Aroma Perjalanan & Puisi-puisi Lainnya
Oleh Benny Arnas
basabasi.co., 21 Februari 2024
Aroma Perjalanan
Antre di konter check in
Orang-orang berpasangan
Bercanda-kecil tentang tempat tujuan
Atau sarapan apa yang akan disantap berdua
Di luar, subuh belum tiba
Dinginnya udara bagai mengejek
Aku yang berdiri sendiri dalam barisan
Mengingatmu di rumah:
Yang mungkin sudah terjaga
Mengaji usai tahajud
Atau menyiapkan sarapan terenak di dunia
Tentu saja, kelelahan mengoreksi PR murid
Atau mengajari anak-anak mengaji
Malam tadi, menguap sudah
Di muka petugas, aku tergugu
Kuserahkan KTP dan tiket
Berdua, tanyanya—atau ejeknya
Ah, alangkah nyelekitnya
Musim semi tahun depan, kataku
Ia tertawa, memberiku boarding pass
Dalam pesawat, sebagaimana biasa
Puisi sekaligus permohonan doa kukirim
Rindu tiba-tiba merimbun dan cinta
Alangkah semak dan dinginnya
Jakarta, 30-9-2022
Dari Waldorf hingga Silent Apartment, Rumah Kita Mekar Berbunga
Di luar unit 34A Waldorf
Burung-burung berjalan kaki
Lupa caranya menjauh dari bahaya
Sebab semesta membuka tangan
Lewat restu dan ketabahan
Di dalam unit 34A Waldorf
Aku membuat sambal kentang
Dengan mata yang tak lepas
Dari resep andalanmu agar pedas
Dan manisnya dekat
Nun di Puncak Kemuning nan monokrom
Kamu tak henti mengecek ponsel
Menunggu puisi dan kabar baik
Dan tersenyum oleh pesan yang rekah:
Sambal kentang itu sudah jadi!
Silent Apartment pun kudatangi
Janji-janji indah itu kulabuhi lagi
Kau menunggu puisi dan lagi
Lanskap Ljubljana yang cokelat kukirimi
Sua dan tawa pecah dalam mimpi
Di rentang 10.192 kilometer
Burung-burung terbang dari Lubuklinggau
Membuat Licon Street macet
Oleh serakan buah kam dan kasai
Yang membuat tanya mengawang:
Siapa yang pergi?
Mengapa kamu yang pulang?
Siapa yang berjanji?
Mengapa dia yang setia?
Sambal kentang habis sudah!
Waktu melepuh dan selamat
Datang ke sabana keemasan
Yang membeku-bungkuskan
Antara timur dan selatan
Rumah kita tumbuh di antaranya
Lubuklinggau, 19-9-2022
Serat Kecemasan
Keringat sebesar biji kopi
Merimbuni pori-poriku
Asin di lidah, pahit di jiwa
Kabar baik datang lewat pintu
Terbuka dalam kira-kira
Mengetuk jendela yang baru
Kau basuh dengan ampas derita
Panjang liku ujian adalah
Keriting uban yang kesat
Hingga nasib menyaru cinta
Yang mulanya merah bendera
Lalu luka menjadikannya marun sudah
Permintaan maaf adalah nyeri
Berkhidmat atas nama harga diri
Kecemasan selalu lepas kendali
Kuseruput kopi, keringatmu pahit sekali
Lubuklinggau, 19-9-2022
Di Pekarangan yang Rimbun Ini
Di pekarangan yang rimbun ini, kegembiraan
dan matahari jatuh cinta, meski tak ada tepuk
tangan, belalang dan bunga muri-muri senantiasa
antusias mendengarkan lenguh napasmu
ketika kau mengayuh sepeda atau berteriak-teriak
manja minta perhatian ayah yang sibuk
dengan puisi dan naskah-naskah
Di pekarangan yang rimbun ini, masa lalu
akan menunjukkan kepongahannya.
Semak-semak akan mati dan terus berganti lalu
kita—termasuk kau—akan rindu aroma
ilalang yang patah atau buahpena yang pecah,
meski semua kisah sudah digulung dan tak pernah
persis sama ketika diceritakan ulang
atau sekadar dikenang dengan tangis yang tak lagi
kuasa mengucurkan air mata.
Di pekarangan yang rimbun ini, kau bermain-main
dengan kupu-kupu yang mengepak-ngepakkan
masa depanmu.
Di pekarangan yang rimbun ini, jadilah bunga abadi
yang terus tumbuh, mekar, dan mewangi di rekah
tangan ayah dan telapak kaki ibu, wahai anak-anakku …