah dinas ke Pelabuhan Sukadana. “Bahkan Mugie, begitu ia menyebutkan kaki tangannya di Karimata, sudah menyiapkan saung untuk anak-anak belajar menulis.”

Saya ingin bertanya tentang kemungkinan adanya infokus ketika mobil berhenti dua puluh meter dari barisan kapal yang berbaris. Ale bergegas keluar. Kami menyusul tapi hanya dengan berjalan kaki. Ranselnya dan tas punggung saya masih di mobil, tidak mungkin dia langsung naik kapal saja.

“Ayo cepat!” katanya ketika kembali 10 menit kemudian.

“Kita naik speedboat?” tanya saya ketika ia melempar tas kami ke salah satu speedboat yang berbaris, bukan ke kapal bermuatan 40 orang di sampingnya. “Kita ketinggalan kapal motor.”

“Apa?” kami bertiga kompak berteriak.

“Kapal Banawa sudah berangkat pukul 8.”

“Bukannya katanya pukul 10?” kata Fauzan seraya mengikuti langkah Ale ke barisan speedboat.

“Kaptennya stres!” kata Ale.

 “Kamu tidak bercanda, ‘kan?” Tapi, saya melompat juga ke speedboat.

“Kita.…” Ghifari batal melanjutkan kalimatnya karena Ale keburu mencerocos:

“Aku sudah menghubungi kapten kapal. Ia mengapungkan kapalnya di laut. Kita menyusul dengan speedboat. Musa, ayo berangkat!” teriaknya pada seorang laki-laki 30 tahun di kemudi speedboat.

Speedboat melaju dengan kecepatan 800 knot. Tengah kapal cepat itu seperti mau terbelah ketika kami melewati gelombang ombak yang meskipun tidak tinggi tapi datang dengan intensitas yang rapat.

Saya mengambil ponsel dan membuka Quran digital.

Tepat di ayat delapan puluh (saya lupa apa nama suratnya), saya menyimpan ponsel karena awak kapal Banawa menjulurkan tangan untuk menyambut saya naik ke kapal. Saya melihat sekeliling. Laut, alangkah tak berbatasnya.

“Delapan jam ke Padang?” saya menyebut pulau tujuan ke salah satu awak.

“Banawa tak mungkin langsung tembak ke sana,” kata laki-laki sebaya saya itu seraya mengembuskan asap rokoknya. “Setelah ke Pulau Betuk, kapal mengapung dulu di pelabuhan sana semalam.”

Alamak!

Ale muncul dengan rokok yang menyala di tangan kanan. “Kau bawa roti yang dibeli malam tadi?”

Saya memberikan kresek berisi dua botol air mineral dan dua potong roti sisa malam tadi.

“Tahan lapar ya. Tak ada jual makanan di atas sini.”

“Dan kita mengapung di laut semalam juga tanpa makanan?”

Dia mengembuskan asap rokoknya kuat-kuat hingga mengaburkan pandangan. “Aku sedang memikirkan caranya. Rekan-rekan lain,” ia menunjuk Fauzan dan Ghifari yang duduk di atap kapal, “tenang-tenang saja. Jadi kau yaaa jangan berisik, Benn! Apalagi aku sedang mikirin cara .…”

“Cara apa?” potong saya. “Cara dapat makanan atau cara sampai ke Padang sesuai rencana? Kita bahkan belum sarapan, Le.”

Dia memanggil awak kapal yang lain yang kebetulan lewat dengan semangkuk ubi rebus di tangan kanannya. Ia mengambil dua ketika awak itu mendekat. “Nih, makanlah dulu!” Lalu ia berteriak ke atap kapal sehingga Fauzan dan Ghifari gegas turun.

Singkong itu masih hangat. Nikmatnya oi! Andai ada kopi!

Saya menghabiskan sepotong singkong itu seraya berjalan ke ujung palka. Di belakang, Ale masih merokok. Fauzan dan Ghifari sedang mendiskusikan strategi riset bawah laut mereka. Di hadapan saya, ciptaan Allah alangkah megahnya.

Benny Arnas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *