Karimata, Kapan Tiba ….

 Karimata, Kapan Tiba ….

TERNYATA, tak seburuk yang saya takutkan.

Setelah melewati Pulau Betuk, kapal memang diombang-ambing ombak dan lebih berembus kencang dari biasa. Tapi, para penumpang tampak tak terganggu sedikit pun. Tak ada kecemasan dan kekhawatiran. Palka masih ramai oleh awak kapal yang ngobrol sembari merokok. Fauzan dan Ale malah asyik ngobrol dengan duduk bersandar di pagar pembatas kapal yang langsung bersisisan dengan laut yang berombak. Sementara di atap kapal, Ghifari dan Feri malah asik ngobrol bersandar di barang-barang yang ditutupi terpal. Saya bergabung dengan mereka.

Benar, tidak ada yang perlu dicemaskan. Malah, saya bisa menunaikan Asar di atas atap padahal kapal sedang bergoyang oleh gelombang. Nyali dan mental ternyata bukan tentang konsep, tapi tentang ujian dan pengalaman.

Di sini, semua perbincangan penumpang kapal hanya tentang cumi dan cumi. Oktober adalah salah satu bulan keemasan untuk menangkap cumi. Dan cumi Karimata adalah kualitas premium yang tak tergantikan sampai hari ini. “Semalam biasa dapat 50 kilo,” kata seorang penumpang yang berasal dari Sintang. “Kalau anak saya,” ia menunjuk anaknya yang berusia 10 tahun, biasanya dapat 30 kilo.

Ya ampun. Benar-benar orang pulau!

“Di Sintang, saye biase berkeliling menjual barang-barang kebutuhan rumah tangge,” katanya tanpa ditanya. “Tapi kalau musim cumi, saye ke Karimata. Ini kali kedue anak saya ikut.”

Saya manggut-manggut.

“Tergantung keadaan,” jawab penumpang lain ketika saya mengatakan ke mana mereka menjualnya. “Biasenye ke pengepul, tapi bise pule kami langsung berlayar ke Belitong kalau dapat kapal yang meng-es-kan tangkapan.”

“Tiga-empat belas jam,” kata penumpang lain ketika saya menanyakan waktu tempuh ke salah satu pulau di Sumatera itu.

 “Pekerjaan ditinggal dulu,” kata seorang penjual gulali yang untuk kali pertama mencoba peruntungan menangkap cumi di Karimata. “Jual balon dan gulali, kalau dari itung-itungan nangkap cumi, kalah jauh!”

“Berapa lama meninggalkan keluarga?”

“Bisa satu bulan,” jawabnya santai, “atau bisa juga sebelum musim angin selatan pada Desember nanti.”

Angin Selatan adalah istilah yang digunakan untuk musim badai di Bulan Desember.

“Nyumik juge ke Karimata?” tanya salah seorang penumpang dengan nada sangsi. Ia melihat pakaian dan sepatu saya dengan saksama. Nyumik adalah istilah yang umum digunakan orang-orang Karimata untuk menyebut aktivitas menangkap cumi.

“Buat ape menulis?” tanyanya setelah saya menjawab.

Alamak! Susah saya menjelaskan.

“Berape dapat sehari dari menulis? Ape ukurannnye? Kilo? Ton? Atau lembar kertas? Macam mane pula ngitungnye?”

Saya mengembuskan napas.

Ale memanggil saya. “Ngopi sinek, Benn!”

Sungguh saya merasa terselamatkan.

“Apakah para pendatang ke Karimata di kapal ini tidak punya topik lain selain cumi dan cumi?”

Ale tertawa. “Bukan hanya para pendatang,” kata Ale yakin. “Semua orang Karimata, Benn.”

“Jadi?”

“Kamu pernah bilang, bukan,” katanya seperti menagih, “bahwa menulis tanpa membaca adalah kesia-siaan?”

Saya mengangguk, ragu.

“Di Karimata, kamu akan berhadapan langsung dengan kesia-siaan itu.”

“Kamu berharap semua anak di Karimata adalah anomali alias beroleh karomah dari Tuhan sehingga bisa kusihir jadi penulis?” Saya geram.

“Kalau bukan begitu, buat apa kamu ke sinek?”

Saya benci lagaknya hari ini.

Di hadapan kami, pelabuhan tampak sudah. Oh, Karimatakah?

***

TERNYATA, tak seburuk yang saya takutkan.

Setelah melewati Pulau Betuk, kapal memang diombang-ambing ombak dan lebih berembus kencang dari biasa. Tapi, para penumpang tampak tak terganggu sedikit pun. Tak ada kecemasan dan kekhawatiran. Palka masih ramai oleh awak kapal yang ngobrol sembari merokok. Fauzan dan Ale malah asyik ngobrol dengan duduk bersandar di pagar pembatas kapal yang langsung bersisisan dengan laut yang berombak. Sementara di atap kapal, Ghifari dan Feri malah asik ngobrol bersandar di barang-barang yang ditutupi terpal. Saya bergabung dengan mereka.

Benar, tidak ada yang perlu dicemaskan. Malah, saya bisa menunaikan Asar di atas atap padahal kapal sedang bergoyang oleh gelombang. Nyali dan mental ternyata bukan tentang konsep, tapi tentang ujian dan pengalaman.

Di sini, semua perbincangan penumpang kapal hanya tentang cumi dan cumi. Oktober adalah salah satu bulan keemasan untuk menangkap cumi. Dan cumi Karimata adalah kualitas premium yang tak tergantikan sampai hari ini. “Semalam biasa dapat 50 kilo,” kata seorang penumpang yang berasal dari Sintang. “Kalau anak saya,” ia menunjuk anaknya yang berusia 10 tahun, biasanya dapat 30 kilo.

Ya ampun. Benar-benar orang pulau!

“Di Sintang, saye biase berkeliling menjual barang-barang kebutuhan rumah tangge,” katanya tanpa ditanya. “Tapi kalau musim cumi, saye ke Karimata. Ini kali kedue anak saya ikut.”

Saya manggut-manggut.

“Tergantung keadaan,” jawab penumpang lain ketika saya mengatakan ke mana mereka menjualnya. “Biasenye ke pengepul, tapi bise pule kami langsung berlayar ke Belitong kalau dapat kapal yang meng-es-kan tangkapan.”

“Tiga-empat belas jam,” kata penumpang lain ketika saya menanyakan waktu tempuh ke salah satu pulau di Sumatera itu.

 “Pekerjaan ditinggal dulu,” kata seorang penjual gulali yang untuk kali pertama mencoba peruntungan menangkap cumi di Karimata. “Jual balon dan gulali, kalau dari itung-itungan nangkap cumi, kalah jauh!”

“Berapa lama meninggalkan keluarga?”

“Bisa satu bulan,” jawabnya santai, “atau bisa juga sebelum musim angin selatan pada Desember nanti.”

Angin Selatan adalah istilah yang digunakan untuk musim badai di Bulan Desember.

“Nyumik juge ke Karimata?” tanya salah seorang penumpang dengan nada sangsi. Ia melihat pakaian dan sepatu saya dengan saksama. Nyumik adalah istilah yang umum digunakan orang-orang Karimata untuk menyebut aktivitas menangkap cumi.

“Buat ape menulis?” tanyanya setelah saya menjawab.

Alamak! Susah saya menjelaskan.

“Berape dapat sehari dari menulis? Ape ukurannnye? Kilo? Ton? Atau lembar kertas? Macam mane pula ngitungnye?”

Saya mengembuskan napas.

Ale memanggil saya. “Ngopi sinek, Benn!”

Sungguh saya merasa terselamatkan.

“Apakah para pendatang ke Karimata di kapal ini tidak punya topik lain selain cumi dan cumi?”

Ale tertawa. “Bukan hanya para pendatang,” kata Ale yakin. “Semua orang Karimata, Benn.”

“Jadi?”

“Kamu pernah bilang, bukan,” katanya seperti menagih, “bahwa menulis tanpa membaca adalah kesia-siaan?”

Saya mengangguk, ragu.

“Di Karimata, kamu akan berhadapan langsung dengan kesia-siaan itu.”

“Kamu berharap semua anak di Karimata adalah anomali alias beroleh karomah dari Tuhan sehingga bisa kusihir jadi penulis?” Saya geram.

“Kalau bukan begitu, buat apa kamu ke sinek?”

Saya benci lagaknya hari ini.

Di hadapan kami, pelabuhan tampak sudah. Oh, Karimatakah?

***

Benny Arnas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *