Haji Veteran
- Benny Arnas
- September 18, 2022
- 0
- 341
Benny Arnas | Republika, 18 September 2022
LAGI, Kek Vet memaku dirinya di sana. Akhir-akhir ini, ia tak pernah bisa mencegah semburat merah mewarnai biji matanya. Tak hanya itu, ia juga kerap merasakan basah, hangat, bahkan perih mengerubungi kedua bola penglihatannya itu. Bukan karena gerusan masa yang membuatnya serenta dan serapuh itu; bukan juga karena ia sudah lama meninggalkan medan gerilya hingga tiba-tiba menjadi semelankolik ini; tapi karena cita itu tak kunjung tergapai.
Pernah suatu kali, hatinya menggerutu, mengapa Umar dan keluarganya menyewa tempat tinggal yang dinding ruang tengahnya terlukis rumah-Nya yang tak kunjung mampu ia hampiri itu.
Beberapa hari yang lalu, di awal kepindahan mereka, Rina, menantunya, hendak mengecat ulang ruang tengah. Tapi laki-laki 80 tahun itu mencegahnya. Dalihnya, itu melecehkan baitullah. Walaupun perempuan 31 tahun itu mengatakan itu hanya lukisan, Kek Vet malah mengatakan bahwa ia tak akan bertanggungjawab atas azab yang akan menimpa mereka kelak. Rina keder juga.
Sejatinya, Kek Vet sudah lama memendam keinginan menunaikan ibadah haji. Menurutnya, cukuplah berkutat dengan empat rukun Islam semasa hidupnya. Sudah saatnya ia menggenapkannya, sudah saatnya ia berangkat haji. Sebenarnya, sebelum kepindahan ini, hasrat itu masih bisa ia alihkan ke kesibukan berkebun di belakang kontrakan mereka yang dulu. Lagi pula, di sana, tak ada lukisan kabah di dinding. Jadi, saat itu, hasrat itu tak terlalu menghunjaminya.
Enam tahun lalu, saat Rina tengah mengandung anak pertama, uang yang telah dikumpulkan Kek Vet sejak dua puluh tahun telah cukup untuk melunasi biaya naik haji ia dan istri. Namun, istrinya malah divonis talasemia 3 bulan sebelum keberangkatan. Limpa si jantung hati harus diangkat. Tak sampai di situ, bakda operasi, perempuan 75 tahun itu harus menjalani rutinitas mingguan yang menguras sisa tabungannya: cuci darah. Satu bulan setelah itu, bertepatan dengan kelahiran Topan secara cesar—yang tentu saja hanya menyisakan ratusan ribu rupiah saja di buku tabungan Kek Vet, sang istri mengembuskan napas terakhir.
Kek Vet benar-benar hancur. Bukan hanya karena kematian istrinya, tapi karena tiada satu pun kakak-kakak Umar yang datang, melepas ibu mereka ke liang lahat. Bahkan hingga bunga kamboja berguguran di atas tanah merah keringnya, mereka tak jua berkabar. Entah apakah sudah sukses benar mereka di Jawa sana, atau sama saja nasibnya dengan Umar, Kek Vet tak peduli lagi.
Dan beberapa bulan yang lalu, adalah Kariah, Ulan, dan Dilah, yang mendapat giliran untuk melemparnya ke jurang kemalangan yang tak kelihatan dasarnya. Kek Vet tak habis pikir, bagaimana bisa Tuhan kembali memberinya cabaran yang berhubungan dengan cita-cita berhajinya melalui orang-orang itu.
Ya, satu tahun lalu, jabatannya sebagai wakil ketua Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Kota Lubuklinggau nyaris membuatnya berada di antara gemuruh zikir jutaan jamaah Makkah Al Mukaramah. Ya, ketika Linggau Pos mengabarkan akan adanya paling sedikit empat orang veteran yang diberangkathajikan oleh walikota tahun ini, adalah wajar apabila sebagai orang nomor dua di LVRI, harapan Kek Vet membubung.
Tapi apa lacur, ketika ia sudah semringah-raya menanti realisasi salah satu isi pidato walikota pada peringatan Hari Kemerdekaan tahun lalu itu, kenyataan berbicara lain. Ketua LVRI memang diberangkatkan, tapi Kek Vet tak masuk daftar. Ia merasa begitu terhina. Ia merasa seakan-akan memang takdirnya untuk diejek oleh keadaan, oleh realita yang buram kelam.
“Sudahlah Bah, mungkin belum rezeki.” Subuh itu, Umar mengulangi kata-kata itu ketika mendapati Kek Vet tengah mengusap air mata di hadapan lukisan di dinding ruang tengah. “Siapa tahu, tahun depan giliran Abah,” hibur Umar.
“Bukan perihal tak berangkat haji saja, Nak. Tapi Abah juga kecewa pada kawan-kawan. Hendaknya, walaupun sudah haji, silaturahim itu tetaplah dipelihara,” Kek Vet membuang muka. “Tapi lihat kini, Nak!” Nada bicaranya meninggi. “Jangankan berkumpul seperti dulu, lewat di muka rumah saja, tidak,” suara Kek Vet mulai parau. Tampaknya ia akan menangis lagi.
“Abahlah yang berkunjung ke rumahnya walaupun …” Umar menggantung kalimatnya. Sejatinya ia belum tentu mampu tetap tegar ketika ketetapan-ketetapan buram itu menghinggapinya.
“Walaupun Abah sempat merasa dikhianati. Itu ’kan maksudmu?” suara Kek Vet setengah tercekat.
Umar tahu, Abahnya sedang mencegah bulir-bulir hangat itu menyeruak dari sela kelopak matanya yang mengeriput.
“Mengapa tak kau saja yang jadi Anggota Dewan, Nak?” Kek Vet mengusap matanya lagi. Berat sekali ia mengurai kalimat itu. ”Mengapa harus anak-anaknya Kariah, Ulan, dan Dilah itu yang garis tangannya dilukis Tuhan jadi pejabat, Nak?” suaranya mulai sengau. Sesekali ia mendengus. Tampaknya hidungnya pun mulai berair.
Umar masih diam, matikata. Sebenarnya ada rahasia besar yang tak sanggup ia beberkan pada abahnya. Ia sempat bertemu beberapa kali dengan ketiga karib Abahnya itu. Kata mereka, di Makkah, mereka bertemu dengan Arlian dan Andika, kakak-kakaknya yang tentunya sudah berjaya di rantauan. Ah, Abah.
Dari arah kamar, istrinya mendekat, membisikkan sesuatu.
“Ya sudah, kau berangkatlah kerja, Nak. Abah juga tahu kalau susu Johan sudah habis,” Kek Vet seakan-akan dapat memahami bisikan itu. Tak lama, ia sudah beranjak ke pintu.
“Abah mau ke mana?” tanya Rina.
“Ke kantor pos. Ini kan tanggal satu,” jawab Kek Vet tanpa menoleh.
“Tapi, ‘kan, masih kelam, Bah. Orang-orang juga paling baru beranjak dari masjid sesubuh ini.”
“Abah mau jalan kaki saja. Tidak punya ongkos,“ Kek Vet menghentikan langkahnya, menoleh pada Umar dan isterinya sejenak. “Jangan bilang kalian akan mengongkosiku. Jangan juga berpikir Abah tak tahu bahwa saban subuh, Umar juga maraton sejauh lima kilometer ke tempat kerjanya,” Kek Vet tersenyum tipis, sebelum mengucap salam sekenanya.
Rina menatap suaminya. Tatapannya nanar. Banyak hal yang ingin ia tumpahkan. Ia bermaksud menyelipkan beberapa lembar ribuan di kantong kaus lusuh Umar ketika laki-laki itu menggeleng. “Nggak usah, Dik,” kata Umar. “Ini bulan baru, kan?” Umar mengembalikan uang tersebut ke tangan istrinya. “Artinya, selain membeli susu Johan, kita juga harus melunasi tunggakan SPP-nya Topan yang tiga bulan itu. Lagi pula, maraton juga baik lho Dik untuk kesehatan,” Umar menyemringahkan air mukanya. Terlalu kentara senyumnya dibuat-buat.
♦ ♦ ♦
SIANG itu sangat terik. Topan yang baru pulang sekolah, beberapa kali mengipaskan buku tulis dekat lehernya. Kek Vet yang baru pulang mencak-mencak sendiri di rumah. Rupanya, di kantor pos, ia menemukan brosur Pinjaman Kemerdekaan salah satu bank negara. “Katanya veteran bisa meminjam hingga 100 juta tanpa agunan, tapi setelah dengan susah payah Abah ke kantornya, ternyata hanya satu juta yang bisa mereka pinjamkan.”
Rina yang sedang menata gorengan di dalam tampa lebar hanya tersenyum.
Di buaian, Johan mulai merengek.
“Abah tidak meminta, tapi meminjam. Itu pun karena pembohong bergaya necis itu yang menawarkan!”
Rengekan Johan makin keras.
Topan mengayun buai.
Suara Kek Vet tak terdengar lagi.
Rina membentangkan plastik berukuran 1×1 m di atas tampa, kemudian melipat sisi-sisi tepinya ke bawah alas gorengan. Dengan begitu, penganannya akan aman dari debu.
“Pan, kau jaga adikmu benar-benar,” ujar Rina sambil mengangkat tampa ke atas kepalanya yang sudah dialasi lilitan kain. “Ibu jualan dulu.”
♦ ♦ ♦
MATA Kek Vet basah. Bulu kuduknya merinding mendengar gema yang sudah sangat dihafalnya itu. O o, ia hampir melupakan satu hal: mencium Hajar Aswad. Tak ada pilihan, ia harus menerobos kerumunan di hadapannya. Ah, sudah terbayang olehnya, air muka penduduk kampung yang akan mendengar cerita hajinya nanti. Ia juga dapat dengan jemawa bersilaturahim dengan ketiga sejawatnya yang sudah haji duluan itu.
Tiba-tiba, seorang jemaah menabrak Kek Vet. Aroma zaitun meriap di penciumannya ketika ia menyadari kalau sebagian isi botol parfum di tangan jemaah itu tumpah di punggung tangan kanannya. Ah, untung laki-laki, kalau perempuan, aku harus mengulang wudu.
“Ya Allah, ada apa, Nak?” ujar Rina sambil memegangi kening Johan sesaat setelah meletakkan tampanya secara sembarangan.
“Nggak tahu, Bu. Badannya panas sekali,“ kata Topan, cemas. “Untung Ibu pulang cepat.”
“Tadi ada kecelakaan di perempatan lampu merah. Sepeda motor diserempet truk. Untung nggak ada yang mati. Tapi motor yang ditabrak itu nyenggol Ibu. Alhamdulillah Ibu nggak apa-apa. Tapi gorengan Ibu berserakan di jalan,” Rina menggantung kalimatnya ketika melihat Kek Vet tidur pulas di kursi sudut. “O ya, kok kamu nggak bangunin kakekmu sih, Pan?” tanya Rina sambil menggendong Johan yang terus merengek.
“Sudah, Bu. Tapi …”
“Alah alasan kamu!” Rina bangkit, hendak membangunkan Kek Vet. Berharap bisa meminjam uang gaji veterannya untuk membawa Johan ke Puskesmas atau Dokter. Nanti kalau suaminya balik, akan langsung diganti, pikirnya. “Bah, Abah,” Rina menguncang bahu Kek Vet.
Mertuanya itu tak juga bangun.
“Tangan Neknang harum, Bu,” Topan memegang tangan kanan Kek Vet. “Wanginya kayak …”
“Hush! Sudah jangan ngomongin …”
Terdengar teriakan di luar.
“Yuk, Kakak, Yuk!” Leman, teman Umar bekerja terengah-engah di muka pintu.
“Ada apa, Man?!“ Rina jadi panik.
“Tali derek beton putus, Yuk …”
Wajah Lina pucat pasi.
“Kak Umar di RS, Yuk. Parah …”
Rina bergegas menggendong Johan yang masih merengek. Matanya basah. Tapi tak ada suara dari bibirnya. Topan meraung hebat di dekat Kek Vet.
♦ ♦ ♦
”KOK kamu ada di Makkah juga, Nak?”
”Kan Abah yang jemput Umar tadi?” (*)
Lubuklinggau, 2008–2022
Teruntuk H. Amja HK (alm.) sang veteran tersayang