Kunang-Kunang Laut dan Menjadi Ale Sebentar Saja
Bakda Zuhur hari ke-13 itu, Mas Atien membungkuskan rajungan santan sebagai lauk bekal kami di kapal nanti. Pukul 2, saya dan Ale harus bertolak ke Pelabuhan Tanjung Ru. Ghifari membonceng saya, juru masak berdarah sunda itu membonceng Ale. Dalam perjalanan, saya dan Ghifari membincangkan tentang terulangnya drama sebagaimana keberangkatan kami ke Karimata via Sukadana kemarin: ketinggalan kapal.
“Saye dah dapat batunya dengan dikembalikannya lagi kami ke Karimata oleh Kapten,” katanya ketika beberapa hari yang lalu, atas dasar penyempurnaan riset hasil laut di Pulau Pelapis, Ale meminta Ghifari, Fauzan, dan Feri yang baru tiba di Belitung—untuk kemudian naik pesawat ke Pontianak via Jakarta—Ale haruskan kembali ke Karimata. “Semoga itu tak terjadi pada Abang.”
Saya menepuk bahunya. “Jangan sampai.”
“Tapi, perasaan saya tak enak, Bang,” kata Ghifari sebelum ngakak.
Tapi, ternyata nasib berpihak kepada saya. Setiba di pelabuhan, kapal yang akan kami tumpangi sedang membongkar-muat barang bawaan.
“Kita akan naik kapal Aheng,” kata Ale. “9 knot kecepatannya.”
“Artinya?” Tentu saja saya tak tahu hubungannya dengan keberangkatan kami.
“Ya, paling hanya 12 jam, kita sudah tiba di Belitung,” kata Ale optimis.
Semoga, harap saya dalam hati.
***
Pukul tiga, kami menuju kapal. Ternyata ada satu keluarga—satu bapak, satu ibu, dan anak berusia 5 tahun—yang juga ikut menumpang. “Kita pindah kapal,” kata salah satu awak kapal yang akan kami tumpangi.
“Berapa knot?” tanya saya sok paham.
“Enam.”
“Enam knot?”
Ia tak menjawab. Ia menyusun boks fiber berisi cumi di palka sehingga lantai kapal tak terlihat sedikit pun.
“Kita di mana, Le?” tanya saya ketika melihat penuhnya muatan kapal-6-knot itu.
“Di atas fiberlah,” katanya seraya membawa tas ke atas boks berisi cumi itu.
Aroma amis nan menyengat membuat perut saya mual. Kini, saya tahu bagaimana perjalanan di atas laut ini akan berlangsung: saya harus berkarib dengan bau amis di atas kapal yang diombang-ambing ombak.
Saya memerhatikan lamat-lamat tempat kami duduk saat ini. Dengan kedua sisi kapal yang terbuka alias tanpa pagar dan penghalang, kalau kami terlelap ketika badai datang, sangat mungkin terperosok langsung ke laut lepas. Tanpa ampun. Angslup dalam kedalaman. Dicatat mati di tengah perjalanan. Saya bergidik sendiri.
Pukul empat, kapal bergerak.
Saya duduk melawan arah angin. Dingin sekali. Keringat dingin berebutan tumbuh dari sekujur tubuh. Saya hafal, ini pertanda kalau kondisi tubuh saya kurang fit. Saya bergegas bersandar ke arah yang berseberangan. Menyandar ke badan kapal. Membelakangi arah angin. Memakai sweater. Mengeluarkan sarung dari ransel untuk menutupi betis. Sungguh, saya menyesal berangkat memakai celana sedengkul.
Keadaan agak membaik. Saya memandang pulau-pulau dalam gugusan Kepulauan Karimata dengan harapan dapat membuang mual yang mulai menyerang. Benar saja, hingga matahari terbenam yang mengantar kami berada di laut lepas, kepala saya makin pusing. Setelah salat di tempat, saya bergabung bersama Ale yang membuka bekal.
Saya iri padanya yang bisa makan lahap sehingga menghabiskan dua ekor rajungan besar. Sementara saya, satu centong nasi dan sepotong rajungan pun tidak habis. Saya lekas kembali ke tempat semula. Tubuh saya basah sudah. Saya melepaskan kain dan sweater, tapi badan saya malah makin kedinginan. Dan badan saya, sebagaimana terjadi tiap malam, mulai meminta jatah minta digaruk. Ah, alergi makanan laut itu datang lagi….
Saya teringat pil CTM dalam tas. Saya perlu obat itu. Selain untuk mengurangi gatal-gatal (dan pengalaman selama ini: selalu gagal!), juga untuk membantu saya terlelap.
Dan bekerja. Tapi tak lama.
Mungkin pukul 8, kapal kami mati mesin.
Ombak mengombang-ambingkan kapal hingga badan saya terpelanting ke sana-kemari. Saya mencari pegangan. Herannya, penumpang yang lain, tak terkecuali Ale, malah lelap tanpa berpegangan pada apa pun.
Video Player
00:00
00:15
“Badai, Bang?” tanya saya ketika salah satu awak menurunkan terpal sehingga angin tak lagi menampar-nampar tubuh saya. Tapi … kapal tetap bergolak. Di kejauhan, petir menyambar-nyambar. Hujan turun. Percikannya menyusup dari sisi tepi terpal yang meninggalkan celah.
“Sedikit saja. Tak ape,” katanya. Terdengar seperti menghibur, tapi kuasa membuat saya sedikit lebih tenang.
Setengah jam kemudian, mesin kapal kembali menyala. Dari awak kapal juga, saya tahu kalau tadi mereka sedang mengisi bahan bakar. Mungkin momennya saja yang bersamaan dengan hujan turun, hibur saya dalam hati.
Kepala saya makin pening dan perut pun makin mual. Saya harus melawan, batin saya. Tapi, kepala saya makin pening. Kini, di ujung tubir palka saya menangkap kunang-kunang sebesar biji rambutan beterbangan. Oh, ini pasti efek CTM dan pusing ini. Saya kucek mata, kunang-kunang itu, tak seperti dugaan saya, masih di sana. Banyak dan berganti-gantian.
Ah, tidak!
Tiba-tiba saya teringat film Life of Pi. Ada skena yang menampilkan kunang-kunang sebesar buah rambutan yang membuat pemandangan di tengah laut indah dan eksotik. Sebelum malam ini, saya pikir, Ang Lee, si sutradara memasukkan bagian itu untuk memberi efek dramatik dan sinematografik. Tapi tidak, sekarang saya menyaksikannya langsung. Untuk mengonfirmasinya, kalau saya tidak sedang berhalusinasi, saya menanyakan kunang-kunang tengah laut itu ke awak kapal. Ia memang tidak menyebutnya kunang-kunang, tapi ia mengonfirmasi kalau buah rambutan terbang itu memang ada, memang nyata.
Saya bangkit dari boks cumi tempat saya duduk. Saya, seperti digerakkan sesuatu dari entah, berjalan menuju ujung palka. Begitu berdiri tepat di ujungnya, saya lepaskan pandangan ke laut lepas. Dan … kunang-kunang itu kini bukan hanya tepat di hadapan saya, melainkan … mengitari saya. Masya Allah!
Saya rentangkan tangan. Saya hirup udara laut. Saya berteriak dan tak peduli kalau penumpang lain terganggu. Saya memandangi kunang-kunang seperti anak kecil yang kegirangan mendapati bola-bola sabun beterbangan. Kapal bergolak lagi. Ombak besar datang. Tapi tanpa hujan dan kilat halilintar. Para penumpang tetap terlelap, seakan-akan ada lem mahakuat yang menyatukan punggung mereka dengan permukaan boks fiber ketika mereka terlelap.
Ah, kenapa saya tak mencoba?
Saya melupakan ketakutan dan memilih menyerahkan diri kepada alam. Anda tahu, saya berdiri di atas boks cumi yang menyatu dengan tubir ujung palka ketika kapal sedang dihajar ombak. Gila! Seharusnya saya sudah terjerengkang, entah itu ke depan alias laut lepas, kanan-kiri alias boks fiber yang lain, atau ke belakang di atas tubuh Ale atau penumpang lain yang dibuai mimpi, tapi … tidak. Seperti ada lem mahakuat di antara telapak kaki saya dan permukaan boks fiber itu.
Setengah jam saya habiskan memandang keluasan laut yang biru legam. Saya kembali ke tempat semula dalam keletihan dan kepuasan yang bertemu di titik yang benar: istirahat.
Ketika matahari terbit, di sekitar kami kapal-kapal nelayan lain sesekali lalu-lalang. “Kita sudah sampaikah?” Tentu saja mata saya berbinar.
Pelabuhan Tanjung Pandan pagi hari.
Penumpang perempuan yang baru terjaga dua meter dari saya mengangguk. “Ini laut Belitung, mungkin dua jam lagi kita tiba di Pelabuhan Tanjung Pandan.”
Masya Allah, akhirnya .…
Pukul 8, kapal kami merapat.
Berapa ongkos yang kami keluarkan?
Nol rupiah.
Karena Ale dan penumpang lain hanya mengucapkan terima kasih, saya pun begitu. Saya ingin mengatakan kepada Ale, apakah tidak sebaiknya kita memberinya uang rokok, tapi urung.
Sikat gigi dulu, di Laut Belitung.
Oh, apa pun itu ….
Saksikan, Saudara-saudara!
Saya sudah mengalami perjalanan yang dibayangkan saja bikin saya takut sendiri: 16 jam di laut menumpangi kapal nelayan yang bermuatan penuh cumi!
Sekeluar dari gapura pelabuhan, pandangan kami menabrak penjual bubur ketan hitam dan kacang hijau. Tanpa pikir panjang, kami memesan dua porsi. Sambil menikmati sarapan, saya membuka aplikasi pemesanan tiket. “Le, kita mau ke Jakarta pukul berapa besok?”
Ale meraba-raba sakunya.
“Pagi, siang, atau sore …?”
Ale membongkar tasnya.
“Kita harus beli tiket segera. Lalu tes PCR. Habis itu kita baru cari kopi.”
“Aku lupa bawa dompet,” kata Ale, sambil memandang saya dengan tatapan tak percaya.
“Jadi?”
***
Keesokan paginya, setelah meninggalkan Ale uang 200 ribu untuk ia kembali ke Karimata (Gila! Ngapal 16 jam lagi?!), saya menuju pintu keberangkatan Bandara Internasional H.A.S. Hanandjoeddin.
Saya menoleh ke belakang sebelum menyeberang. Di kedai kopi dekat bandara itu, Ale sedang menghabiskan kopi susunya seraya mengerjakan tugas “Story by 5” bakal novelnya.
“Gila! Aku kebayang novelku jadinya kayak apa, Benn!” seru dia kemarin, padahal kami baru sampai “Story by 4” alias elemen ke-4 formula itu.
Ya, saat ini pun, ia menjalani segala bakal tak terjadi apa-apa. Pernah dan sering saya berpikir ingin berada dalam posisinya, menjadi dirinya, sebentar saja, sejenak saja.
Tapi, tentu saja tak bisa ….
***