Berjalan Mundur di Karimata
oleh Benny Arnas
Semua berjalan mundur di Karimata.
Saya membuka kelas menulis di Karimata dengan membawa-bawa Andrea Hirata, Asma Nadia, dan Tere Liye sebagai pemantik.
Mereka menggeleng dan balas melongo ketika saya mengonfirmasinya dengan tatapan tak percaya tentang ketaktahuan mereka dengan nama-nama yang karya-karyanya dilabeli best seller (baca: dibaca sejuta umat!) itu.
Ketika saya membawa-bawa film sebagai pendekatan, tidak ada satu pun yang tahu (apalagi pernah menonton!) film-film seperti Laskar Pelangi, Ayat-Ayat Cinta, Surga yang Tak Dirindukan, atau Habibie Ainun!
“Ikatan Cinta,” kata Karin (15) dan Ambai (20) dengan wajah memerah. Ekspresi itu, apakah muncul karena gugup atau bangga dengan jawabannya, saya tidak tahu.
“Dilwale,” kata Dul (22), peserta kelas menulis yang rela tidak menangkap cumi demi mengikuti kelas menulis.
Sejak kapan sinetron dan film India menjadi candu bagi remaja atau anak muda? Pada saya, itu terjadi ketika SMP, dua puluhan tahun silam.
Semua berjalan mundur di Karimata.
Dongeng apa yang paling kita ingat tentang nenek moyang kita yang tangguh?
Mereka adalah pelaut. Mereka adalah orang-orang yang lihai berenang, pandai menyelam, kuat berlayar, dan mengambil apa yang harus diambil saja dari alam.
Tiap kelas menulis berakhir, anak-anak usia SD yang kebetulan bermain atau belajar mengaji di musala dekat rumah kayu tempat saya tinggal akan memaksa saya untuk berenang bersama. Kami sama-sama menceburkan diri ke air asin. Saya muncul ke permukaan setelah berenang sejauh lima belas meter. Sementara mereka meninggalkan saya dalam jarak tiga kali lipat di belakang.
Anak-anak itu dengan riang gembira bermain di atas kayu dan menjadikannya “kendaraan mengapung” hingga membawa mereka jauh meninggalkan daratan. Mereka yang belum genap sepuluh tahun itu bahkan biasa memancing cumi dengan mengapungkan diri di tengah laut sejak sore hingga subuh di atas kapal nelayan.
Kecakapan meleburkan diri dengan laut adalah lagu dengan lirik dan melodi usang.
Semua berjalan mundur di Karimata.
Ketika berkeliling daratan Karimata menggunakan sepeda motor, saya mendapati rumah-rumah penduduk yang menghadap laut. Pemandangan dan kenyataan itu membuat saya tersenyum dalam hati. Saya teringat cerpen Raudal Tanjung Banua “Rumah-Rumah Menghadap Jalan” (2010) dan pidato kebudayaan Hilmar Farid (2016).
Raudal maupun Hilmar sama-sama menyatakan bahwa salah satu budaya modern yang diadopsi bulat-bulat hari ini adalah membangun tempat tinggal menghadap keramaian sekaligus memunggungi laut, sungai, atau kali. Laut, oleh generasi hari ini, adalah sekadar dekorasi alam yang hanya cocok menjadi latar belakang foto atau lokasi pemotretan pre wedding. Oleh pusat, air dianggap pemisah sehingga jembatan-jembatan megah harus dibangun, sementara kapal-kapal yang akan membuat laut hidup dan semarak adalah romantisisme yang tidak relevan dengan kemajuan zaman.
Apa akibatnya?
Generasi hari ini tidak bisa mengarungi laut. Kedigdayaan orang-orang Bugis sendiri dalam mengarungi lautan sudah didokumentasikan oleh Blair bersaudara dalam buku mereka, Cincin Api (Ring of Fire), sebagai romantisisme yang menyedihkan. Tahun 1980-an itu, orang-orang Bugis yang mereka percayai untuk membuat dan melayari pinisi malah menipu, memperdaya, hingga berkali-kali melakukan percobaan mencelakakan mereka berdua.
Di Karimata, rumah-rumah menghadap laut.
Bagaimana anak-anak pulau memiliki mental tangguh dan pantang menyerah ketika membela tanah kebanggaan karena tiap hari makan ikan, cumi, udang, lobster, hingga rajungan sebagai sumber kekuatan dan kecakapan mengatur siasat. Keberadaan makam Teungku Abdul Jalil dan peninggalan meriam di Dusun Padang adalah bukti perlawanan itu pernah berkecamuk dan dihadapi dengan gagah perkasa oleh orang-orang Karimata terdahulu.
Pula, hasil laut yang kaya protein saya duga sebagai penyebab bagusnya daya tangkap anak-anak Karimata. Ya, ketika saya memberikan latihan tentang premis dalam kelas, mereka mampu mengerjakannya dengan baik tanpa melihat ulang catatan formulanya. Bahkan, mereka semua mengumpulkan tulisan sesuai tenggat. Sungguh, semangat mereka layak diacungi jempol!
Tapi, sampai kapan bertahan?
Apabila akses ke Karimata dari Pontianak via Sukadana masih berupa kapal nelayan dengan waktu tempuh total belasan jam, atau via Belitung yang menghabiskan 15 hingga 17 jam—juga dengan kapal nelayan, segalanya tidak akan keluar dari realitas bahwa:
Semua memang berjalan mundur di Karimata.
Di sini, saya harus merogoh kocek hingga 750 ribu demi tiga giga paket internet satelit Ubique yang hanya dijual di Pelabuhan Dusun Padang, enam kilometer dari Dusun Tanjung Ru. Tiap kali hendak mengirim tulisan, foto, apalagi video, saya harus bersabar hingga belasan jam sebab menara Telkomsel yang berkecepatan 1 Mbps diperebutkan masyarakat Dusun Padang dan Tanjung Ru.
Di hari terakhir residensi, saya makan siang di salah satu rumah nelayan sukses di Karimata. Ketika memasuki ruang tamunya, perasaan asing menyergap saya. Pertama, itu adalah kali pertama saya menonton TV di Karimata. Kedua, saya terenyak mendapati acara berita dan tayangan live lainnya yang menampilkan para pewara dalam balutan masker.
Oh, di Karimata, semua berjalan mundur.
Sehingga jangankan transportasi laut untuk publik yang memadai, virus korona pun bagai pusing memilih moda transportasi apa yang (ny)aman ke Karimata.
Karimata adalah mutiara terdepan, terpencil, tertinggal, dan terlupakan (4T). Meskipun, apakah dengan masuknya pembangunan di sini, kepulauan ini masih akan hijau tosca, sejuk, permai, dan menenangkan sebagaimana lautnya? Atau, justru padang sawit akan tumbuh di mana-mana? Ketika menulis esai ini, berita banjir yang menggasak beberapa provinsi di Kalimantan terus mengisi linimasa media sosial. Tiba-tiba saya takut kehilangan Karimata yang alamnya bersahabat, remaja dan pemudanya yang haus ilmu, orang-orangnya yang mengakrabi laut, dan akses kapal nelayan yang eksotis dan menantang itu.