Tan Ramadan
AKU kehilangan kata-kata ketika Tan mengatakannya untuk yang ketiga kali. “Mainlah ke rumah bakda tarawih,” ia mencangking tas punggungnya dari meja kecil di samping dipanku. “Aku tunggu,” tegasnya sambil berjalan ke pintu tanpa menoleh.
Ingin sekali aku menganggap semua yang ia ceritakan hampir satu jam di kamar hotelku barusan adalah imajinasi semata. Namun, ketika kubuka pintu dan menoleh ke lorong lantai tiga ini, punggung laki-laki 35 tahun itu masih jelas tertangkap pandang.
Aku menutup pintu dengan debar yang sukar kugambarkan. Sungguh aku mengutuk kenyinyiranku. “Hei, kenapa nggak nyerpen dan nulis puisi di Tempo lagi?” Aku membenci pertanyaan yang bagai terprogram keluar begitu saja tiap kali kami bertemu atau berkomunikasi via WhatsApp.
“Kamu beruntung,” katanya ketika kuceritakan betapa Sika bukan saja menjadi istri yang baik, melainkan juga superpengertian sehingga aku bisa berkarya dengan leluasa dan gembira. “Tidak heran kamu sangat produktif dan bahagia.”
Aku diam. Aku penulis. Tan penulis. Aku menangkap kegetiran dalam pujiannya, sebagaimana ia dengan sadar menyampaikan sebuah metaforisme. Dia mungkin menyesal, sebagaimana aku yang, lagi-lagi, mengutuk kelancangan.
“Tiap cerpen dan puisiku ia curigai sebagai kisah nyata yang ditulis ulang,” adunya. “Seakan-akan skena romantis dalam fiksiku adalah wujud kekecewaanku kepadanya yang memang kesulitan menyalakan kehangatan dalam hubungan kami hingga … tahun ke-9 pernikahan ini.”
“Besok-besok Uda tidak akan sekadar menulis, Uda akan meminta lebih,” Tan menirukan kekhawatiran istrinya. “Uda akan mencari perempuan lain yang bisa Uda berikan bunga mawar atau Uda kecup keningnya dengan nafsu. Na’uzubillah,” lanjutnya sambil menggelengkan kepala, matanya redup.
Oh.
“Puisi-puisiku, Venn,” Tan sengaja membuat jeda, “adalah kemubaziran alias buah pikiran setan yang berlindung atas nama sastra,” kata Tan bagai menegaskan.
“Tan?” suaraku tercekat.
“Ini bukan fiksi, Venn,” suaranya menjauh.
Bisa kurasakan, sesak perasaannya kala mengatakan kalimat barusan.
“Itulah kehidupan Tanmido Malaiu, pengarang yang menghilang dari dunia sastra lima tahun belakangan.”
“Maafkan aku,” aku mencari-cari wajahnya yang menatap kosong ke arah pantai di seberang hotel. “Aku tidak tahu, Tan, kalau …”
“Mungkin memang sudah saatnya aku bercerita, Venn.”
Aku menunggu.
“Terima kasih sudah mendengarkan.”
“Aku tidak akan menyinyirimu lagi …”
“Kamu tidak perlu minta maaf sebagaimana aku yang seharusnya tidak menjadi orang dungu yang merelakan duniaku yang penuh kejutan direnggut oleh ketakpandaianku memilih …”
“Kamu tak perlu menyesal, Tan,” aku mencoba menguatkannya, meski aku tahu kalau kata-kataku terdengar garing dan basi. “Kamu telah memilih,” aku sedang memikirkan diksi yang tak menyinggungnya, “dan aku sangat iri kepadamu yang akhirnya lebih memilih keluarga daripada menulis. Kamu tidak egois. Aku salut. Kalau berada di posisi kamu, aku belum tentu bisa tangguh.”
Tan tertawa. Menggelengkan kepala. Mengejek diri sendiri.
“Kamu masih mengaji?” Oh. Tololnya. Maksud hati mengubah topik, tapi aku malah melahirkan polemik baru.
Tan diam beberapa jenak lalu mengangguk. “Meski lebih banyak bolosnya.”
Aku tertawa. “Kita sama.”
“Nggak,” katamu cepat.
“Sama, Tan!”
“Jangan bohong!”
“Hei!”
“Aku tak perlu dihibur, tak perlu dikasihani, Venn,” suaranya menukik.
“Kamu kenapa?”
“Jelas kamu tahu aku tidak baik-baik saja!”
Aku terenyak. Maafkan aku, Tan. Bahkan berpura-pura pun aku gagal.
“Bahkan berpura-pura pun aku gagal.”
Apa? Bagaimana ia mencuri gerutuanku?
“Tidak ada lagu, selain nasyid. Tidak ada film, kecuali Serial Omar. Fiksi adalah kesia-siaan.”
Ah, cukup, Tan!
“Sembilan tahun lalu,” suaranya mengambang, “aku hanyalah guru honorer di sekolah Islam di antara para guru dan staf yang terbiasa dengan aktivitas tarbiyah.”
Aku memilih diam, menyimak.
“Aku pun melebur. Yaaa … aku mencoba menunjukkan bahwa aku bisa membawa diri.”
Aku bisa merasakannya. Tensi cerita Tan tampaknya akan meningkat dan … ach.
“Sebagai satu-satunya guru yang belum menikah, pertanyaan dan candaan memuakkan tentang kehidupan berumah tangga terus merundungku. Tololnya, aku menganggap: menerima gadis pilihan guru ngajiku adalah sebuah solusi untuk keluar dari ketidaknyamanan yang berkepanjangan itu.”
“Kamu tidak kenal istrimu? Kamu tidak ta’aruf? Kamu tidak minta waktu?”
Tan menggeleng. “Aku tertidur, lalu mendapati diriku terjaga dalam keadaan sudah menikah.”
Sudah lebih empat kali ia mengatakan kalimat itu sore ini. Kini aku paham bahwa ia sedang tidak bermain-main dengan metafora.
“Lalu penyesuaian demi penyesuaian terjadi,” suaranya bergetar. “Pada bulan ketiga, istriku hamil. Sebulan berikutnya ia menyiksaku dengan tuntutan dan tuduhan bahwa aku orang aneh yang suka menenggelamkan diri dalam kemubaziran dan ke-syubhat-an.”
Aku refleks beristighfar.
“Bulan kelima ia minta cerai. Aku mengalah dan berjanji tidak akan menulis fiksi dan puisi. Aku membuang buku-buku kesayanganku.”
“Dan kamu masih melakukannya diam-diam?” selidikku.
“Dan beberapa kali ketahuan.”
“Dan kamu membujuknya lagi.”
“Dan aku lelah.”
“Kamu tangguh, Tan.”
“Tahun keenam, aku menyilakannya menggugatku ke Pengadilan.”
“Tapi nyatanya hari ini kalian masih bersama.”
“Dia tidak pernah jadi menggugatku.”
“Dia pasti memikirkan anak-anak.”
“Aku lebih dulu memikirkannya kalau soal itu,” suaranya bergetar, “hingga kemudian aku menyerah di tahun keenam.”
“Jadi …” Entah, aku tak tahu, apa yang sebenarnya ingin kukatakan.
“Sejujurnya, lima tahun belakangan, aku makin rajin mengaji, makin rajin salat, dan melakukan ibadah lainnya.”
“Dengan harapan semuanya membaik?” Ah, pertanyaan macam apa ini?!
“Aku pikir, kekacauan ini adalah buah dari kesetengah-setengahanku beribadah selama ini. Aku tidak total memantaskan diri menjadi ikhwah ideal sebagaimana ia adalah ukhti yang salihah.”
“Kamu hanif, Tan.”
“Standarnya bukan itu lagi, Venn,” matanya memerah.
Aku tahu.
“Melihatmu memberikan lokakarya tadi, hatiku meringis,” ia menyeka air matanya.
Aku juga tahu.
“Energi positifmu dalam berbagi. Produktivitas berkaryamu. Kesupelanmu kepada para peserta. Dan atmosfer belajar yang kasual tadi adalah tamparan keras untuk penulis pengecut sepertiku.”
“Kamu ayah yang hebat untuk anak-anakmu.”
“Itu yang tersisa kini, Venn.”
“Kamu akan mencukupkan diri dengan itu?”
Tan diam.
Aku diam.
Hening.
Hening sekali.
“Ingat, Ven! “ia memilih memecahkan kelengangan. “Habis tarawih aku tunggu.”
***
Tan mengenakan sarung dan kemeja koko cokelat ketika membuka pintu dan menyilakanku masuk. Tampaknya ia belum sempat berganti pakaian sepulang tarawih ketika aku datang. Atau … aku datang terlalu cepat?
“Di teras saja,” aku menundukkan kepala sedikit. Bukan kepadanya, tapi kepada sosok berjalan mendekat dari belakangnya.
“Ini Venn yang …” perempuan itu seperti sengaja menggantungkan kata-katanya. Anehnya, Tan malah masuk ke dalam, seperti sengaja meninggalkan kami berdua.
“Saya temannya Tan, Mbak,” kataku, canggung. Aku bingung. Siapa perempuan ini. Ibu atau kakaknya Tan-kah? “Empat hari yang lalu saya. baru tiba dari Lubuklinggau,” aku mencoba tersenyum, meski aku merasa ia sedang melihatku menyeringai. “Kantor Tan mengundang saya untuk memberi lokakarya menulis catatan perjalanan.” Ah, kenapa aku sekaku ini?
“Penulis film …?”
“Oh, bukan, Mbak,” sanggahku cepat. Aku tahu, pasti yang ia maksudkan adalah Hanna, film layar lebar yang sedang tayang di bioskop, yang merupakan alih wahana atas novel kesembilanku itu. “Saya penulis novelnya saja, Mbak,” lanjutku. “Saya bukan penulis skenarionya.”
“Tapi kata Uda, kamu …”
Aku menggeleng. Aku kenal Tan. Dia sangat teliti. Tak mungkin ia memberikan informasi yang salah. Istrinya pasti keliru menyimpulkan.
“Kenapa hanya menggeleng?”
Oh, ada apa ini?
“Kamu masih terkejut dengan pertemuan pertamamu dengan istri Tan?”
Perasaanku mulai tak enak.
“Kamu syok mendapati seorang perempuan 50 tahun jadi istrinya, ‘kan?”
“Oh, tidak, Mbak,” sanggahku cepat. Walau, sejujurnya, tuduhannya tidak sepenuhnya salah.
“Aku hampir mati melahirkan anak ketika usiaku 44.”
Lalu, apa hubungannya? Oh, Tan. Di mana kau.
“Bioskop adalah sarangnya setan. Tempat film-film Amerika yang tidak peduli moral diputar. Tempat orang-orang pacaran di bawah kegelapan. Lalu katanya filmmu yang ada kaitannya dengan Palestina itu juga diputar di sana. Di mana kira-kira nalarnya?”
“Sekali lagi, Mbak,” aku kembali membungkuk. Aku tak ingin keadaan makin kacau. Aku tak mampu memahami pemikiran dan percakapannya yang semaunya saja melompat ke mana-mana. “Saya tidak terlibat sedikit pun dengan urusan produksi filmnya. Saya …”
“Tapi kamu penulisnya? Venn Nasution, ‘kan?”
Oh. Lalu?
“Kamu menyumbang dosa dengan tulisanmu yang menjual kebohongan. Uda juga sebelas-dua belas denganmu!”
“Maaf kalau saya bertamu kemalaman, Mbak.”
“Eh kenapa masih berdiri,,” Tan muncul. Ia menoleh ke istrinya dengan air muka masam. “Dipersilakanlah tamu kita duduk dulu.”
Aku bergeming.
Tan duduk. Dan menunjuk bangku kosong di samping meja mungil yang memisahkan kami di teras itu. “Luangkan waktumu buat membaca draf novelku ini, ya?” Ia menyodorkan setumpuk kertas kepadaku.
“Uda?!” Istrinya berkacak pinggang ke arah laki-laki yang 14 tahun lebih muda darinya itu. Sementara Tan yang duduk memunggunginya bagai sengaja membatu. “Bukannya Uda berjanji kalau …”
“Tidak harus sekarang, Venn,” suara Tan meninggi sehingga kata-kata istrinya menyayup di telingaku. “Boleh kamu bawa ke hotel kok. Aku menunggu masukanmu.”
“Kamu zalim, Uda!” Perempuan itu masuk ke dalam dan membanting pintu hingga gelegarnya membuatku menyipitkan mata.
“Kenapa kamu melakukan ini, Tan?”
Tan diam.
Aku pamit.
Tan menggamit bahuku sehingga kami berpelukan cukup lama. Punggungku basah oleh air asin dari matanya ketika kami merenggangkan rangkulan beberapa saat kemudian. “Aku tidak mungkin meninggalkan menulis, Venn,” suaranya serak.
Aku menghela napas.
“Bukan karena kegembiraan yang disebabkan olehnya.” Ah, ia mengutip alasanku masih berkarya hingga hari ini, “melainkan karena kalam adalah pena pertama yang Ia turunkan,” Tan menunjuk langit.
Aku ingin meminta penjelasan, tapi ia kadung menutup pagar. Di ujung jalan, aku menoleh ke belakang. Api besar berkibar di atap rumah. Tan, dalam keadaan basah kuyup, sibuk menyemprotkan air dari selang kecil di tangannya.
Toa masjid menyiarkan gremengan jemaah tadarusan.
Aku mendongak ke angkasa. Langit menjelma jadi tumpahan tinta pena. Tak ada bintang. Tak ada bulan. Tak ada Ramadan.