Orang-orang Karimata di Cengkareng

 Orang-orang Karimata di Cengkareng

SATU November 2021 pukul 9.40 WIB, Lion Air dari Belitung mendarat di Cengkareng dengan air muka lega. Beberapa menit yang lalu, tak sampai dua menit setelah pengumuman bahwa sebentar lagi pesawat kami akan mendarat, terjadi turbulensi hebat yang berujung dengan turunnya pesawat secara mendadak sekitar sepuluh detik!

(Sepuluh detik di pesawat itu lama woi!)

Di kursi pelataran bandara, saya menunggu Rifqi Zarkasyih, rekan satu kampung halaman yang sukses merintis rumah produksi iklan di Jakarta Selatan, yang kemarin malam berjanji akan menjemput saya. Mendapati tak satu pun whatsApp konfirmasi saya dibacanya, saya yakin kalau menikah tak serta-merta mengubah kebiasaan lamanya: bangun siang.

Saya membuka foto-foto di Karimata dan menemukan orang-orang yang menjadi alasan kuat mengapa suatu saat nanti saya kembali.

“Tiga jam,” kata laki-laki 77 tahun itu, di pagi pertama saya di Karimata.

“Dan Datuk tidak memakai peralatan standar penyelam profesional untuk menyelam selama itu?” kejar saya.

Laki-laki yang pagi itu mengenakan topi itu membuang muka ke lautan. Ia bergeming ketika saya menawarinya kopi. Sebatang kretek yang terbakar setengah di antara bibirnya membuat bawah saung itu sesekali berkabut oleh asap tembakau.

Lalu ia bercerita panjang lebar tentang daun-daunan yang menjadi teman orang-orang Karimata dalam menanggulangi luka, sakit kepala, hingga penciuman atau indera perasa yang tumpul. Ia tertawa ketika saya menyebut dua terakhir itu sebagai gejala korona.

“Bagi kami sudah biasa, rebus saja daun-daun itu,” ia menunjuk sebuah pohon di dekat mangrove yang rimbun di arah timur. “Minum airnya, sehari tiga kali, yaaa hari ketiga bereslah.”

“Kalau ada apa-apa karena menyelam, Datuk juga mengandalkan daun-daunan untuk pemulihan?”

Ia mengangguk lalu tertawa, “Datuk juga menyelam tidak untuk cari apa-apa,” katanya santai.

Tentu saja kening saya berkerut.

 “Biasanya kelelahan di kapal, mau tidur tenang,” katanya santai, tapi justru perasaan saya makin tak keruan. “Jadi turun ke batu karang, memejamkan mata sebentar, yaaa paling tiga jam.”

Ale tertawa terbahak-bahak melihat air muka saya yang bengong.

“Ini,” Datuk menyerahkan sehelai daun berwarna hijau muda, “bagus untuk menghilangkan gatal-gatal.” Rupanya ia menangkap keluhan selintas-lalu saya tentang alergi makanan laut yang sedang mendera saya.

Lalu saya teringat dengan daun sungkai yang tumbuh rimbun di kebun di samping pekarangan rumah saya di Lubuklinggau. Rutin minum rebusan air itu membuat hidung dan lidah saya berfungsi sebagaimana biasa di hari ke-4.

“Kamu harus ketemu dengan Nek,” kata Muaweng ketika saya bertanya tentang kecakapan nelayan membaca angin dan cuaca. Laki-laki yang biasa dipanggil—termasuk juga oleh saya—Bang Ujang itu menceritakan tentang ibu mertuanya yang memiliki kemampuan membaca tanda.

“Pernah,” kali ini Ale menimpali, “rombongan Bupati yang akan berlayar ke Karimata batal karena BMKG memprediksi akan ada badai hebat.”

Tentu saja saya penasaran.

“Nek justru beranggapan sebaliknya,” kata Ale kemudian.

“Memang ada hujan angin, tapi yaaa hujan angin biasa,” Bang Ujang melanjutkan. “Tidak sampai jadi badai atau puting beliung yang bisa membelah atau membalikkan kapal. Tidak.”

“Kami menyampaikan itu ke rombongan Bupati, tapi … rupanya mereka sudah punya rukun iman yang ke-6: percaya kepada ramalan cuaca pemerintah.”

Saya dan Bang Ujang tertawa.

“Benar saja!” kata Ale bersemangat. “Setelah Magrib, hujan berhenti. Langit cerah. Laut tak beriak seolah-olah musim tenggiri. Dan aku puas mengata-ngatai rombongan Bupati yang penakut itu.”

Ah, Ale, sebagaimana tebakanku, selalu begitu.

“Bupati itu senang ngapal,” timpal Bang Ujang. “Tapi… mungkin karena rombongannya berhasil meyakinkannya, yaaa begitulah. Mungkin,” katanya sambil melirik ke Ale, “mereka perlu mendengar cerita Beruk berkelahi dengan Ikan Tenggiri.”

Mereka tertawa, tentu saja saya tidak.

Beberapa hari kemudian, saya berkesempatan makan malam di rumah Nek dan dari cerita-ceritanya saya tahu kalau ia bukan orang sembarangan. Saya juga akhirnya tahu kalau Nek adalah mertuanya Bang Ujang, penduduk yang “percaya sekali” bahwa Ale akan membawa masa depan bagi generasi muda Karimata. “Dari puluhan orang yang membangun homestay Kapten,” ceritanya, “akulah yang bertahan sampai akhir,” ia mengalihkan pandangan ke Ale.

Laki-laki 48 tahun itu mengangguk. “Semalam sebelum kunjungan Ustaz Abdul Somad ke sini,” kata Ale seperti melengkapi, “Muaweng seoranglah yang membereskan homestay ini agar layak huni.”

Saya juga baru tahu kalau sebelum homestay jadi, Ale diberikan tumpangan di rumah Nek tanpa ada perjanjian masa tinggal.

“Tidak lama kemudian,” kata Ale, “bergabunglah Beruk,” lanjutnya seperti mengenang.

Beruk alias Rahadi adalah salah satu karakter unik yang saya temui. Selain tak banyak omong dan, tak seperti orangtua lain, laki-laki sebaya saya itu melarang Akram, putra semata wayangnya, untuk melaut. “Sudah terlalu banyak yang melaut,” katanya. “Akram harus jadi ‘orang’,” lanjutnya yakin.

Itu juga alasan ia dengan senang hati mengantar jemput anak-anak dan remaja yang ingin belajar membaca, mengaji, dan menulis di sekolah terbuka yang Ale dirikan. Bahkan, dalam pengamatan saya, ia menjadi stand by-man alias orang yang siap sedia ketika Ale membutuhkannya: menjemput orang, menyebarkan kabar, atau menghidupkan genset.

“Panggil jak aku Roy, Kapten,” pintanya suatu hari.

Tentu saja Ale menolaknya. “Nggak cocok sama kulit!”

Ya, hampir semua penduduk Karimata, terutama laki-laki, berkulit hitam mengilap karena terlalu lama terpanggang matahari dan diusap air asin.

“Beruk jak!” tegas Ale kemudian. “Sama seperti bapaknya Eja,” Ale menyebut nama salah satu anak sebaya Akram yang dikenal dengan sebutan Buntal daripada nama aslinya.

Saya sendiri tidak ingat bagaimana ihwal nama itu. Mungkin Ale pernah memberi tahu, tapi saya lupa. Yang saya ingat, Beruk dulunya adalah bagian dari komplotan preman besar di (laut) Karimata. “Dia tidak banyak omong,” kata Ale. “Tapi itu pula yang membuatnya makin disegani.”

“Dan hanya kamu yang bisa semaunya saja minta tolong ini-itu ke Beruk?”

Ale tertawa. “Kalau saja saat itu ada kamera, mungkin sebuah film dokumenter tentang perkelahian Beruk dan Tenggiri akan membuat dunia heboh!” seru Ale.

Lalu menceritakan kronologisnya, sebagaimana yang sebelum-sebelumnya, dengan air muka bahagia:

Tenggiri itu terlalu besar sehingga tarikannya menyebabkan sampan Beruk terbalik. Tidak mau kalah, Beruk mencari si tenggiri  berbobot 50 kilogram itu dan mengajaknya berkelahi layaknya duel dua manusia.

“Beruk menang!” kata Ale. “Ia membawa tenggiri itu ke darat, menunjukkan ke orang-orang, dan menceritakan kisahnya tiap kali orang bertanya. Kepada Beruk yang tak jarang bicara, menyangsikan kata-katanya akan membuat pendengar jadi tolol bin imbisil.

Saya kembali menguras ingatan tentang orang-orang Karimata yang lain ketika ponsel berdering. Zarkasyih.

Hmm.

Setelah ia, sebagaimana dugaan saya, buru-buru menjelaskan kalau ia ketiduran dan meminta saya agar tidak berubah pikiran sebab ia ingin sekali saya bermalam di kediamannya, saya pun setuju.

“Kita akan ngobrol sama Ismail Basbeth malam ini di rumahku,” katanya, seolah-olah pertemuan dengan sutradara Mencari Hilal itu bayaran setimpal atas kelalaiannya pagi ini.

Belum dua menit saya menutup ponsel, WhatsApp dari Ale masuk. “Aku putar balik besok.” Saya menggeleng-gelengkan kepala. Meskipun bagi nelayan bolak-balik Karimata-Belitung adalah hal biasa, tapi membayangkan Ale kembali melakoni 17 jam perjalanan laut adalah urusan yang lain, perkara yang lain

Benny Arnas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *