Nabi Yusuf di Kapadokia
SETIBA di Bandara Internasional Eriklet menjelang Zuhur, aku langsung menumpang taksi yang sudah Serkan pesan ke Uchisar. Lanskap cokelat muda wilayah ini membuatku tercenung cukup lama dari balik jendela. Rumah-rumah bawah tanah merupa sekumpulan sarang rayap raksasa sehingga menawarkan kemegahan dan kengerian di waktu yang sama. Benarkah, seperti kata pemuda itu, di atas museum terbuka—begitu pariwisata dunia memberi istilah pada permukiman yang tidak lagi dihuni sejak 1965—itu, balon-balon raksasa akan mengudara sebagaimana durasi salju turun tiap pagi di bulan Maret di Kapadokia: dua jam saja.
“Orang-orang Uchisar sangat menjaga citra tempat ini sehingga kalau cuaca dan angin tidak bersahabat, uang para pengunjung akan dikembalikan tanpa potongan,” lanjut Serkan.
Aku percaya saja. Meski usianya 4 tahun lebih muda dariku, pemuda kelahiran Izmir itu sudah diangkut keluarganya tinggal di Anatolia sejak usianya belum genap 4 tahun.
“Papa dan balon udara seperti roti dan sup bagi kami. Tak bisa dipisahkan. Jadi, begitu Papa memintaku mengikuti pelatihan mengendalikan balon udara dua tahun sebelum ia pensiun, tanpa pikir panjang aku meninggalkan Cappadoccia Vocational College yang baru kujalani satu semester,” katanya dalam percakapan di telepon bulan lalu. “Apakah kau serius, Tia?” teriaknya ketika kuberi tahu kalau tiket Jakarta-Abu Dhabi-Eriklet sudah kubeli. Nada suaranya membuatku sukar membedakan antara keheranan dan antusiasme.
“Kau mempertanyakan tiket Jakarta-Eriklet atau kelaziman gadis sepertiku bepergian sendirian atau …?”
“Kamu membawa bukti-buktinya?”
Ah, dia angkuh sekali, tapi aku suka.
“Aku khawatir Papa banyak dalih.”
“O ya?”
Serkan mengangguk. “Belakangan, aku baru tahu kalau kemampuan public speaking-nya kelas satu!”
Ah, aku tak peduli tentang itu. “Surat nikah Papa dengan almarhum Mama dan beberapa foto lama mereka sudah kuamankan,” jawabku yakin. “Kamu ingin aku membawakan kotak cerutu yang lupa ia bawa ketika meninggalkan Mama—yang sedang hamil—demi perempuan di negerimu, Serkan?”
“Perempuan itu sudah jadi ibuku, Tia.”
Aku membeku. Beberapa saat.
“Kirimkan foto tiketmu padaku,” ia menolak drama. “Biar kita tak saling tunggu.”
“Saat ini aku belum ingin Papa tahu.”
“Aku sendiri yang akan menjemputmu.”
Tapi pesan WhatsApp Serkan beberapa saat setelah aku mengaktifkan WiFi Bandara, justru berbunyi, “Temanku mendadak izin karena orangtuanya meninggal pagi ini. Aku tidak yakin bisa menjemputmu sebab aku harus membereskan tiga balon yang jadi tanggungan kami berdua. Tapi aku sudah memesan taksi untukmu. Bahasa Inggris sopirnya bagus. Orangnya mirip idolamu—Shane Westlife. Aku akan menemuimu di hotel.”
Lima tahun lalu, Facebook mempertemukan kami. Teknologi tidak melakonlis sama sekali. Di malam tanpa taburan bintang, seorang berondong Turki menyapaku di kotak pesan. Dia memperkenalkan diri menggunakan bahasa Indonesia. Lumayan bagus. Belakangan aku tahu itu karena Papa. Ketika kukunjungi profilnya, foto dan video di berandanya tidak menunjukkan ada yang mencurigakan.
“Apa yang bisa kubantu?” Lima menit kemudian aku bertanya hal yang sama dalam bahasa Inggris. Ia pun bertanya banyak hal tentang Lubuklinggau. Aku sebenarnya kurang nyaman ketika ia menanyakan keluargaku sebelum ia memberi tahu bahwa beberapa kali ibunya menggugat cerai ayahnya karena hal-hal yang belakangan baru ia ketahui.
“Sejujurnya,” kata Serkan dalam komunikasi kami yang kesekian di tahun kedua. “Kau sangat mirip dengan mantanku. Ia gadis yang ….”
Oh oh, ia cukup sabar juga untuk menunggu hingga aku memberinya nomor WhatsApp di hari ke-700 komunikasi kami. Dasar bangsat profesional!
“Aku tidak bisa memaksamu untuk berprasangka baik,” katanya seperti bisa membaca isi kepalaku. “Tapi … kalau kau ingin bukti kalau aku bukan bagian dari penjahat di media sosial, apa pun akan kulakukan.”
Ah, rupanya bajingan tampan ini merasa lebih lihai dariku. “Video call now!” Aku sengaja meminta mendadak agar ia (kalau memang ia penjahat!) tak punya cukup persiapan untuk mengelabuiku.
Oh, ia langsung mengirimkan permintaan panggilan video.
Bismillah.
Ya Allah, aku rasanya mau pingsan. Apakah seperti ini wujudnya Nabi Yusuf itu, Tuhan? Tapi … mengapa wajah itu rasanya familier bagiku?
Dia lebih tampan dari foto-fotonya di media sosial. Ya, belum pernah aku melihat laki-laki setampan dia. Setampan Serkan Yusuf! Tapi, percakapan kami berikutnya membuatku mengucek mata berkali-kali. “Ini dia!” Ia mendekatkan foto ayahnya ke kamera—ketika aku ngotot memintanya membuktikan bahwa ayahnyalah yang menurunkan ketampanan itu—sehingga aku bisa melihat dengan jelas wajah itu. “Kenapa, Tia?” teriaknya di seberang. “Kenapa kamu bengong?”
Aku baru tahu kalau Papa telah mengubah namanya dari Satria Husni Tamrin menjadi Yusuf Muimin. Sejak itu, aku dan Serkan hilang kontak nyaris dua tahun sebelum pertengahan tahun lalu aku membuka blokir kontaknya di ponsel dan meneleponnya tengah malam waktu Turki.
“Halo.”
Oh, suara serak itu langsung terhubung ke wajah Nabi Yusuf-nya.
Sejak itu hubungan kami perlahan membaik. Aku tak mau menjawab ketika ia bertanya tentang sikapku dua tahun lalu, meskipun aku berterus terang tentang pekerjaanku sebagai pengajar homeschooling beberapa keluarga Tionghoa kaya di Lubuklinggau. “Aku mengajar tiga rumah, dan gajinya tiga kali lipat dari CPNS,” kataku lalu tertawa. “Tapi, dibandingkan dengan penghasilan hot baloon guard sepertimu, gajiku hanya uang jajanmu!”
Seiring waktu, kehangatan, ketampanan, dan perhatian Serkan pelan-pelan menaklukkan segala. Aku makin gelisah. Tapi aku tahu hulunya. Aku tak mungkin membiarkan segalanya membunuhku pelan-pelan. Sebulan kemudian aku membuka rahasia itu.
Serkan butuh waktu hampir dua bulan untuk memastikan kalau laki-laki yang ia idolakan itu bukanlah malaikat. “Ja … ja … di?” katanya gugup di telepon pada suatu malam.
“Apa yang ingin kaupastikan, Serkan?”
Hening.
“Kalau kau menanyakan bagaimana status kita, terang sekali kita saudara tiri. Kalau kau mengonfirmasi perasaanku, aku berani bilang kalau aku masih menyukaimu.”
Masih hening.
“Kalau kau bertanya tentang hal yang lebih jauh, dengan lancang kukatakan bahwa hukum Islam membolehkan kita menikah, meski ada pendapat mengatakan sebaliknya. Tapi … apa kau peduli?”
Masih hening.
“Tapi kalau kau bertanya, apakah bulan depan kamu sebaiknya melanjutkan rencanamu mengunjungi kami atau membatalkannya, aku punya pendapat lain.”
“Mengapa ini menimpa kita, Tia?” Oh, suara serak itu.
“Aku akan mendatangimu, Serkan.”
“Tia?”
“Mencecar ayah kandungku sebelum meminta restu ibumu agar merestui hubungan kita.”
“Tia?“
“Kenapa? Kamu berubah pikiran?”
“Tidak, Tia,” sanggahnya cepat. “Meski bukan lagi barang baru bahwa media sosial menjadi mak comblang beberapa hubungan. Tapi, realitas ini gila, semua menjadi aneh di mataku.”
Dan malam ini, begitu pintu kamar 318 kubuka, Serkan sungguh memesona dengan sweter berkerah rendah bagai sengaja memamerkan bulu dadanya. Senyum di bibir merahnya yang penuh. Cambang tipis dan mata birunya. “Bisakah kita menganggap kita adalah sepasang kekasih saja, bukan dua orang saudara tiri?” katanya seraya menggamit pinggulku sehingga pinggang kami berdempetan.
Aku tak menjawab. Aku malah menyingkirkan tangannya dan membuang muka ketika ia hendak menciumku.
“Selama aku di sini,” katanya pada suatu pagi yang meninggi ketika kami baru terjaga. “Aku pastikan Tia Miranda Thamrin tidak akan melihat salju turun di Kapadokia.”
Aku menoleh, mengonfirmasi.
“Hanya mereka yang bangun subuh yang bisa melihat salju di awal Maret turun bagai buih yang mencium rerumputan taman di luar.”
Aku memukul bahunya meskipun di tubuhnya yang kekar tanganku menjelma styrofoam yang merepotkan semata.
“Sementara kita selalu mengakhiri percakapan menjelang dini hari tiga hari ini,” Serkan merasa wajib mengumumkan.
“Dan aku belum berpikir untuk mengubah percakapan jadi pertarungan, duhai adik tiriku.”
Kami tertawa lepas.
Aku mencoba terjaga lebih awal di pagi keempatku di Uchisar Kaya Hotel. Di atas dipan, Serkan masih mendengkur. Aku baru berhasil membujuknya berhenti minum bir pukul setengah tiga dini hari.
Kusibak tirai jendela. Matahari merangkak naik. Rumput hijau sempurna. Pagi yang sempurna. Tapi, mana hujan buih salju itu? Tidakkah aku sudah bangun pukul 6?
Oh oh, aku tiba-tiba teringat sesuatu.
Aku bergegas ke kamar mandi. Ini akan jadi hari yang penting. Serkan akan membawaku ke Aldynli di selatan Uchisar, tempat keluarganya tinggal dengan … bahagia. Ach.
“Aku sudah memberi tahu Papa tentang kehadiranmu, Tia,” kata Serkan malam tadi. “Bukti-bukti darimu membuatnya mati kata. Ia akan memberi restu asalkan status kita sebagai saudara tiri tidak diketahui Mama.”
Aku memandangnya. Dalam, tenang, dan menantang. Ia balas menatapku. “Itu syarat darinya, atau dari kalian?” suaraku bagai teredam.
Serkan menoleh ke arah layar TV yang gelap (O, aku tak pernah menyalakan TV selama di hotel!). Ia mengambil remote. Beberapa detik kemudian, monitornya menyala. Satria Husni Tamrin sedang tampil di siaran TV lokal di atas podium. Ia tampak gagah dengan setelan jas abu-abunya. “Mama akan maju sebagai calon wali kota, Tia. Papa sedang naik daun sebagai family man yang mendukung Mama. Kalau saja Papa orang Turki, dia akan memenangkan pemilihan dengan mudah.”
Aku meneguk liur. Tiba-tiba aku mengutuk kekuatan cinta yang kuasa membuatku mati rasa pada Papa sekaligus mengabaikan almarhum Mama di rumahnya yang abadi. O, sebegininyakah sihir Nabi Yusuf itu?
“Kalau kamu bisa meyakinkan Papa bahwa hubungan kita akan berdampak bagus bagi karier politik Mama, kita tak perlu lagi kucingan-kucingan begini,” oh, di bawah shower ingatanku bagai memulih. “Aku harap kamu tidak salah paham, Tia.”
Tentu saja, aku lebih dari paham, Serkan. Tapi, aku tak ingat, bagaimana aku merespons kata-katamu itu. Untuk pertama kalinya malam tadi aku mabuk, sebagaimana untuk pertama kalinya kau tidak lagi tidur di sofa seperti tiga malam sebelumnya. Oh, Nabi Yusufku….
“Tia!” Serkan mengetuk pintu kamar mandi. Suaranya terdengar buru-buru. “Mama baru menelepon. Calon walikota satu lagi mengendus keberadaan kita. Rombongan wartawan sedang menuju hotel. Aku akan menghubungimu nanti!” Lalu terdengar suara pintu ditutup dari luar.
Aku gegas keluar kamar. Di hadapanku, dari jendela kaca yang lebar, kapas-kapas es melayang-layang, menutupi rerumputan dan segala yang dilabuhinya. Tak sabar lagi aku mendengar pintu diketuk serampangan, blitz kamera, atau cecaran pertanyaan. Menghadapi semua dengan tubuh yang hanya dililiti handuk sedada tentu balasan setimpal untuk apa yang telah Serkan—atau Papa!—lakukan kepadaku.