Mengapa Tidak Boleh Menulis di Kelas Menulis?

 Mengapa Tidak Boleh Menulis di Kelas Menulis?

Kelas Menulis PCIM Paris, 2 Mei 2025

… soliter bukan melarikan diri dari dunia, tapi menciptakan jarak aman di dalam dunia yang bising.

OLEH BENNY ARNAS

Di jantung musim semi 2025, dalam sebuah apartemen mungil di kawasan Bis Rue Vaugirard, Kota Paris, dua belas orang duduk melingkari meja makan yang berserakan dengan kertas penuh coretan dan aneka cemilan, minuman, dan buah. Di dinding yang berjarak dua meter dari meja, layar teve menampilkan gambar siklus naratif. "Cerita yang baik lahir dari pikiran yang tertata," kata saya bersemangat. Dheni, kandidat doktor Universitas Sorbonne, mengangkat tangan, bertanya, “Jadi, kapan kita mulai menulis, Benn?”

Saya tersenyum. “Terserah, tapi yang jelas …” saya sengaja mengambangkan nada dan jawaban, “belum sekarang. Tidak sekarang.”

Kening perempuan 40 tahunan itu dan para peserta lain mengerenyit.

“Di kelas menulis, tidak boleh ada aktivitas menuliskan karya!” tegas saya.

Kalimat itu kerap menimbulkan keheranan, khususnya bagi mereka yang menganggap atau berharap mentor akan memberikan “mantra” sehingga mereka pulang dengan sebuah karya siap rilis. Tapi begitulah. Dengan berat hati, saya nyatakan: kelas menulis bukan laboratorium kata, melainkan bengkel pikiran.

Di sana, tugas peserta bukan merangkai kalimat demi kalimat, melainkan membereskan cara berpikir. Sebab sebelum tulisan bisa mengalir, penulis harus mampu memahami kenapa ia menulis, apa yang ingin ia katakan, dan bagaimana caranya menyampaikan dengan jernih. Kelas menulis adalah tempat menyusun peta jalan, bukan tempat menempuh perjalanan.

Maka, pekerjaan pertama di kelas itu ialah mempelajari struktur: bagaimana setiap bagian tulisan punya p(rop)orsinya masing-masing, bagaimana alur logika terbangun tanpa lompatan emosional, bagaimana ide tidak hanya indah tapi juga kokoh. Semua itu dilakukan lewat formula dan teori yang terukur alias kerangka berpikir yang bisa diuji, diperdebatkan, dan diterapkan. Seperti arsitek yang belajar membaca gambar bangunan sebelum memerintahkan para tukang menumpuk batu.

Di titik ini, para peserta membedah karya-karya besar: puisi, esai, novel, artikel jurnalistik atau karya yang berangkat dari teks seperti film atau iklan yang dianggap bermutu. Mereka tak hanya membacanya, tapi membedahnya: mencari sebab-akibat, menandai logika, mengukur keseimbangan antara emosi dan struktur. Tujuannya bukan meniru, tapi menemukan “mengapa karya ini berhasil” dengan memakai teori dan formula yang sudah dipelajari.

Karena dengan begitu, peserta tahu bahwa waktu (dan mungkin juga uang!) yang mereka keluarkan di kelas tidak dihabiskan untuk membaca dan menulis tanpa landasan metodologis. Mereka tahu arah dan tujuannya.

Baru setelah bagian ini terlewati dan mereka mulai percaya bahwa yang mereka pelajari bukan sekadar insting melainkan metode, barulah mereka menyiapkan dokumen calon karya. Sebuah berkas persiapan yang berisi ide, karakter, struktur, dan rincian peristiwa dramatik. Proses ini dilakukan di bawah supervisi mentor, karena di dalam kelas, dialah satu-satunya sumber kepercayaan.

Peserta memanfaatkan masa itu untuk menghabiskan “jatah salah”, sebab di luar kelas mereka dituntut menghasilkan karya yang tidak menyesatkan proses berpikir pembaca. Di sinilah, mereka akan mencetuskan ide, menghapus, memodifikasi, memperdebatkan, atau bahkan menggantinya … sampai mereka membawa pulang kerangka yang matang. Ya, ketika kelas berakhir, di situlah menulis yang sesungguhnya dimulai: di ruang soliter masing-masing.

***

Kesendirian atau solitude tidak bisa diajarkan. Ia hanya bisa diciptakan oleh setiap penulis dalam bentuk yang berbeda-beda. Soliter bukan berarti harus menyendiri di gunung atau menyewa apartemen sunyi. Soliter adalah kondisi paling nyaman bagi seorang penulis untuk menumbuhkan atau memelihara renjana berkarya.

Ada yang menemukan kesendiriannya di tengah kafe yang ramai, di gerbong kereta penuh orang, di pojok studio teater yang bising. Keramaian bisa menjadi latar bagi imajinasi untuk bekerja, seperti riuh pasar bagi Jalaluddin Rumi yang sering menulis di tengah hiruk-pikuk kota Konya. Penyair itu pernah berkata, “Di tengah suara dunia, aku mendengar suara Tuhan dalam diriku.” Rumi tidak memisahkan diri dari dunia untuk menulis. Ia justru menulis bersamanya, tapi dalam kesunyian batin yang tak bisa diganggu oleh siapa pun. Sementara sastrawan Mesir, Naguib Mahfouz melahirkan Cairo Trilogy setelah menciptakan bentuk soliternya dengan menulis setiap pagi di kafe Qasr El-Nil, di tengah hiruk-pikuk kota Kairo.

Begitulah sifat soliter: ia bukan sekadar kesepian yang dipilih, tapi ruang di mana penulis menolak segala bentuk distraksi. Di tengah keramaian sekalipun, ia menggandeng imajinasi menemukan rumahnya. Jika ia menolak ajakan berbincang, itu bukan karena sombong, melainkan karena ia tahu bahwa kata-kata belum selesai tumbuh.

Ya, kelas yang menuntut interaksi, diskusi, kolaborasi bisa saja mematikan aliran kreativitas sang penulis. Bagaimana mungkin penulis memaksakan diri menciptakan solitarianisme di dalam kelas yang berlangsung dalam waktu yang sangat terbatas? Ya, penulis tidak butuh dialog saat benih ide baru tumbuh. Ia hanya butuh keheningan, meskipun itu ada di antara seribu suara.

Julie C. Bowker, Mikaela Stotsky, dan Rebecca Etkin di University at Buffalo mendukung pandangan ini. Dalam studi mereka yang berjudul “How BIS/BAS and psycho-behavioural variables distinguish between social withdrawal subtypes during emerging adulthood” (Personality and Individual Differences, 2017), menunjukkan bahwa individu yang menikmati kesendirian secara sukarela (bukan karena penolakan sosial) memiliki tingkat kreativitas yang lebih tinggi. Mereka disebut mengalami unsociable solitude alias menarik diri bukan untuk bersembunyi, tapi untuk memberi ruang bagi ide bekerja tanpa gangguan.

Artinya, meskipun kreativitas sangat mungkin tumbuh dari interaksi, tapi ia tidak mesti dilakukan terus-menerus. Bahkan, kemampuan untuk berhenti sejenak dari interaksi dibutuhkan agar kita bisa mendengar suara imajinasi.

Di titik inilah, kelas menulis dan kesendirian saling melengkapi. Kelas menulis memberi metode, kesendirian memberi produktivitas. Kelas menulis menata cara berpikir agar penulis tidak tersesat, kesendirian menyalakan api yang membuat tulisan hidup.

Maka, menulis di kelas menulis menjadi tidak perlu, karena kelas adalah laboratorium berpikir, bukan ruang praktik utama. Menulis yang sesungguhnya adalah perjalanan pribadi: kadang di kafe yang riuh, di kamar kecil dengan lampu meja temaram, atau di kereta yang melaju jauh dari rumah.

Begitulah paradoks yang indah: soliter bukan melarikan diri dari dunia, tapi menciptakan jarak aman di dalam dunia yang bising.

***

Ketika kelas menulis berakhir, para peserta pulang membawa struktur berpikir yang tertata, dokumen ide yang siap dikerjakan, dan satu kesadaran penting: bahwa tahap berikutnya bukan lagi belajar, melainkan berani sendirian.

Ya, kelas menulis hanyalah prolog yang menuntun seseorang menuju ruang soliternya, tempat tulisan akhirnya menemukan napas untuk tumbuh, hidup dan berkembang …

secara mandiri,

sendiri-sendiri.(*)

Lubuklinggau, 29 Oktober 2025

Benny Arnas

https://bennyarnas.com

Penulis & Pegiat Literasi

3 Comments

  • Ooo trnyt gitu y bang, membenarkan cara berfikir dl, baru berkarya

  • keren sekali, mengingatkan bahwa kelas menulis sebaiknya tidak langsung dimaknai sebagai ruang menulis produk, melainkan sebagai bengkel berpikir..

  • Terimakasih. Luar biasa bang Ben.Merubah masege

Leave a Reply to Yosi Gumala Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *