Karimata, Kapan Tiba …. (1)

 Karimata, Kapan Tiba …. (1)

Oleh Benny Arnas

Catatan Perjalanan, 17 Oktober 2021

Malam menjelang keberangkatan, Ale mengirimkan tiket Lubuklinggau-Jakarta-Pontianak. Begitu mengetahui syarat penerbangan dari Bandara Silampari yang mulai beroperasi lagi per 14 Oktober ini adalah hasil swab antigen negatif untuk calon penumpang yang sudah dua kali divaksin, saya pun menyelesaikan vaksin kedua pada 8 Oktober. Tapi, rekan saya di bandara mengabarkan kalau calon penumpang ke Pontianak wajib melampirkan hasil tes PCR.

“Bagaimana ini, Le?” WhatsApp saya seraya melampirkan tangkapan layar berita tentang kebijakan PCR itu. “Dengan apa saya bisa mendapatkan hasil PCR itu?” tanya saya lagi.

“Dengan doa dan air mata,” balasnya tanpa emotikon senyum atau tertawa.

Saya tidak mau memperpanjang urusan. Saya percaya laki-laki 40 tahun yang menjembatani sejumlah perjalanan saya sebelumnya itu.

“Buang saja tiketmu ke Pontianak itu,” WhatsApp-nya setengah jam setelah saya mendarat di Cengkareng. “Sebentar lagi Rafi menghampirimu,” WhatsApp-nya lagi ketika saya sedang menunggu nasi goreng saya di meja saya di sudut Solaria.

Saya menghabiskan santap siang dengan perasaan ganjil. Kalau memang tidak menemui kejelasan, saya rasa tidak masalah saya pulang ke Lubuklinggau lagi. Menunggu keberangkatan ke Pontianak sepekan lagi karena kapal ke Karimata via Ketapang adanya baru tanggal 23 Oktober adalah kesia-siaan. Banyak sekali hal yang bisa saya lakukan di kampung halaman dari sekadar menunggu dan menunggu.

Tapi, tidak. Seseorang yang saya taksir berusia 23 tahun yang mengaku bernama Rafi menghampiri dan mengatakan bahwa atas dasar kemendesakan saya bisa melakukan tes PCR sesampai di Pontianak. Saya mau mengatakan bahwa saya tidak mau berdebat dengan petugas bandara karena saya tidak mampu menunjukkan hasil PCR di Pedulilindungi sebelum pemuda itu mengatakan, “Ikuti kami, Bang,” mereka menuju ke mobil yang sudah terparkir, “Bang Benn naik jet pribadi.”

Apa?

“Bergegas, Bang. Tak punya waktu banyak kita.”

Tentu saja. Siapa yang mau buang-buang waktu!

Di Pontianak, Ale menemani saya tes PCR. “Kemewahanmu hanya sampai kemarin,” ia nyengir kuda.

“Aku juga tidak berharap kegilaan itu berulang, Le.”

Ia tertawa.

“Kita naik speedboat ke Sukadana,” katanya keesokan paginya setelah kami menginap di Pontianak. Ia seperti tidak merasa perlu memberi tahu hasil tes PCR saya.

“Nggak jadi terbang ke Ketapang?”

“Uangku habis. Nyewa jet kamu kira murah.”

“Bukan salahku.”

“Aku tidak punya pilihan. Menunggu seminggu lagi, tentu tidak mungkin.”

“Baguslah, Le. Kamu ….”

“Ke Sukadana 4 jam, transit di Kubu.”

“Trus?”

“Lanjut lagi ke Karimata 8 jam.”

“Total 12 jam?”

“Kalau ada badai, kita menepi ke pulau-pulau kecil. Perjalanan akan lebih lama.”

Dan kamu mengatakannya seperti tak ada dosa.

“Perjalananmu di Eropa Timur itu tidak ada apa-apanya dari Karimata ini,” katanya jemawa. “Di sana tak berlaku kartu kredit, tak ada latte.”

“Bukannya katamu ada Internet di kantor kades.”

“Kecepatan 1 mbps.”

“Aku ada 5 jadwal webinar ….”

“Ntar kita ke pulau yang lain. Kayaknya ada yang sinyalnya bagus.”

“Kayaknya …?”

“Iya,” Ale sok inosen. “Aku pernah coba, tapi lupa pulau yang mana.”

“Emangnya ada berapa pulau di Karimata?”

“180.”

“180?”

“Yang berisi manusia cuma 18.”

“Kita di Pulau Padang. Seratusan kepalalah. Tar kita ke pulau ….”

“Pakai apa kita ke pulau-pulau lain itu, Le? Speedboat ada …?”

“Nggak.”

“Trus?”

“Kapal nelayan.”

“Bawa laptop segala?”

“Paling 2 atau 3 atau 4 jam, yaaa tergantung ombak ngamuk apa nggak, tergantung badai ada apa nggak.”

Aku terdiam.

“Kamu udah laporan ke sponsormu?”

Aku tidak bisa berpikir ke sana.

“Katamu ada 2 esai yang harus kau selesaikan sebelum tiba di Karimata.”

Aku mengangguk.

“Saranku bereskan sekarang.”

Aku melihat sekitar. Speedboat kami berada di tengah Teluk. Mungkin 1,5 jam lagi tiba di Sukadana. Aku lekas membuka laptop. Bismillah.

“Biasa aja,” katanya mengambil ponselku. “Cerialah. Jangan kayak orang susah. Di Karimata tanggung jawabmu banyak. Bicaralah sekarang,” Ale sepertinya sedang membuat video.

“Bicara apa?” kata saya ke arah kamera.

“Sampaikan ke dunia kalau kamu baik-baik saja di tengah Teluk ini. Kalau kamu masih bisa kerja.”

Bismillah. Allah lindungi dan berkahilah 11 jam perjalanan ini.

***

Benny Arnas

1 Comment

  • makasih banyak, mas Billi, Terima kasih sudah berkunjung

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *