Pose yang Pecah, Perpisahan yang Patah
SAYA masih terperangah dengan belasan halaman tulisan tangan di buku tulis yang mereka tulis dalam keadaan begadang hingga dini hari dengan hanya ditemani pelita ketika Sela, bagai mewakili yang lain, bertanya, “Apakah kami boleh menulis cerita yang lain lagi?” Masya Allah!
Sebagaimana Sela, yang lain memandang saya dengan tatapan menunggu. Saya diam, bukan memikirkan tema apa yang harus mereka tulis, melainkan merenungi beberapa hal:
Pertama, alangkah menggebu-gebunya semangat belajar anak-anak di pulau yang baru saja keluar dari kegelapan (baca: dialiri listrik) dua tahun ini.
Kedua, apa yang sebenarnya dilakukan orang-orang—termasuk peserta kelas menulis saya di kota sana—dengen berbagai kemudahan yang melimpahinya—mobilitas, listrik, dan sinyal menyala selama 24 jam—itu?
Kalau atas dasar pekerjaan, Dul rela demi tidak melaut yang bisa memberinya ratusan ribu hingga jutaan rupiah per malam; Risna rela meninggalkan warung depan rumah yang memberinya penghasilan rutin dari menjual paket internet satelit; Sela selalu berhadapan dengan sang bapak yang keras kepala karena menganggap intensitasnya aktif di kegiatan-kegiatan yang dibuat Ale akan membuatnya makin jauh dari urusan menikah.
Setali tiga uang dengan Sela, tembok besar bagi Ambai adalah ayahnya yang tak terlalu menyukai aktivitas Ale yang dianggap tidak memberi efek ekonomi; Sri pun begitu—ia harus menghadapi kekolotan sang Ibu yang memberinya garis tegas bahwa ia harus menetap di Karimata sebab kakaknya yang diberi keluasan belajar justru sulit sekali kembali ke kampung halaman. Sementara Karin, meskipun mendapatkan dukungan dari orangtuanya untuk berkegiatan, ia tinggal di Sungai Abun alias paling jauh dibanding yang lain sehingga ia harus menempuh 6 kilometer bersepeda motor dari ujung dusun.
“Apakah Bang Benn mau memeriksa premis cerita kedua kami?” tanya Risna, seolah-olah menganggap saya sudah merestui mereka menulis cerita kedua.
“Bang Benn, apakah sudah melihat bagaimana teknik membuka cerita saye? Benarkah text-intriguer-nya?”
Aduh. Mendengar anak-anak pulau fasih bicara premis dan text-intriguer sungguh sebuah “pemandangan” yang tak sempat saya bayangkan sebelumnya.
“Boleh saya menulis cerita yang lain?” tanya Dul tak sabaran.
“Menulis cerite-cerite sehari bolehkah, Bang Benn?”
“Yaaa menulis bagaimana orangtua tak setuju Sela berkegiatan di sini?” Sela membuatnya lebih terang.
“Atau,” Ale nyeletuk, “misalnya kisah cinta segitiga antara Dul, Sela, Ambai.”
Lalu kami tertawa. Ketiga pemuda-pemudi yang Ale sebutkan namanya barusan tak bisa menyembunyikan rona merah yang serta-merta menyeruak dari wajah.
Akhirnya kami pun mematangkan premis tulisan kedua masing-masing. Seperti permintaan mereka, tidak ada kewajiban untuk menampilkan cerita-cerita rakyat lagi, meski saya tidak melarang seandainya mereka tetap ingin menulisnya. Oleh karena itu pula, rencana memberikan materi lain yang sifatnya pengayaan pun saya tunda dulu. Mereka tidak akan “makan sastra” dan peduli dengan cerpen koran, batin saya.
Saya pun menyilakan mereka menulis di mana saja. Mereka berpencar, memilih tempat yang paling nyaman bagi mereka untuk mengisi buku tulis mereka dengan cerita-cerita yang sudah saya acc premisnya (homestay kami memiliki sebuah saung besar dan empat saung kecil yang kesemuanya langsung menghadap laut lepas).
Baru saja saya berkeliling memastikan mereka menulis paragraf pertama dengan lancar, suara anak-anak yang biasa belajar mengaji dengan Mas Mugie sayup-sayup terdengar. Mereka tampaknya datang dalam rombongan.
“Bukankah Mugie nyumi, Le?” tanya saya kepada Ale yang sibuk mengerjarkan PR plot untuk bakal novelnya di saung di depan homestay.
“Mereka kusuruh datang untuk masak nasi, buat bakwan, dan buat es kopyor. Ada beberapa kelapa muda di dapur tuh!” Ale nyengir. “Setelah itu, saya akan ajak mereka belajar sambil bermain di pantai.”
Wuuihh!
Saya sebenarnya mau mendebatnya. Tapi, ingatan saya tentang jawaban-jawaban anak-anak perempuan berusia 6 tahun yang semuanya mengacungkan tangan ketika saya bertanya siapa yang sudah bisa menanak nasi pun mengurungkan niat itu.
“Pakai magic com?” konfirmasi saya saat itu.
Semua menggeleng.
Ada yang berteriak “pake periuk” atau “mengukus nasi di panci”.
Deg!
Saat itu, saya teringat Dinda (9) dan Dkayla (8), kedua putri saya, yang ketika mereka sudah bisa mencuci piring sendiri saja, istri saya senangnya minta ampun. Belakangan, mereka juga sudah berbagi tugas untuk mengumpulkan sampah dan menyapu rumah tiap sore atau akhir pekan. Tapi, masak nasi di periuk atau mengukusnya di panci, saya yakin kedua putri saya belum bisa.
“Numis kangkung juga bisa,” timpal anak 6 tahun yang lain.
“Masak sambal cumi juga.”
“Buat ikan krisik kuah kuning.”
Wah, sungguh anak-anak yang mandiri.
Sedangkan anak laki-laki seusia mereka, saya tahu lebih awal, kalau mereka sudah bisa ke laut, bergadang di atas kapal semalaman untuk memastikan kail mereka di makan cumi. Jangan tanya kemampuan mereka berenang dan menyelam. Kita, orang-orang yang biasa mandi air hangat atau diguyut shower, akan malu sendiri.
Satu jam sudah pemuda dan remaja itu menulis.
Saya sedang mengirimkan foto-foto tulisan pertama mereka ke editor Benny Institute sebagai back up, ketika rombongan anak-anak datang dengan dua nampan bakwan toping teri yang sudah dibelah dan seceret besar es kopyor yang segarnya minta ampun. Saya tak mau menunda menjadi orang pertama yang mencoba masakan anak-anak itu.
Masya Allah, bakwannya enak dan … es kopyornya apalagi!
Anda bayangkan, di tengah teriknya hari, kami menulis di saung yang menghadap laut Karimata yang toska ditemani bakwan hangat dan es kopyor yang segarnya minta ampun.
Ya Allah. Nikmat mana lagi yang nak kami dustakan?
“Hei, ayo gabung!” teriak Ale dari belakang saya. “Keburu diabisin guru kalian yang nggak makan tiga hari nih!”
Anak-anak tertawa. Pemuda dan remaja itu juga tertawa, tapi tak satu pun yang bergerak menuju saung. Padahal, saya yakin mereka pun haus dan ingin makan bakwan.
“Udah, antar sana!” kata Ale kepada anak-anak sambil menyerahkan nampan bakwan dan es kopyor yang sudah dituang ke gelas.
“Mereka malu, Benn,” katanya kemudian. “Karena mereka sedang membangun legacy untuk Karimata, kita layanilah dulu hari ini,” ia mengambil segeles es kopyor dan menenggaknya hingga setengah.
“Ini mana cabenya?” Tiba-tiba saya baru menyadari kalau sedari tadi saya makan bakwan tanpa cabe rawit saking senangnya dengan menu siang itu.
“Itu apa!” Ale menunjuk pekarangan homestay yang dipenuhi cabe rawit yang semuanya sedang rimbun berbuah.
Ah!
Dari rencana kami berakhir sebelum Asar, kelas itu molor hingga hampir setengah enam. Para peserta menolak pulang sesuai jadwal karena mereka tak ingin aktivitas menulis hingga dini hari menyulut keributan.
“Jadi, Bang Benn akan pulang besok?” tanya Sela. Nadanya datar, tapi saya menangkap kelengangan di sana.
“Belum tahu,” saya berbohong. Saya menghibur mereka, sekaligus menghibur diri sendiri.
Sore itu, seakan-akan tahu bahwa kami akan berpisah, mereka meminta berfoto bersama saya.
“Berdua saja,” pinta Sri, “bukan ramai-ramai.”
Dengan Sri (21)
Ale mengambil iPhone-nya dan berteriak. “Sudah, sudah,” katanya seraya bergerak ke pantai. “Jangan banyak drama, kita foto di sini,” ia menunjuk sebuah pohon bakau rimbun di tepi pantai.
Kami berjalan ke sana. Di belakang, Risna memoles ulang bibirnya dengan lipstik. Ale meminta saya dan Dul sebagai “pasangan” pertama yang berpose.
“Kalian tiru pose Benny dan Dul ya,” instruksi Ale setelah semua berkumpul.
Saya dan Dul (22)
Dengan Risna (25)
Dengan Ambai (21)
Tentu saja, kelima pemudi itu bersorak dan menjauh ketika Ale meminta mereka mempraktikkan pose Dul dan saya untuk giliran berikutnya. Lagi pula, tidak mungkin juga mereka akan menggendong saya.
Ah, sore yang pecah. Perpisahan yang … patah.
1 Comment
Masyaallah aku bisa merasakan bagaimana kehangatan kegiatan menulis di sana. Dan bagaimana rasanya Sri dan teman-teman lainnya ketika mereka tahu hari ini adalah hari terakhir kebersamaan dengan mentor (penulis) yang sungguh respek dan baik hati.
Selalu bermanfaat bang Ben. Sehat selalu.