Tak Ada Asma Nadia di Karimata
KARIMATA adalah satu dari 108 pulau yang berada dalam gugusan pulau yang bernama Kepulauan Karimata. Untuk mencapainya, Anda bisa menumpang kapal nelayan dari Sukadana dan Ketapang (keduanya berada di Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat) atau pelabuhan Belitung. Sekali lagi: menumpang kapal nelayan.
Berapa ongkos yang diperlukan untuk tiba di Karimata? Dari pelabuhan-pelabuhan di Kayong Utara dan Belitung, Anda tidak perlu merogoh kocek buat ongkos. Paling, siapkan bekal makan di jalan karena perjalanan tanpa transit memakan waktu di atas 12 jam dan … uang rokok buat nelayan. Nelayan-nelayan penangkap ikan cumi itu tidak menganggap kehadiran orang baru sebagai beban, apalagi pengganggu perjalanan mereka, jadi … tinggal kita membawa diri saja.
Karena akses hanya-kapal-nelayan itulah, Karimata populer bagi nelayan, tapi tidak untuk orang-orang awam di luar kepulauan itu.
Pulau ini, hingga tiga tahun lalu, Karimata adalah pulau yang gelap. Anda bayangkanlah, pada tahun 2018, ketika kita—tak terkecuali remaja dan anak-anak—sibuk berselancar di media sosial, warga Karimata sudah tahu kalau malam tiba adalah saatnya menyalakan pelita, api yang muncul dari ujung sumbu yang dicelupkan ke dalam botol beling yang diisi minyak tanah.
Mulanya, saya heran kenapa mereka tidak mengenal Asma Nadia atau Tere Liye, dua penulis best-seller yang buku-bukunya juga banyak difilmkan. Mulanya, saya juga heran dengan gelengan kepala mereka ketika saya menyebutkan film Ayat-ayat Cinta, Habibie-Ainun, atau film-film Indonesia laris lainnya.
Saya terdiam cukup lama di tengah kelas ketika mengetahui kenyataan itu. Benar kata Ale di kapal. Kali ini, saya berhadapan dengan ketakmungkinan. Hanya guru yang tangguh yang bisa membalikkan keadaan.
“Kamu bukan penulis 27 buku di sini,” katanya tanpa tedeng aling-aling. “Kamu guru. Guru menulis! Jadi, jangan pernah menganggap kita akan jadi pusat perhatian di kelas karena kekaguman pada CV atau prestasimu. Jangan pernah!”
Saya mengangguk-angguk.
“Seguru apa dirimu akan diuji di sini.”
Baik.
“Aku sudah meminta mereka mengumpulkan segala cerita. Kau yang akan membantu mereka menuliskannya.”
“Berapa murid saya, Le?”
“30!”
“30?”
“Dua puluh satu anak-anak, 9 remaja.”
“Kenapa anak-anak? Tidak ada di pembicaraan awal.”
“Guru kok milih-milih murid.”
“Tapi, Le.”
“Kalau kamu menganggap pemuda dan remaja yang tidak suka membaca—dan itulah realitas kesembilan remaja—itu sedang mimpi jadi penulis, harapan kita ada pada anak-anak, Benn.”
Beuh! Lihai sekali laki-laki ini mendayagunakan kata-kata saya tempo hari.
“Anak-anak ini, sudah setahun ini, aku ajarkan baca-tulis. Aku menyebut homestay ini sebagai sekolah alam. Semua boleh belajar tanpa harus meninggalkan sekolah formal. Aku bahkan juga memberikan mereka seragam dan peralatan belajar secara gratis.”
“Semua tentu menyukaimu, Le.”
“Guru-guru sekolah formal dan pihak BKSDA kebakaran jenggot.”
“Kenapa?”
“Guru menganggap aku mengajarkan sesuatu yang asal-asalan. Tidak berkurikulum. Tidak ada landasan keilmuannya.”
Saya paham sekarang.
“Kan taik!” maki Ale. “Kalau memang mereka mengerjakan tugasnya dengan baik, kenapa masih banyak anak-anak yang butah huruf?”
Aku belum berani menanggapi.
“Kamu kalau ke Jakarta lewat Belitung ….”
“Belitung,” jawabnya cepat.
“Saya ingin pulang lewat Belitung juga.”
“Terserah,” katanya.
Ah, lagaknya alangkah slengek’annya.
“Yang penting anak-anak bisa nulis.”
Hmm.
“Yang penting tulisan mereka jadi.”
“Jadi apa?”
“Jadi bukulah.”
“Kamu ada duit!”
Ale menggeleng. “Kamu uruslah.”
Saya lihat nanti, batin saya.
“Bukunya harus terbit!”
Alamakjang! Makin menjadi-jadi.
“Kapan pertemuan kedua bisa dimulai lagi?”
“Sekarang pun bisa,” tantang saya.
Ale nyengir. “Jangan bawa-bawa Asma Nadia!”
“Sekadar referensi, Le!”
“Bawa aja harga cumi atau musim Angin Selatan!”
Bah!
***