Karimata dan Kerja Keras Keluar dari Kegelapan
Oleh Benny Arnas
Catatan Perjalanan, 29 OKtober 2021
Dari enam peserta kelas menulis yang bertahan, lima di antaranya tinggal di Desa Padang. Hanya Karin, peserta termuda yang masih duduk di kelas 3 SMP, yang tinggal di Sungai Abun. Artinya, 8-10 kilometer adalah jarak yang harus kami tempuh bolak-balik agar bisa menghadirkan mereka ke homestay.
Di tengah perjalanan, sempat tebersit ide untuk menyelenggarakan kelas di Padang saja. Tapi, kami juga yang menganulir usul kami sendiri itu atas alasan kondusivitas.
“Di sana, mereka bisa kapan saja dipanggil orangtua untuk mengerjakan urusan lain,” kata Ale.
Saya paham dan kami memang tak punya pilihan.
Risna adalah murid pertama yang kami sambangi. Gerimis renyai ketika sepeda motor kami tepat berhenti di hadapan pintu rumahnya yang menganga. Perempuan 25 tahun itu gegas memasang jilbab ketika pandangan kami menabrak adegan ia sedang melipat pakaian-pakaian yang tampaknya baru saja diangkat dari jemuran.
“Ngapain lu?” kata Ale tanpa turun dari motornya. Tangan kirinya menahan paha saya sehingga saya tak jadi turun.
Risna berhenti melipat pakaian dan memasang wajah cengengesan. “Nanti mau ada pengajian, Bang.”
“Nggak ada urusan,” kata Ale. “Cepat ke homestay. Ada motor, ‘kan?”
Risna mengangguk.
“Bilang ke suamimu, Kapten nyuruh kamu ngetop. Kami tunggu!”
Anggukan Risna makin cepat.
“Kami akan menjemput yang lain,” kata Ale seraya mengengkol motor. “Tahu kami, sesampai di sana kamu sudah di saung.”
“Iye, Kapten!” Risna bangkit.
Deru mesin motor butut Ale memekakkan telinga. Kami putar balik. Enam ratus meter dari kediaman Risna, ke rumah Ambai, pemain voli dusun berusia 20 tahun.
Ale mendatangi Ambai yang sedang membantu-bantu di warung. Dari motor, saya melihat Ale bercakap-cakap dengannya. Air muka Ale serius, mungkin marah. Sementara Ambai lebih banyak mengangguk.
“Kamu mau ikut ke rumah Pak Kades?” kata Ale ketika sudah di motor. “Aku mau minjam motor beliau. Biar dipakai Ambai. Nanti Ambai akan jemput Sri.”
“Saya mau ke sana saja,” saya menunjuk tanah lapang di dekat simpang masjid, warung, dan puskesmas desa. “Saya mau tahu lebih banyak tentang meriam di depan rumah raja.”
Di meriam, saya berharap menemukan tahun pembuatan, tapi hujan dan kotoran telah mengaburkan teks-teks yang tercetak di sana, kecuali tulisan VOC yang masih terlihat jelas.
“Apakah ini ada hubungannya dengan Teungku Abdul Jalil?” tanya saya kepada penjaga puskesmas yang baru saja saya mintai tolong mengambil foto saya dan meriam.
Laki-laki sebaya saya itu terdiam sejenak, seperti ragu.
“Tahun 1800-an, Teungku tiba di Karimata dan bersama-sama penduduk setempat mengusir penjajah. Perjuangannya kemudian dilanjutkan oleh Teungku Embok.”
Ah, kenapa malah saya yang bercerita, batin saya.
Laki-laki itu tersenyum. Dari simpang, deru motor Ale terdengar. Saya lekas minta izin setelah menyampaikan terima kasih.
Di rumah Sri, gadis 21 tahun itu sedang menggendong adiknya. Ia lekas masuk ke rumah dan mengenakan jilbab. Ia meminta Ale bicara langsung dengan ibunya.
Ya, malam tadi saya berbincang dengan Long, panggilan akrab ayahnya. Ia mengatakan kalau kakak Sri yang setelah disekolahkan—dan berhasil—di Ketapang dan jarang kembali ke Karimata kalau bukan urusan urgent, membuat sang ibu trauma melepas anaknya ke luar lagi.
Long tampaknya kategori suami yang tak ingin pasangannya kecewa dan trauma. “Hingga sekarang, Sri hanya tamat SMA di Sukadana. Setelahnya, langsung ibunya tarik balik ke sini.”
Saya ingat, ketika kami membicarakan tentang kekuatan teks sehingga menyarankan mereka menulis mimpi-mimpi mereka di mana pun, Sri mengatakan kalau ia sudah lama melakukannya. “Bahkan dinding ruang tamu pun kutuliskan besar-besar mimpiku kuliah, tapi Mak bergeming,” katanya, terdengar seperti protes.
“Ayo, Benn!” kata Ale lima menit kemudian. “Sri sedang siap-siap.”
Baru saja mesin motor menyala, Ambai sudah tiba dengan motor Pak Kades. Ia akan membonceng Sri ke homestay.
Kami menemukan hal yang seru di rumah Dul. Pemuda berbodi altet voli—tinggi 184 cm dan berat 70 kg—itu sedang terlelap di dapur. Di dekat telinganya, lagu India mengalun dari ponselnya. Ketika saya menepuk bahunya, Dul refleks bangkit dan cengengesan. Ia makin terkejut ketika melihat Ale sedang merekamnya. “Janganlah, Kapten,” pintanya. Tapi kami malah tertawa.
Dul bercerita kalau dia juga sedang menunggu jemputan Sela yang tak kunjung datang, sebelum kemudian ibunya mengatakan kalau gadis 3 ibu 2 ayah itu sudah menjemputnya sejak pukul 11 tapi ia tak kunjung bisa dibangunkan.
“Sela pasti sudah di sana,” kata sang ibu.
Saya melihat ke Ale. Ia tertawa.
“Ketika kamu datang tadi,” katanya, “aku sedang menyuruh Sela menjerang air dan memasak agar untuk es kopyor kita siang ini.”
Ooo mantaplah kalau begitu.
Hamdalah semuanya bisa dijemput.
Ponsel Ale berdering. Wajah Ale berubah.
“Kenapa, Le?” kata saya seraya naik ke boncengan.
“Speedboat itu sudah di depan homestay kita.”
“Maksudnya?”
“Apa aku salah jadwal ya?” Ia bergumam.
Saya paham sekarang.
“Jangan banyak drama, Le,” saya memperingatkan. “Sekarang waktunya kelas. Riset pulau kita besok.”
“Jadi?” kami meninggalkan rumah Dul.
“Ya, hari ini kelas!” tegas saya.
“Uang solar saya untuknya bisa hangus, Benn.”
“Ngebut, Le!” Saya menepuk bahunya. “Di homestay, saya mengajar, kamu menjadwal ulang keberangkatan.”
Ale tak punya pilihan. Dan memang segalanya tak mungkin bisa berjalan sesuai rencana. Kemampuan menghadapi segala ketakterdugaanlah yang membedakan kita satu sama lain.
“Apakah kalian sudah menulis paragraf pertama tulisan kalian,” tanya saya sangsi.
Sungguh, saya sudah dongkol. Kalau ke kelas saja mereka banyak alasan, bagaimana dengan tugas.
Tapi ….
Mereka masing-masing malah mengumpulkan buku tulis. Mereka bukan menyelesaikan paragraf pertama, melainkan mengerjakan tulisan mereka sampai se-le-sai! Membolak-balik belasan lembar tulisan tangan mereka di buku tulis, saya bergidik. Entah, kapan terakhir saya menulis—panjang—dengan pena.
Saya benar-benar merasa bersalah sebelum kata-kata mereka kembali melambungkan saya.
“Rumus yang Bang Benn kasih membuat kami bisa menulis cerita sampai selesai,” kata Risna.
“Saya menulis sampai jam dua ditemani pelita,” lapor Ambai karena jam 12 genset desa dah mati.”
“Saya menulis sampai Subuh,” kata Sri lagi.
Lalu Dul.
Lalu Sela.
Lalu Risna.
Lalu Karin.
Ah, saya perlu belajar banyak pada kalian.
Kami yang tinggal dengan segala kemudahan teknologi, selesai dua lembar sehari pun sudah untung. Alasan dan pemakluman benar-benar didayagunakan dengan maksimal oleh orang di kota.
Ugh!
***