Menggambar Setan
oleh Benny Arnas
Rubrik Persepsi, Gorontalo Post, 22 Februari 2023
Kau adalah hulu dari keburukan yang membuat muara hidupku begitu kotor dan bau!
Ternyata Ibu tak hanya menderita karena kanker limfanya, tapi juga malu berkepanjangan atas cemoohan tetangga, teman-teman dekatnya, juga pihak keluarga yang mengatainya sebagai janda yang gagal mendidik anak bujang semata wayang. Belum lagi koran lokal yang samar-samar menampilkan fotoku dan teman-teman ketika digelandang menuju kandang jeruji karena kedapatan nyabu di kos salah seorang bandar. Saat itu aku baru sadar kalau berpacaran lima tahun bukanlah jaminan bahwa Andina tidak meninggalkan Sarjana Ekonomi yang masih menganggur.
Jauh sebelum itu, aku juga pernah membuat Ibu begitu geram sebab uang yang ia sisihkan dari keuntungan berjualan gulai-masak keliling kampung kuhabiskan di arena judi daring. Tahun lalu aku nyaris babak belur dihajar massa di simpang kampung ketika kunjungan diam-diamku ke kosan Andina, terendus para pemuda yang sedang ronda. Untung aku bisa melarikan diri lewat dapur yang hanya berjarak sepuluh meter dari hutan karet penduduk.
Semua itu terjadi karena kekalahanku darimu!
Bahkan tujuh bulan yang lalu, aku hampir saja membunuh Murdok kalau saja para tetangga tidak menahan tangan kananku yang mengibaskan golok dari belakang ke arah leher preman kepercayaan Bi Ranti itu. O Ibu, tentu kau dihadapkan jalan buntu hingga harus berurusan dengan lintah darat betina itu. Malam harinya, Ibu melakukan sesuatu yang membuatku menjadi anak paling berdosa. Di antara riuh-rendah tangis, ia hampir saja mencium kakiku bila tak segera kutarik.
”Ibu rela mencium kakimu asalkan kau mau berhenti mempermalukan diri sendiri dengan berjudi, mencuri, atau memacari gadis-gadis bila tak berniat menikahinya!”
Malam itu aku memutuskan menjadi anak kecil. Aku masuk ke kamar Ibu yang tak pernah terkunci. Ia berbaring menyamping dengan posisi membelakangi pintu. Aku memeluknya dari belakang. Dapat kurasakan perutnya yang lebih besar dari biasa (Ibu tidak pernah mengeluh sedikitpun atas sakit yang dideritanya). Ia tersedu-sedan membelakangiku. Apakah isakannya disebabkan penyakitnya atau kemarahan yang diredam atas kelakuanku, aku tak berani bertanya. O, jadi kemarin-kemarin aku selalu membuatnya semenderita ini, sesalku. Pelukanku makin erat dan tak melepaskannya hingga kokok ayam jantan menyalip matahari.
Sejak itu, aku lebih banyak merenung dan menangis sendiri.
Bukankah kematian Ayah di tanganku beberapa tahun yang lalu, cukuplah menjadi puncak segala kekalahanku padamusehingga seharusnya aku bisa belajar mengalahkanmu dan menunjukkan pada Ibu bahwa sekeluar dari penjara, aku bukan hanya bisa kuliah tapi juga membahagiainya dengan semua lakuku. Mungkinkah Ibu masih belum ikhlas atas kepergian Ayah di tangan seorang anak yang kala itu baru tamat SMA? Bukankah aku melakukannya untuk menyelamatkan nyawanya: bila golokku tidak menghantam kepala Ayah, pisau laki-laki yang gemar mabuk-mabukan dan main perempuan itulah yang akan mengirim Ibu ke langit!
”Kau benar-benar dikalahkan oleh setan!”
Aku ingat sekali, Ibu mengatakan itu dengan bibir bergetar dan suara yang nyaris tak terdengar. Dan aku mengabaikannya, seolah-olah keberadaanmu adalah mitos. Tapi … tapi … kau justru semaunya memperalatku untuk menambah jumlah kolonimu. Dan aku tahu, walaupun tak pernah lagi memperingatiku, Ibu selalu membawa-bawa namaku dalam doa yang dirapal dengan khusyuk dan basah oleh air mata.
Di pengujung perenungan yang membuatku lebih akrab dengan ibadah, kitab suci, dan buku-buku, aku merasa telah begitu banyak mengabaikan kesempatan untuk menggembirakan Ibu dan orang-orang, aku lebih banyak berkubang dengan kesia-siaan yang tentu saja kerap kautertawakan: sarjana, belum laku, pengangguran, dan sejumlah catatan kriminal!
Aku rasa cukup!
Aku harus menghentikan petualanganmu dan menjadikannya petualangan yang bersejarah dalam hidupku!
*
Tak terhitung berapa kali kau menghasutku, namun saban mengingat Ibu, kau selalu kutendang jauh-jauh. Seolah menyambut itikadku, Ibu kerap mengingatkanku agar rajinikut gotong-royong membersihkan selokan kampung saban Jumat pagi atau memenuhi undangan tetangga yang berhajat …. Aku menyesal, bagaimana mungkin aku baru menyadari bahwa menjalani hidup dengan baik itu tidak susah bahkan menyenangkan serta menerbitkan ketenangan seperti ini.
Aku pun diterima bekerja sebagai guru honorer mata pelajaran Ekonomi di SMA swasta di kabupaten tetangga. Dengan gaji tidak sampai lima ratus ribu per bulan, aku menjalaninya dengan berusaha ikhlas. Dan kupikir, menginjak bulan kedua ini, aku selalu membuatmu gigit jari. Hingga bendahara sekolah menderita sakit parah yang membuatnya harus mengambil cuti panjang. Entah bagaimana, aku ditugaskan sebagai bendahara-sementara karena tidak ada TU yang paham tetek bengek tabel, grafik, dan perhitungan nan rumit perihal keuangan sekolah, kecuali Sarjana Ekonomi sepertiku. Hingga hampir tiap pekan aku membawa uang berjuta-juta untuk disimpan di rumah.
”Kalau tak ingin ribet menyetor ke bank, simpan saja di rumahmu dulu. Bendahara lama juga begitu dan aman-aman saja,” kata kepala sekolah ketika aku menanyakan ke mana harus kusimpan uang penerimaan siswa, bantuan operasional sekolah, iuran siswa untuk membeli kelengkapan kelas, dan lain-lain itu.
Minggu pagi itu, sembari menunggu Ibu pulang dari pasar, aku mempelajari laporan-laporan keuangan terdahulu sembari membuat laporan bulan ini karena kepala sekolah tadi pagi menanyakan apakah ada dana yang bisa digunakan untuk membantu biaya pengobatan Pak Damar. Dan aku menemukan begitu banyak kejanggalan dalam laporan yang dibuat bendahara lama itu. Banyak transaksi tidak masuk akal, juga kuitansi-kuitansi pengeluaran yang tidak lengkap.
”Nah, bukankah kau juga bisa melakukan hal serupa?”
Aku tahu kau sedang menggodaku.
”Berapa uang yang ’hilang’ bulan lalu?”
”Hampir 10 juta!” refleks aku menjawab.
”Nah bukankah kau bisa mendapatkannya atau bahkan lebih?”
Ponselku berdering.
”Ke RS cepat!”
”Ini siapa?” Perasaanku tak enak.
”Ibumu muntah darah di pasar, barusan dibawa Bi Marni dan suaminya ke RS dengan angkot. Jangan lupa bawa duit. Sepertinya dia kritis!”
Lekas kubuka lagi laporan keuangan yang sedang kukerjakan. O, apakah kau benar-benar ada? Masa bodoh dengan petualangan ini! Tidak ada yang lebih mulia dari menyelamatkan seorang ibu!
Pak Kepsek, sayang sekali cuma ada sisa 900 ribu. Besok saya bawa laporannya. Trims
Kucangking dua ikat uang lima puluh ribuan sebelum gegas ke RS.
*
Kekalahan untuk kesekian kalinya itu lebih banyak kusimpan sendiri daripada kuceritakan, walaupun ia adalah petualangan yang membuatku paham arti hidup dan kasih seorang Ibu yang meninggal dunia sebelum operasi sempat dilakukan. Aku baru merasa mengalahkanmu ketika kas sekolah sebesar sebelas juta rupiah kukembalikan bulat-bulat. Satu tahun yang lalu, aku memutuskan berhenti bekerja dan memanfaatkan uang tabungan untuk meneruskan usaha ibu dalam skala yang lebih besar. Dan benar! Aku bisa hidup dari keringatku sendiri dengan tenang, meskipun akan lebih bahagia lagi bila Tuhan mengirimiku bidadari.***
Dengan pengembangan seperlunya dari cerita Si Fulan di pengujung September 2014