Excitement dan Geniusitas ala Hasan Al Banna

Jenis-Genius Hujan (Hasan Al Banna)
Oleh Benny Arnas
golagongkreatif.com, 10 Juni 2025
Tidak rapi tapi indah, acak tapi bergaya, sederhana tapi memantik penasaran!
Benny Arnas
Judul buku : Jenis-genius Hujan
Penulis : Hasan Al Banna
Penerbit : Obelia
Cetakan I : Desember 2024
Tebal buku : 58 halaman
ISBN : 9-786238-188680
Mengutip Budi Darma, pada hakikatnya yang mendorong pengarang untuk menulis adalah ketidakpuasan akan apa yang seharusnya menurut moral tidak terjadi.
Pengarang lain bisa saja punya dorongan atau motivasi lain untuk menulis. Namun, lagi-lagi, seperti menegaskan, dalam “Ayat-ayat Sastra” Budi Darma menulis bahwa seorang penulis tidak menulis supaya ia disebut penulis. Ia menulis karena ingin memberikan ‘sesuatu’.
Ketika membaca karya sastra, kita sebagai pembaca kerap berpikir keras untuk menangkap apa yang hendak (pengarang) sampaikan. Apakah karena dosis dan gaya metafora penggarapannya atau karena alasan lain, pembaca menikmati karya sastra, sebagaimana hal-hal yang tak bisa lepas dari teks-untuk-publik itu sendiri, lewat dua pendekatan: struktur dan moral.
Misalkan dalam Of Mice dan Men, kekacauan yang tanpa sadar Lennie lakukan–karena keterbatasan daya nalar dan intelenjensianya, tanpa tendens George tanggapi selayaknya Bapak menyayangi anak. Sementara Lennie yang selalu menunggu kesempatan divalidasi sang sahabat agar ia bisa mengekspresikan perasaan dan atau mendayagunakan kekuatan fisiknya (satu hal yang selalu George banggakan ketika memperkenalkan sekaligus mempertahankan Lennie di tempat mereka bekerja), situasi yang selalu berhasil membuat pembaca harap-harap cemas ke mana dan bagaimana hubungan mereka nanti akan menemukan hilirnya.
Kita bisa terlibat dalam hubungan emosional yang intim antara George dan Lennie karena kelembutan John Steinbeck dalam menggarap plotnya (baca: struktur) sehingga kita tahu bahwa ada moral yang lebih tinggi dari cinta tak harus memiliki, yaitu: cinta kadangkala harus diakhiri agar ia tetap sejati.
Atau, lewat “Di Sudut Bibirmu Ada Sebutir Nasi”, salah satu puisi dalam buku Konde Penyair Han (2011), kita bisa merasakan perjuangan menjadi Tionghoa di negeri ini karena si pengarang, Hanna Fransisca, menuliskan puisinya dengan pendekatan metafora berulang–Hanna menerakan “Hati adalah lubuk biru” sebanyak tiga kali!–untuk menggambarkan ngilunya perasaan ketika hina dan penderitaan terus memeluk masa kecil.
Karena keterpurukan itu pula, Hanna sempat ragu apakah benar tempat ia lahir dan hidup kini adalah tanah airnya. “Sebab hanya orang jatuh cinta bisa lancar bicara/laut, guguran daun hutan Kalimantan, ombak Natuna, ….” Tentu bagaimana ia akan menganggap pulau-pulau itu sebagai tanah airnya “Sedang ia tak pernah bisa sebut nama sendiri.”
Contoh-contoh di atas menabalkan excitement (keseruan) sebagai luaran dari struktur karya yang selalu pengarang perhatikan ketika mereka ingin membuat pembaca merasakan (baca: menangkap) moralnya, apa pun genrenya: prosa maupun puisi.
Hal yang sama, dapat kita rasakan dalam sejumlah karya (penulis tak bisa menyebutnya: banyak ataupun sedikit). Namun, dalam Jenis-genius Hujan (Obelia, 2025), excitement setiap puisi seperti ditakar dengan presisi oleh Hasan Al Banna sebagai ayah kreatif dari puisi-puisi yang terhimpun.
Karya sastra, apa pun bentuknya, menyitir konsep Dan Harmon, seharusnya memperhatikan siklus “peristiwa dramatik”. Bagaimana pada bagian awal para pembaca diperkenalkan dengan situasi stabil, kacau di tengah, untuk kemudian mereda setelah ledakan tak terprediksikan terjadi menjelang penutupan. Sekali lagi, apa pun bentuk karya sastranya, siklus itu seharusnya hadir.
Bahkan dalam “Jendela Terbuka”, menyatakan bahwa “ … esai tidak tabu terhadap plot”. Hal yang sangat mungkin terjadi puisi-puisi tertentu.
Hal itu langsung tampak dalam puisi pembuka yang berjudul “Tanya Jawab Hujan dengan Seorang Lelaki yang Konon Penyair”:
mengapa kau tulis puisi-puisi tentang diriku?
karena aku tergula-gila padamu
mengapa kau tergula-gila kepadaku?
karena aku terwaras-warak kepadamu
Membaca teks bertitimangsa 2021 di atas, kita langsung tahu bahwa judulnya adalah bagian yang tak terpisahkan dari badan puisi itu sendiri. Apakah ia sebagai kepala, dada, atau kaki, tergantung interpretasi masing-masing. Namun, yang terang adalah, melalui judul kita tahu bahwa babak perkenalan telah dibuka. Kita bersalaman dengan hujan dan bercakap-cakap dengan Lelaki yang Konon Penyair untuk memahami semesta mereka.
Berikutnya, kekacauan itu pecah ketika dialog antara mereka terjadi. Hujan mempertanyakan alasan sang penyair menjadikan dirinya sebagai bahan mentah puisi-puisinya. Sang penyair, dengan citra pandai bahasa yang melekat padanya, menggunakan diksi tergula-gila untuk mengungkapkan kekagumannya kepada si penanya.
Serunya (ya, di sini excitement-nya!), hujan merasa tidak perlu mendebat diksi baru itu. Ia justru bertanya balik seakan-akan, dalam semesta hujan, tergula-gila adalah lema yang sudah lama termaktub dalam kamus mereka, untuk kemudian membiarkan si penyair menutup percakapan mereka (baca: puisi itu) dengan menjawab, karena aku terwaras-warak kepadamu.
Jangan heran, bahkan pembaca sejatinya, patut bergembira, apabila sekujur buku ini menawarkan banyak sekali variasi lema kata ulang (baru). Sebanyak 60-an (tidak main-main, bukan?!), mengutip Muhammad Badzlan Darari dalam Surat Pembaca yang hadir sebagai pengantar buku ini, Hasan Al Banna produksi sebagai bahan (ya, bukan semata bumbu atau rempah!) puisi-puisinya. Atas alasan itu pula, saya tak membocorkan puisi-puisi lain dalam esai ini. Meminjam istilah Harmon, “kaya twist”, baik dalam keseruan maupun kata-kata kejutan. Tak ayal, hal itu menghadiahi pembaca dengan lanskap bahasa dalam komposisi yang tidak rapi tapi indah, acak tapi bergaya, sederhana tapi memantik penasaran!
Di sinilah, kita juga tahu, bahwa secara moral, Jenis-genius Hujan ingin menunjukkan (salah satu) alternatif cara untuk mengerjakan dan atau menikmati karya sastra. Bahwa, kata-kata yang ada di dalam kamus bukan hanya akan mengalami variasi karena urusan selingkung. Lebih dari itu, ia bisa “berubah” karena karya sastra, termasuk puisi, membentuk semesta imajinernya sendiri.(*)