Karimata, Kapan Tiba .… (3)
JELANG tengah hari, dari para penumpang lain, saya beroleh kabar kalau kapal akan menurunkan beberapa dari mereka di Pulau Papan. Tidak seperti harapan saya bahwa kami bisa membeli nasi atau apa saja yang bisa mengisi perut di pelabuhan nanti, ternyata kapal tidak merapat. Beberapa perahu nelayan mendekat untuk menjemput penumpang. Apakah di antara mereka ada yang sekaligus berjualan? Ternyata tidak.
Fauzan sibuk membincangkan usaha kambingnya yang mulai menunjukkan hasil menggembirakan kepada Feri yang begitu semangat tiap kali mendengar peluang usaha baru. Sementara Ghifari, seperti biasa, kalem. Pemuda 23 tahun ini tampak lebih nyaman menjadi pendengar dan sesekali ikut tertawa ketika ada yang melempar joke. Saya berjalan ke palka. Mengambil foto dan video untuk dua tujuan yang sudah saya pastikan gagal: kill the time dan melupakan rasa lapar.
Ale mengajak kami masuk karena sudah banyak penumpang yang turun sehingga badan kapal bisa kami gunakan untuk istirahat. Ya, tiga jam kami hanya beredar di palka—kadang duduk, mondar-mandir, bercerita, atau sekadar melamun memandang laut lepas. Setelah bosan di palka, saya berjalan ke badan kapal. Sebagaimana biasa, Ale menjadi juru cerita. Kali ini pendengarnya bukan hanya Fauzan, Ghifari, dan Feri, tapi juga beberapa penumpang lain.
Baru saja saya bergabung, Ale meminta saya menjelaskan kepada orang-orang tentang pelatihan menulis yang akan saya berikan di Karimata. Tentu saja saya bergeming. Pertama, saya sedang lapar. Kedua, penumpang yang ditahbiskan Ale sebagai pendengar saya itu adalah para penumpang yang sedang menghabiskan bekal mereka masing-masing.
Saya meminta Fauzan memasang wajah memelas. “Coba saja, Zan,” canda saya, “siapa tahu ada yang menawarkan,” kami sama-sama melirik ke penumpang yang asyik makan.
Ghifari sedang menonton film-film hasil unduhan di ponselnya ketika Ale muncul dari arah belakang kapal. Ia bergabung ke para penumpang yang sedang makan dengan sepiring nasi di piring (o, dari mana ia mendapatkan nasi?).
“Wah, ada rendang jengkol!” teriaknya seraya mengambil beberapa potong jengkol para penumpang di wadah plastik di lantai kapal.
“Ambil jak, Bang.”
“Ikannya sekalian, Bang!” seru yang lain.
Dan puncaknya adalah … “Kami bawa banyak nasi, Bang,” seru seorang perempuan 30 tahunan ke arah saya, Fauzan, dan Ghifari.
Tanpa pikir panjang, kami bergabung sehingga rendang jengkol dan ikan goreng bekal penumpang kami “selesaikan”.
Saya bersendawa dua kali ketika Ale membawakan segelas kopi. “Nih!” ia menyodorkannya ke kami. “Kalau mau banyak, dekati awak kapal di belakang atau kapten di depan. Ini jam ngopi!”
Fauzan dan Ghifari seolah sedang memikirkan tawaran ketika saya menyeruput kopi yang Ale berikan. Alamakjang, nikmatnya oi!
“Le,” kata saya ketika kami duduk berhadap-hadapan di tubir pembatas kapal berhadapan sambil sesekali memandang pulau-pulau di timur yang hijau dan bagai mendekat, “Beneran kita akan menginap di Betuk nanti? Kenapa?”
Ia mengambil gelas kopi dari saya dan menyeruputnya. “SOP-nya begitu.”
“Rencanamu?”
“Kalau di Betuk ada sinyal, aku akan menelepon Mugie untuk menjemput kita dengan kapal nelayan.”
“Barang kita banyak ni, Le!”
“Bismillah ajalah,” katanya santai. “Kekhawatiranmu kek orang nggak pernah solat!”
Kurang ajar!
“Zan, Ri,” kata saya ketika Fauzan dan Ghifari mendekat, “Kalian pilih menginap atau dijemput kapal nelayan di Betuk?”
Tentu saja saya mengharapkan dukungan.
“Kami terserah jak, Bang.”
Hei!
“Termasuk dijemput kapal nelayan?”
“Asik tu, Bang!” cetus Fauzan.
Ghifari mengangguk-angguk seperti menyepakati.
“Apa yang kautakutkan, Benn?” seru Ale. “Bermalam, tinggal tidur. Dijemput, tinggal ikut.”
“Kalau kapal terbalik?”
“Berenanglah kita!” tukas Ale.
“Abang bisa berenang, ‘kan?”
“Bisa,” jawab saya. “Di kolam renang,” sambung saya dalam hati.
Kapal oleng. Saya lihat air laut. Ombak sedang bergeliat. Saya lihat awak kapal dan para penumpang di dalam. Mereka masih asyik ngobrol. Ketiga rekan saya yang lain juga tak menampakkan perubahan air muka sedikit pun.
“Bang,” kata Feri dengan mulut penuh makanan (entah apa yang ia kunyah), “kabarnya badai besar malam ni.”
Kami refleks menoleh.
“Tampaknya tak besar, Fer!” kata Ale santai.
“Kalau begitu kita menginap dulu di Betuk,” saran saya.
“Kabar gembira!” seru seorang awak kapal yang baru keluar dari bilik kapten di depan.
“Bisa?” kata Ale dengan mata membelakak, seakan-akan ia sudah menangkap apa yang hendak dikatakan laki-laki ceking itu.
“Kapten akan meneruskan perjalanan sampai ke Padang.”
Semua bersorai, kecuali saya. Bagaimana dengan badai, bertik hati kecil saya.