Musim Bepergian T’lah (Lama) Tiba

 Musim Bepergian T’lah (Lama) Tiba

KETIKA dua hari lalu fasilitator saya memberi kabar kalau residensi saya di Pulau Karimata sudah mendapatkan tanggal, saya bersorak untuk alasan bahwa dunia memang sedang mengucapkan selamat tinggal kepada pandemi. Selain itu, seperti biasa, residensi akan selalu memberikan banyak kejutan.

“Kuncinya satu: di negeri orang jangan bertungkus-lumus dalam kamar atau bepergian dengan rute apartemen-perpustakaan saja,” saran seorang teman yang kesal dengan rekan residensinya di Belanda yang tak pernah keluar kamar, kecuali ke Perpustakaan Leiden.

“Dua pekan dulu ya,” kata saya ketika kami membicarakan durasi residensi. “Sebulan sekali aku berlayar dari Karimata ke Jakarta,” kata laki-laki 40 tahunan yang biasa disapa Ale itu dengan nada bangga cum pongah. Entah, apakah ia tahu kalau saya tidak terlalu menyukai perjalanan laut atau atas alasan lain, laporannya terdengar menjengkelkan. “Jemput saya di Ketapang,” kata saya. “Dengan kapal cepat,” tegas saya. “Bukan kapal nelayan!”

Ia tertawa. Tapi ia tahu kalau saya serius. Saya tak bisa membayangkan kalau dengan kapal cepat saja perjalanan akan memakan waktu delapan jam, bagaimana dengan kapal nelayan. “Tanpa baju pelampung,” lapor Ale lagi ketika ia bercerita tentang perjalanannya menumpangi kapal kayu dalam perjalanan Karimata-Ketapang atau Jakarta. “Biarkan ombak mengambil alih segalanya. Kamu belum pernah menikmati sensasi hampir mati di tengah samudera, ‘kan?”

Saya tak mau menjawab.

“Bayangkan ….”

Ia benar-benar mengingatkan saya pada Ethile. Senang melihat saya cemas dan terperangkap dalam kebingungan.

“… kau diombang-ambing ombak. Di sekelilingmu hanya air dan air. Tanpa batas, apalagi penampakan pulau di kejauhan. Hanya ada horison di kejauhan yang ….”

 “Saya pernah hampir mati hanya karena candaan yang kelewatan ketika saya, satu sopir dan dua penumpang menumpangi blablacar dari Slovakia ke Kroasia, Le. Kamu tentu tahu cerita itu, ‘kan?”

“Aku teringat esaimu ‘Lubang di Atas Kuburan’, Benn.”

Alamakjang! Saya mengerti maksudnya. Bulu kuduk saya bergidik tiba-tiba.

“Di tengah samudera, kamu akan melihat lubang itu bukan hanya menganga di langit, tapi juga mengepungmu.”

“Cukup, Le!”

“Jadi, kamu menginginkan perjalanan aman tanpa riak?” tanyanya retoris. “Hei, anak muda?!”

Aku tidak mau merespons.

“Kamu sudah menyiapkan modul atau bagaimana?”

Baik. Dia mulai waras.

“Di sini ada printer dan fotokopi. Yaaa … tiga puluh menit dari rumahku—yang sekalian jadi tempatmu bertapa—di tepi laut.”

Saya tiba-tiba teringat penginapanku di Pulau Osi yang menjorok ke laut pada residensi di Piru tiga tahun lalu. Siang hari indahnya luar biasa. Malam hari, semua menjelma neraka sebab bunyi ombak mendekat dan penginapan yang selalu bergoyang-goyang bagai kabar bahwa tsunami akan mampir ke Laut Seram.

“Sudah kukatakan sama Kemdikbud, kalau kamu bintangnya di sini ….”

“Dan kamu mau bilang kalau mereka tak terlalu mengenalku, ‘kan?” Aku hafal lagaknya.

Dia tertawa. “Salah satu verifikatornya bilang kalau dia sering membaca tulisanmu di Kompas, Benn.”

Baik. Anggaplah Ale berhasil menghibur.

Lalu kami membincangkan rencana dua pekan di sana. Melatih anak-anak menulis, merintis taman bacaan, menulis tentang Karimata, dan ….

“Aku minta akses privat untuk menulis bukuku!” ia menginterupsi rundown.

Saya tertawa dan dia tahu apa yang saya maksud. “Kemdikbud tidak membayar saya untuk melatih seorang pengembara yang selalu gagal menemukan rumah, Le.”

Dia menyeringai. Dia sudah menyiapkan repetan.

“Kalau kamu masih manja lagi,” saya sengaja meneror, “puisi-puisi yang saya buat atas perjalananmu di Karapakalstan akan saya rilis sehingga kamu hanya akan gigit jari.”

Suaranya terdengar putus-putus, meski saya tahu kalau dia sedang merutuk dan mengutuk-ngutuk.

Musim bepergian t’lah tiba. Kabar yang dikirim Mbak Helvy Tiana Rosa beberapa saat setelah percakapan saya dan Ale berakhir memberi arti lain dari bepergian itu. Gunawan Maryanto alias Cindhil baru saja bepergian ke rumah-Nya.

Tiba-tiba saya teringat rute perjalanan menuju Karimata nantinya. Lubuklinggau-Jakarta-Pontianak-Ketapang plus naik kapal cepat ke pulau tujuan. Alangkah tipisnya bepergian dan kepergian itu.

Benny Arnas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *