O

 O

MENGHABISKAN 20 tahun untuk teater di Pontianak, O belajar banyak. Kesenian yang digadang-gadang kuasa melembutkan hati dan memperhalus budi pekerti hanyalah dongeng. Baru ia sadari kalau selama ini pentas-pentas yang dulunya menyalakan kebanggaan tak terlukiskan itu tak ubahnya panggung orkes atau organ tunggal dengan biduan yang melenggak-lenggok di atasnya. Begitu pun dengan teater, tak terkecuali di Pontianak. Ia hanyalah penghibur dengan nama yang ampuh membikinnya bangga: aktor.

Sesekali, ia ditahbiskan sebagai sutradara, mengurus art atau properti, penulis naskah, atau manajer panggung. Yang tak pernah ia jabani adalah menjadi produser. Apalagi produser eksekutif. Keduanya hanya untuk mereka yang, konon, memiliki pengaruh, koneksi, cuan banyak, hingga pintar melobi.

Tapi, yaaa, itu baru disadarinya kini. Ketika sakit lever yang dideritanya, membuat aktivitasnya terbatas. Tak ada teman, mitra, atau sponsor yang selama ini menjadi bagian dari karier perteaterannya. Hingga… perjumpaan tak sengaja dengan travel guide 45 tahun yang menunggu kapal cepat ke Sukadana, membuat segalanya menemukan muara.

“Lebih 70 negara kudatangi, tapi aku tidak mendapatkan apa pun selain kesepian,” katanya setelah sebuah perkenalan ala kadarnya di sebuah kedai tak jauh dari Pelabuhan Song Hie.

Setelah pesanan kopi tubruk mereka tiba, Keptan, begitu lelaki itu memperkenalkan diri, bagai mendapatkan energi bercerita yang melimpah.

“Keluargaku berantakan. Kesenanganku hanyalah sensasi baru tiap kali paspor distempel petugas imigrasi negara yang baru saja kukunjungi. Selebihnya, klien adalah raja.”

Penonton adalah raja, lirih O.

“Hari ini, aku kerap memaki diri sendiri. Bagaimana mungkin aku menghabiskan hidup hanya untuk menyenangkan orang lain? Apa bedanya aku dengan biduan saweran atau pemain teater yang umur kebanggaannya berbanding lurus dengan durasi tepuk tangan penonton!”

Deg. O mulanya merasa tersindir, sebelum kemudian pikirannya yang lebih jernih mengatakan kalau ia baru saja mendapat teman. “Kita senasib,” katanya, yakin dan dalam.

“Jangan-jangan kita sedang membutuhkan hal yang sama.”

O mengerutkan kening. “Ketenangan?” Ia mencoba menebak. Ia muak dengan istilah klise itu.

Keptan menggeleng. “Kebergunaan,” katanya yakin.

O terdiam.

“Lima belas tahun itu rasanya aku tak melakukan sesuatu yang berguna, selain menjadi budak klien! Aku sedang membangun ulang sekolah terbukaku di Karimata.”

“Jadi,” O memperhatikan ransel Keptan yang gemuk. “Kapan berangkat?” tanyanya, sedikit canggung.

“Sekarang,” ia menunjuk speedboat yang berada di dekat jenjang pelabuhan.

Sungguh O menantikan tawaran.

“Kalau mau ikut, jangan gengsi!” Keptan ternyata membaca isi kepalanya.

***

Di pagi yang merangkak naik, setelah 15 jam di atas kapal motor, mereka menyambangi sebuah rumah kayu yang cukup luas di Dusun Tanjung Ru. Rumah kayu dan halamannya itu pula yang Keptan jadikan sekolah terbuka.

“Rumah ini memang jauh dari permukiman. Tiga kilometer. Tapi… sekolah memang harus bebas dari racun. Apalagi masyarakat yang di kepalanya hanya cumi, cumi, dan cumi!”

Darinya, O jadi tahu kalau cumi Karimata dihargai hingga 40.000 per kilogram oleh para pengepul dari Belitung.

Kini, O memandang laut lepas yang pantainya hanya berjarak 50 meter dari tangga rumah. “Aku melupakan sarjana pertanianku demi teater,” katanya begitu Keptan menyodorkan segelas kopi panas. “O ya, sepanjang perjalanan dari pelabuhan tadi, baik di Dusun Padang ataupun Dusun Tanjung Ru, aku tidak menemukan pohon buah atau tanaman sayur. Apakah ….”

“Kalau kau merasa buah-buahan dan sayuran itu penting, tanamlah,” potong Keptan. “Jangan menyalahkan keadaan, apalagi menghardik orang-orang sini.”

O ingin mengatakan kalau ia tidak bermaksud menyinggung tanah kelahiran Keptan, tapi….

“Sudah 4 bulan aku di sini dan yang pertama kali kulakukan adalah hal yang kularang itu terjadi padamu saat ini: merutuki kebiasaan orang sini. Tapi, apa guna? Tidak ada. Aku akhirnya menjadikan rumahku sebagai sekolah. Anak-anak datang. Kukasih baju, tas, buku, pena, dan buku gambar. Tapi, aku tak bisa selalu melakukannya. Tabunganku menipis. Warga yang terbiasa disuapi pun jenuh. Sekolahku mulai sepi. Banyak omongan miring tentang aktivitasku, tapi… yaaa aku masa bodoh. Sekarang… aku sedang menata ulang banyak hal. Kau lihat itu, O?” Keptan menunjuk bangunan bercat putih yang lebih bagus daripada rumah kayu. “Itu mushala. Kubangun sebulan lalu. Dan itu!” ia menunjuk sebuah saung besar yang menjorok ke pantai. “Bakal perpustakaanku.”

O merasa ditampar-tampar. Ia ingat ia masih punya tabungan 1.875.000. Keesokan harinya, ia meminjam sepeda motor butut Keptan menuju menara telekomunikasi. Ia membuka aplikasi lapak daring dan menyelesaikan apa yang harus segera dibereskan.

Sembari menunggu pesanannya tiba, ia menawarkan kelas drama dan puisi ke beberapa remaja dan anak-anak. Tak banyak; dua puluh anak-anak dan sembilan remaja bergabung. Kepada mereka, ia sampaikan bahwa ia mewakafkan dirinya untuk Karimata. Jadi, apa saja yang ia lakukan, tak perlu dibayar. “Kalau bisa, Abang akan memberi apa saja yang Abang bisa dan punya,” katanya sebelum kemudian kecanggungan itu menimpanya. Bah, buat apa aku mengutarakan itu, batinnya. Kepada anak-anak bau kencur pula, sesalnya.

Dan benar saja. Keesokan harinya, yang datang hanya anak-anak. “Mereka nyumi, Om,” lapor anak-anak tentang absennya para remaja. “Kak Rina dan Umai dilarang bapaknya setelah mereka latihan teriak-teriak di kamar sepulang dari sini kemarin,” lapor seorang anak, tetangga kedua remaja putri itu. “Kata Bapak, Om O enggak ada kerjaan. Makanya ngajar orang-orang teriak,” entah laporan siapa lagi yang membikin O sakit kepala. “Sama kayak Keptan yang buat sekolah asal-asalan.”

“Tapi, kami senang main-main di sini!” teriak yang lain.

“Keptan sering kasih hadiah!” seru yang lain lagi.

Dua pekan kemudian, molor tiga hari dari prediksinya, bibit buah dan sayuran dibawa awak kapal motor dari Sukadana. Setelah memberinya uang rokok, tanpa pikir panjang, dari pagi hingga Magrib, lahan pasir yang sudah ia gemburkan sepekan belakangan ditanami bibit buah dan benih sayuran.

Kabar aktivitas O itu pun menyebar ke mana-mana. “Pulau ini dilingkari laut, O,” kata Keptan. “Jadi sekuat apa pun kita menepis omongan orang, ombak akan mengembalikannya ke Karimata,” lalu ia tertawa. “Jadi, terima saja kenyataan kalau Keptan punya teman orang gila bernama O karena nekat bertani di tepi pantai. Tak ada aktor di sini. Tak ada puisi di sini, O. Hanya cumi dan cumi!”

O tahu, Keptan sedang membakarnya. Ia tak punya cara lain selain… membuktikan!

Sejak itu, pagi hingga siang, O habiskan waktunya untuk menyiram tanaman. Sesekali, ia menyulam tunas yang mati dengan yang baru. Sesekali, ia membuat pupuk dari sisa makanan dan menguburnya di sekitar tanaman. Bakda Zuhur hingga subuh, ia menumpang kapal Blijung, satu-satunya remaja yang memberinya tumpangan nyumi. Mulanya ia melakukannya iseng saja karena Keptan tak pernah memintanya terlalu keras bekerja. “Kalau semuanya tumbuh dan berbuah, sekolah akan punya model pembelajaran yang menarik,” kata Keptan suatu hari. “Tentu saja selain menyumpal keraguan dan mulut besar orang-orang dusun! Jadi …” Ia menatap O, “Urus saja semua ini, ajari saja anak yang mau belajar. Yang malas, tinggalkan. Itu saja bagianmu. Makan-minum aku yang urus!”

Tapi, O tak enak hati. Keptan terlalu baik. Pun ketika tanaman-tanamannya menunjukkan perkembangan menggembirakan tiga bulan kemudian, ia tetap melaut walaupun musim angin barat sudah datang. Semangka yang buahnya besar-besar, pare dan labu yang sering mereka tumis, kacang panjang yang bahkan sudah bisa mereka kirim ke beberapa warga melalui anak-anak yang kebetulan main ke rumah kayu, cabai dan tomat yang rimbun buah mengalahkan jumlah daun, tetap harus ia tinggal.

“Besok akan ke Pesantren Munzakan tiga hari,” kata Keptan seraya membelah semangka di hari yang terik. “Sepulangnya, aku akan ajak lagi anak-anak ke sekolah kita. Warga juga sudah banyak yang tahu kalau kebunmu sebentar lagi panen, O. Paling, alpukat dan mangga yang tak bisa kita harapkan berbuah dalam tiga bulan.”

“O mau menitipkan sebagian hasil kebun ke sana, Bang,” katanya dengan mata menerawang ke laut lepas. “Adikku nyantri di sana. Aku tak bisa kasih apa-apa. Tapi… hasil kebun ini aku yakin akan diterima pesantren dengan tangan terbuka. Satu lagi, aku titip uang hasil nyumi juga, Bang. Sudah lama sekali adikku mau punya hape.”

Keptan mengangguk. “Aku seharian akan berada di Dusun Padang. Ada sejumlah berkas perjalanan yang akan kuurus di kantor desa. Kalau enggak ada halangan, aku akan membawa banyak orang penting Kayong ke Turki tahun ini. Yaaa, aku tak punya pilihan, O. Kita harus cari uang halal untuk membangun sekolah ini.”

Hidup yang layak dihidupi memang hidup yang diuji, Bang, batin O.

“Kau tidak nyumi, kan, siang ini, O? Aku khawatir kebunmu dihajar biawak kalau tak ada yang jaga.”

***

Hampir saja O urung melaut kalau saja Blijung yang sedang butuh banyak uang untuk kuliah di Pontianak tidak memaksanya. “Aku dah sering kasih Bang O tumpangan. Masa sekali ini aku minta tolong, Bang O perhitungan.” Nyumi memang menggoda. Dapat empat kilogram saja, hampir 200.000 akan masuk kantong. Oleh karena itu, tas pinggang yang menyimpan hasil nyumi yang jumlahnya sungguh menggembirakan itu selalu O bawa. Meski rumah kayu mereka aman, ia merasa lebih tenang dengan menyimpannya di dalam tas pemberian Keptan itu.

Tapi… malam itu jatuh di bulan Desember, waktu terbaik angin barat untuk menggila.

Kapal mereka terbelah. Hampir saja mereka digandeng Izrail ke langit sana kalau orangtua Amir dan rombongan warga yang mengetahui kedatangan badai di lokasi biasa mereka nyumi lekas menyusul begitu badai reda. Amir dan O ditemukan mengapung di atas kayu pecahan kapal dalam keadaan nyaris pingsan.

O siuman ketika Duha tergelincir. Begitu mengetahui ia terbaring di rumah Pak RT Tanjung Ru, O segera minta Keptan yang sedari malam menungguinya agar mengantarnya pulang.

“Sore kemarin rumah kayu kita ramai, O,” kata Keptan ketika sepeda motor mereka meninggalkan permukiman.

“Kenapa?”

“Ibu-ibu Tanjung Ru dan Dusun Padang panen sayuran dan buah.”

Hah? O ingin berteriak, tapi kerongkongannya tercekat.

“Kata mereka, kan kau menanamnya untuk mereka. Semua tahu kalau dua orang gila sebaya telah mewakafkan dirinya untuk pulau. Kata mereka, O baik sekali. Ibu-ibu senang. Mungkin kalau panen lagi, mereka akan datang lagi,” Keptan tertawa terbahak-bahak.

“Kenapa tak Abang larang?”

Aku masih di kantor desa ketika panen raya berlangsung. Aku pulang dan melihat beberapa ibu-ibu sedang memetik kacang panjang yang masih tersisa.

Lalu, batin O, apa arti hardikan—pendatang yang tak tahu diri, orang gila bertani di pantai, atau… pengajar teater yang salah tempat—itu?

“Nanti aku beli saja sayur dan buah di Pontianak, O. Masih segar. Kubilang saja ke Munzalan itu hasil berkebunmu di Karimata,” kata Keptan ketika sepeda motor memasuki halaman rumah kayu. “Siang ini, aku harus berangkat. Sudah telat sehari karena menungguimu siuman.”

O melompat dari motor ketika, di hadapannya kini, semua sayuran sudah dicabut dan cabai serta tomat gundul semua.

“O, jadikah kau kirim uang buat adikmu?” O terkesiap. Ia menunduk ke arah perut. Tas pinggang itu masih ada. Lembap dan… kempis. Jarak antardegup jantung O merapat serta-merta. Ia tarik ritsletingnya. Isinya raib sudah.

Benny Arnas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *