Kelas Menulis dan Gadis yang Mengulur Kekalahannya

 Kelas Menulis dan Gadis yang Mengulur Kekalahannya

SAYA menoleh ke Karin ketika laki-laki itu meneriakkan namanya. Gadis 15 tahun itu mendekat dengan kepala tertunduk. Perhatian saya masih diam-diam tertuju ke parang mengilap di tangan laki-laki yang memanggilnya.

“Jadi ini Pak Benny?” ia melihat ke saya setelah Karin mendekat. “Saya diberitahu Bang Beruk kalau Pak Benny mau makan ikan mayung,” katanya, tanpa senyum dan mata yang tidak fokus.

“Oh ya?” Mata saya berbinar serta-merta.

O ya, tentang Beruk, sudah saya ceritakan di seri ke-5 catatan perjalanan saya. Dia adalah panggilan populer dari Rahadi, satu-satunya warga Dusun Tanjung Ru yang diserahi Ale mengurusi tosa alias motor pikap roda tiga. Ia beroleh panggilan itu karena sejak kecil ia suka manjat pohon dan rada nakal. “Panggil saje saya Roy, Bang,” pintanya suatu hari, begitu cerita Ale di kapal beberapa hari yang lalu. “Tentu saja aku keberatan!” teriak Ale. “Roy terlalu keren buat orang kampung, sementara Beruk mudah diingat, bukan hanya orang kampung, tapi juga segala umat manusia!”

Ah, dasar!

Laki-laki itu ternyata Muaweng. Dia adalah orangtua dari Fahmi, salah satu murid kelas menulis anak-anak. Ia membawa seekor mayung yang beratnya hampir 8 kilo. Ini berkah tiada tara, sebab dua hari yang lalu, salah satu rekan residensi saya, Feri, dari Sintang, juga diberi nelayan dua ekor mayung dengan berat yang kurang lebih sama dengan pemberian nelayan via Bang Muaweng hari ini.

“Biasanya anak saye, libur Covid macam ni, sudah ngumpul di simpang kantor desa atau dekat tower di Dusun Padang,” ia menepuk bahu saya. “Beberapa hari ini die minta izin belajar nulis di homestay-nya Kapten. Nulis buat ape, nah aku tak tahu.”

Saya masih menunggu kelanjutannya.

“Oh ini?” Bang Muaweng melihat ke parang di tangannya. “Saye mau bantu Kapten membuat rumah pohon. Katanya untuk perpustakaan.”

Aduh, ada-ada saja …. Saya tersenyum untuk menyamarkan kelegaan.

“Fahmi nanti akan datang, Bang?” saya sudah merasa santai.

Dia mengangguk. “Daripade main hape jak.”

Syukurlah.

“Sejak listrik masuk, hape pun masuk, anak-anak sibuk jak dengan hape.”

Saya tertawa kecil. Yaaa, nggak di kota. Nggak di desa.

“Permisilah kalok gitu,” katanya lalu pergi menuju belakang saung. Di sana, Ale memang sempat cerita kalau sebuah pohon besar akan menjadi cikal-bakal jungle book, perpustakaan alam yang jadi impiannya.

“Kamu tahu kenapa Karin tadi bangkit?” tanya Ale setelah saya meminta anak-anak memeriksa ulang tugas.

Saya menggeleng. “Eh, saya kira tadi Bang Muaweng itu bapaknya Karin, Le.”

Ale tertawa. “Karin masih SMP. Anaknya cemasan. Tapi … tekad belajarnya kuat. Ah, aku melihat masa depan yang cerah di kelas kita, Benn.”

Aku tentu berharap begitu, Le. “Semoga mereka, tak seperti anak-anak di kota, bisa lepas dari belenggu teknologi, terutama hape.”

“Begitulah,” kata Ale seperti baru mengingat sesuatu. “Kegelapan terlalu lama mengurung orang-orang di Karimata,” lanjutnya ketika kami membahas masa depan Karimata sore kemarin. “Maklumilah kalau mereka bereuforia sejenak.”

“Tapi kita harus memandu orang-orang buta yang berjalan di jalan raya, Le.”

“Itulah mengapa kita ada. Kamu kudatangkan ke sini.”

Saya mengangguk.

“Dan kamu lihat, bangunan yang lebih kokoh dan besar daripada homestay-ku ini apa?”

Saya menoleh ke musala yang luas dan gagah.

Ah, saya kalah lagi.

“Sudah sejak lama aku menganggap isi kepala jauh lebih mahal dari alam dan isinya.”

Begitulah. Hari ini, saya mengisi kelas dengan semangat yang berlipat.

Usai membuka kelas dengan basmalah, saya berdiri, membuka spidol, dan mendekati papan tulis putih yang jauh dari baru. “Setelah kalian menulis kasar nanti, apa yang akan kalian lakukan?” tanya saya retoris. “Kalian akan menulis ulang.”

Semua khidmat menyimak. Saya juga membuka laptop agar salindia-salindia yang sudah saya siapkan dari Lubuklinggau bisa mereka gunakan.

 “Bagaimana kalau kita ke homestay?” tawar Ale.

“Iye,” kata Sela, gadis 20 tahun yang … ah nanti akan kuceritakan tentang dia, “di atas ada TV besar.”

Kami pun berangkat. Sebagai IT, saya meminta Ghifari membantu menyambungkan laptop saya ke layar 64 inci di kamar Ale.

Di bawah, Sela membantu saya membawa laptop dan spidol. “Jadi, kapan kamu akan menikah, Sel?”

Dia tersenyum tipis. Ia mendorong bahu saya.

Saya menanyakan urusan sensitif itu karena dia sudah bercerita panjang lebar kemarin. Selain Sela juga gadis yang easy-going. Tapi, tahukah Anda, bahwa Sela, gadis manis berkulit putih itu, memiliki 2 ayah dan 3 ibu. Seorang Ayah tiri dari ibu yang bercerai; seorang ayah kandung yang menikah lagi; dan seorang ibu tua, Mak Atik, yang menganggapnya seperti anak sendiri.

Sejak tamat SMP, ia kukuh ingin melanjutkan SMA ke Sukadana yang memakan 9-10 jam pelayaran dengan kapal nelayan. Tapi, segalanya mengambang di hadapan keluarga yang susah ia raba alur nasabnya. “Kata mereka,” kata Sela, ragu, “menikah segera adalah tradisi, bukan pilihan. Dan Sela menolaknya.”

Saya meneguk liur.

“Sekarang,” matanya menerawang, “sudah lima tahun Sela bertahan, Bang. Sela tak menikah, Sela juga tak sekolah. Bang Benn tahu?” ia menatap mata saya lekat-lekat.

Ah, saya rapuh.

“Sampai kapan kira-kira Sela akan bertahan seperti ini?”

Saya tak tahu mau bilang apa. Saya teringat puisi Chairil Anwar: hidup hanya menunda kekalahan.

“Kapten sudah bicara dengan keluarga. Tak ada hasil. Semua kegiatan Kapten, Sela ikuti. Apa saja. Termasuk hari ini. Buat apa?”

Saya menghela napas.

Saya tahu jawabannya.

“Buat mengulur waktu.”

“Mengulur kekalahan,” saya melengkapi narasi kepedihan itu.

“Kelas dah siap, Bang Benn!” teriak Ghifari dari atas.

Kami lekas naik ke homestay. “Jangan nangis,” kata saya ketika Sela menyeka matanya yang berkaca-kaca.

 “Kita akan belajar di atas kasur-kasur ini?” tanya Risna ragu seraya menatap ke ruangan 4 x 3 meter yang dipenuhi kasur-kasur tempat Ale dan tamu-tamunya diinapkan.

Tapi, tak satu pun yang menanggapi pertanyaan Risna. Tak menunggu lama, masing-masing sudah mengambil tempat nyaman masing-masing.

“Untuk apa menulis ulang cerpen kita yang sudah jadi?” tanya Ambai, murid yang kali pertama mengikuti kelas ini.

“Tidakkah itu menambah-nambah urusan jak?” Sri, murid tamatan SMA, yang sampai hari ini tak pernah mendapat dukungan untuk kuliah ke luar Karimata, bertanya antusias.

“Agar kita tahu bahwa cerita kita yang pendek itu benar-benar bisa diselesaikan sekali duduk,” kata saya seraya menampilkan salindia materi. “Di kelas ini, kita akan mempelajari ukuran-ukurannya.”

Di sudut kelas, Sela mencatat. Entah apa yang ia catat. Judul materi, memperbaiki tugas, atau … membuat daftar alasan sehingga ia masih bertahan sampai detik ini.

Kelas berlangsung lancar. Mereka antusias memperhatikan dan bertanya. Setelah memeriksa tugas masing-masing, terdengar suara derap langkah naik ke homestay.

“Bang Benn,” Bang Atin berteriak dari pintu. “Mayung bumbu kecap sudah siap!”

Saya lihat arloji di tangan. Pukul 5 petang. Sudah tiga jam kami belajar menulis. Menulis premis … kehidupan … yang membuat nasib, keberuntungan, dan kemudahan, mencipta jarak yang luas dan menganga: antara kota dan Karimata.

***

Benny Arnas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *