Yang Salju, yang Omar

 Yang Salju, yang Omar

Dengan tubuh yang menggigil, Omar celinguk-celinguk mencari kendaraan yang akan membawanya ke Hunza, kawasan pegunungan Lembah Nagar yang sering disebut sebagai kembarannya Kashmir. Pemuda 28 tahun itu akan menjemput perempuan yang sepuluh tahun terakhir berbagi suami dengan perempuan yang, kata para santri di pesantren ayah tirinya di Indonesia, lebih setia karena status istri pertama di pundaknya. Oh, tak pernah ada dalam bayangannya kalau ibunya rela menjadi martir demi masa depannya. Omar bayangkan perasaan perempuan paruh baya itu ketika mengurus sekaligus merelakan sang suami membelah hatinya untuk perempuan yang lebih mengenali dirinya. Cukup, Ibu, batin Omar, geram dan pedih. Kita pulang.

“Seribu rupee bagaimana?” kata seorang pemuda setempat dengan pengucapan bahasa Inggris yang berantakan setelah Omar menawar 1500 menjadi 800 rupee. Ia tak mengerti standar ongkos ke Hunza dengan menumpangi sebuah bus bermuatan 80. Ia hanya merasa, karena pasti dikenali sebagai orang baru, penduduk setempat akan mematok ongkos lebih tinggi. Menawar seperti barusan belum pernah ia lakukan di Indonesia. Tapi … mendengar 1000 rupee dari si kernet ia tersenyum.

Duduk di bangku belakang membuatnya leluasa berbincang dengan Hamish, begitu kernet itu menyebut diri sendiri, Omar jadi tahu kalau listrik gratis di bus mulanya diperuntukkan untuk menyalakan radio atau mengisi ulang daya baterai walkman, dan sejak tahun 2000-an, colokan listrik di dinding bangku penumpang itu juga digunakan untuk mengisi daya ponsel. “Tapi …,” lanjutnya seraya tersenyum ke arah pemuda berjambang tipis itu, “apa yang kamu lihat sekarang sudah berlangsung sejak 1970-an.”

Omar tersenyum dan mengerti.

“Sejak China menyigi gunung-gunung batu untuk membuat Karakoram.”

Meski Omar tahu kalau Karakoram alias jalan raya paling berbahaya di dunia karena “diapit” gunung batu dan jurang yang melandai ke Sungai Indus, informasi barusan membuatnya makin yakin kalau sengketa Kashmir masih jauh dari reda karena Amerika masih mesra dengan India dan Pakistan punya utang budi dengan Tiongkok.

“Dan listrik pun menjadi barang mewah di rumah, sekaligus menjadi incaran di bus dan kereta api.”

Ya, belum pernah Omar saksikan para penumpang yang sibuk memasukkan deterjen dan pakaian kotor ke dalam mesin cuci yang menyala di dalam bus;  seorang gadis menaruh papan setrikaan di atas pahanya dan paha remaja laki-laki di sampingnya (sepertinya mereka bersaudara, atau bertetangga—Omar tak mau bertanya) dan menggosok baju-baju yang dikeluarkan dari tas kembung di bawah bangku. Saudara-atau-tetangga di sebelahnya itu sigap melipat pakaian-pakaian yang sudah disetrika itu; atau … seorang remaja laki-laki menekuri laptopnya dengan gerakan tangan yang lincah menarik perhatiannya. Omar mendekatinya dan mendapati aktivitas multitasking itu: mengetik dan memotong bawang—di atas talenan yang menutupi touchpad sehingga papan ketik tetap bisa digunakan—secara berganti-gantian dalam tempo yang cepat.

Bus berhenti di dekat sebuah tugu salju ketika Omar sedang berdiri di dekat bangku sopir usai mengamati keadaan. Dua perempuan seusia ibunya naik. Di mana mereka akan duduk, bertik Omar dalam hati seraya melirik bangkunya yang kosong. “Berikan saja, Mish,” teriaknya ketika kernet itu melarang salah satu dari mereka menempati bangkunya. Ya, melihat mereka, ingatan Omar langsung mengibu. Ia rindu ibu.

Belakangan ia baru mengerti. Tak mudah menjadi—dan hidup sebagai—penulis di luar negeri. Ibunya memasok biaya hidupnya lebih sepuluh tahun lamanya sebelum dua novelnya difilmkan dan diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dan diedarkan secara internasional. Belakangan, ia juga sadar kalau ia sangat manja dan egois. Dan dengan polos ia berpikir bahwa mengeluarkan sang ibu dari kungkungan rumah tangga Kiai yang selalu sukar ia pahami itu akan menganulir segala dosanya. “Ayah tirimu sangat baik, Mar,” kata Ibu beberapa bulan yang lalu. “Kemarilah. Perangai Kiai sebelas-dua belas dengan papamu.”

Omar tak mengerti, perasaan ganjil tiba-tiba menyusupinya: ia tak mengerti ibu, sekaligus sangat merindukan mendiang Papa.

Lamat-lamat lantunan merdu menabuh gendang telinga. Salah satu perempuan paruh baya itu rupanya sudah berdiri di dekatnya. Tangan kirinya berpegangan pada salah satu punggung bangku dan tangan kanannya memegang mushaf yang terbuka.

Baru saja Omar akan membuang muka setelah mata perempuan itu menangkap pandangan diam-diamnya ke Quran mungil yang sedang ia baca, perempuan itu mengejutkannya dengan sebatang tanya: “Kamu dari Indonesia?”

Meskipun aksennya terdengar lucu, tapi itu tak mengubah fakta: perempuan Pakistan itu bicara dalam bahasa Indonesia. Ia cermati lagi wajahnya. Tidak. Tidak ada Indonesia-Indonesianya. Dia adalah perpaduan antara Asia Selatan dan Rusia. Kulitnya merah dan sisa kecantikan di wajahnya masih terendus. Dia sangat Pakistan.

 “Kamu akan ke Hunza?”

Omar masih melongo.

“Kamu keluarganya Kiai?”

Omar terenyak.

“Kamu putranya Ummi Sukma?”

Omar mau mengangguk, tapi tubuhnya bagai ditotok aliran darahnya.

“Tidak mungkin kamu putranya Ummi Maryam,” ia menjawab sendiri keraguannya. “Anak dari si istri pertama itu semuanya perempuan.”

Tentu saja perempuan itu benar. Meskipun Omar belum pernah bertemu dengan istri pertama ayah tirinya, tapi … kata-katanya barusan membuatnya makin memikirkan sang ibu. Oh, di hadapan istri tua, tentu Ibu hanyalah orang baru di tengah kedamaian dan kenyamanannya. Oh, Ibu ….

“Aku yang mengurusi Kiai sepuluh tahun ini.”

Perasan Omar mulai tak enak.

“Aku pelayan di Old Hunza Inn.”

Omar tiba-tiba memikirkan hal yang lain ….

“Buang pikiran kotormu, Anak Muda!” hardiknya

Omar terdiam. Oh, bagaimana mungkin ia bisa membaca pikiranku?

“Kabar kedatanganmu santer di sini,” katanya pelan.

Bagaimana bisa? Tak satu pun yang kuberitahu tentang kepergian ini. Termasuk keluargaku di Indonesia. Bagaimana bisa?

Kiai dan kedua istrinya hidup damai di sini. Sebagaimana ibadah, mereka menjalaninya dengan khusyuk.

Omar memandangnya lekat. Mencari kejujuran di matanya. Sejatinya ia membenci kata-kata perempuan itu.

“Mulanya,” lanjutnya, “sebagaimana dua ratu dalam satu rumah, persaingan itu kentara. Tapi ….”

Tapi apa?—desak Oma dalam hati.

“Aku ingin menanyakanmu satu hal.”

Baik.

“Apakah Kiai sosok yang tercela di matamu?”

Omar tidak bisa menjawab. Ia tidak tahu. Ia bahkan belum pernah bertemu.

“Kalau belum tahu apa-apa,” katanya seperti pembukaan sebuah saran, “harusnya kau cari tahu selama ini karena … bagaimanapun kau anaknya. Meskipun anak tiri. Kalau kau tak punya bekal pengetahuan tentang ayah tirimu atau bahkan Ummi Maryam, buat apa kau capek-capek ke sini?”

Sungguh sebuah pukulan. “Aku tidak percaya Ibu hidup bahagia.”

Perempuan itu tersenyum.

“Kau membelokkan urusan,” katanya tegas. “Aku bertanya tentang ayah tirimu, bukan ibumu.”

“Aku tidak ada urusan dengannya.”

“Kenapa baru sekarang?”

Omar diam.

“Setelah uangnya dipakai untuk menyekolahkan dan memenuhi segala keperluanmu di luar negeri sana, kau tak mau tahu tentang ayah tirimu lagi. Begitu? Penulis macam apa kamu?”

Bibir Omar kelu. Oh, aku seburuk itukah?

“Yang harus kausadari adalah kau bukan hanya berurusan dengan ibumu,” tegasnya, “tapi juga suaminya.”

Aku ….

“Kiai bukan penculik, tapi suami sah atasnya.”

Omar meneguk liur.

“Ia menyayangi ibumu dan mengurusi segala kebutuhanmu.”

Omar tidak menyangka akan diserang sebertubi-tubi itu.

“Jadi …,” perempuan itu seolah hendak menyimpulkan, “tulislah kehidupan keluargamu selama residensimu di sini.”

Oh, siapakah kau ini? Bagaimana kau tahu semua tentangku.

“Tulislah dengan jujur agar Dammahum dan orang-orangnya tahu bahwa ….”

Omar mendongak. Menunggu lanjutan kalimat yang, ia yakin, sengaja perempuan itu gantungkan.

“Membuang Kiai ke Pakistan adalah keputusan yang salah.”

Oh.

“Kiai masih bernapas, masih hidup bahagia dengan kedua istrinya, masih menulis puisi, masih salat berjemaah di masjid—bahkan sering menjadi imam di masjid sini, dan masih mengirimi biaya logistik untuk pesantrennya di Indonesia, masih menyantuni anak-anak yatim dan bersedekah di masjid-masjid tiap Jumat.”

Omar tiba-tiba merasa sangat bahagia.

“Sudah sampai,” bahu Omar ditepuk dua kali.

Ia menoleh dan mengerjap-ngerjapkan mata.

“Cepat turun!” teriak Hamish di pinggir pintu belakang. “Sejak dari Chilas tadi kamu satu-satunya penumpang kami.”

“Chilas?”

“Dua jam dari sini.”

Lha, perempuan tadi?

Hamish mengerutkan dahi. “Ayo turun!” teriakannya makin keras.

Omar melompat karena sopir bus itu sudah menekan gas ketika ia baru bergerak mendekati pintu.

Di hadapannya, pepohonan foliaj memutih di kejauhan. Di hadapannya, sebuah gapura bertuliskan Old Hunza Inn yang atapnya tertutup salju bagai menatapnya. Pohon-pohon berkanopi salju menyambut langkah Omar menuju bangunan utama vila.

Pintu terbuka. Seorang laki-laki bertongkat berdiri agak membungkuk. “Omar? Omar Saif?”

Entah, ia haqqul yaqin saja kalau pemilik suara serak itu adalah ayah tirinya.

“Kau pasti kedingingan, Nak,” laki-laki 77 tahun itu merentangkan tangannya.

Amarah Omar menyalju sudah. Beku dan dingin serta-merta. Omar membenci perasaannya, tapi ia tak kuasa menahan langkahnya menyongsong Kiai. Di balik punggung laki-laki yang selama ini tak pernah ia anggap itu, matanya hangat dan pipinya basah. Dua puluh meter di hadapannya, di balik dinding sebuah ruangan, Ummi Sukma menyeka air matanya. Salju turun di Hunza. Membekukan segala. Sementara.

Benny Arnas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *