Karimata, Daerah 3J

DESA Padang adalah gerbang Karimata lewat laut. Di sini, sebagaimana kampung nelayan, kapal-kapal mengapung di pelabuhan. Mungkin karena kami tiba lepas Magrib, tidak tampak aktivitas bongkar-muat hasil tangkapan di kapal-kapal tersebut. Pelabuhan juga jauh dari riuh karena para lelaki belum kembali dari “nyumi”.
Setelah mengoper barang bawaan kami dari satu kapal ke kapal lain, sebelum akhirnya tiba di sepetak jalan lurus yang ke permukiman, kami pun mampir ke warung yang menjual aneka kebutuhan rumah tangga yang pertama kali kami temui.
Sebuah meja panjang di dalam warung berukuran 8 x 5 meter itu memberi tahu bahwa minum kopi menjadi aktivitas harian. Tapi, kami tidak memesan kopi. Saya dan Ale memesan teh es, sementara sisanya memesan teh panas. Kue kering dalam toples plastik besar menjadi sasaran kami. Merasa kurang, saya, Ghifari, dan Fauzan memesan popmi yang dimakan dengan telur asin. Amboiiii!
Dari Ale, kami tahu kalau jarak homestay-nya dengan Desa Padang sekitar 4 kilometer. Tak ada mobil di Karimata. “Tapi kami punya dua kendaraan roda empat, Benn,” kata Ale. “Yang satu di Desa Padang ini, satu lagi di Tanjung Ru di mana homestay-ku berada.”
“Kendaraan ape?” tanya Fauzan.
Kami sibuk bermain tebak-tebakan dalam kepala.
Tiga puluh menit kemudian, sebuah motor pikap datang dengan suara knalpot yang bikin sakit telinga.
“Hanya di Karimata, beruk bisa mengendarai kendaraan,” seru Ale begitu tosa (begitu orang-orang Karimata menyebut motor pikap bermuatan 8 orang itu) berhenti di depan warung.
Tentu saja kami bingung.
“Sambutlah si Beruk!” seru Ale seraya mengarahkan kedua tangannya ke laki-laki 30 tahun berperut buncit di depan kemudi tosa.
Namanya Berukkah, batin saya—juga tentu saja yang lain.
Laki-laki yang dipanggil Beruk itu hanya tertawa kecil, seolah-olah sudah kapalan dengan tingkah Ale.
Kami menawari Beruk untuk makan popmi bersama, tapi ia hanya tersenyum di atas tosa seraya menggeleng.
“Ayo, buruan!” kata Ale sehingga kami buru-buru menghabiskan popmi dan minuman yang sudah kami pesan.
Di atas tosa, kami melalui jalan setapak penuh lubang. Penerangan rupanya tidak merata. Di jalanan tanpa rumah penduduk, tak ada penerangan. Lampu depan tosa juga tak menyala sehingga Beruk mengikatkan senter di kepala.
Lima belas menit tosa melaju, tosa berhenti di depan rumah penduduk yang berandanya tampak ramai. “Ada Pak Bupati di rumah Sekdes,” kata Ale.
Kami pun turun.
“Kita makan di sini saja,” kata Ale ketika kami melompat turun dari tosa.
“Itu kalau memang ditawarkan tuan rumah atau Pak Bupati dan rombongan.”
Lalu ia tertawa sendiri, kontras dengan kami yang memandangnya dengan tatapan kesal.
Tapi, syukurlah. Belum sepuluh menit, kami berbincang. Baru dua hirup kopi panas sajian rumah saya seruput, kami diminta Bupati untuk makan di dalam. Alamak, ketemu cumi lagi. Cumi dimasak santan dengan ikan laut digoreng tepung.
Tentu saja kami makan sangat lahap.
Kenikmatan di malam yang masih muda itu makin purna ketika kopi saya tadi sudah diganti dengan kopi baru yang lebih panas. Bupati meminta saya duduk di dekatnya. Sebagai tamu paling jauh ia tampak bersemangat menceritakan Karimata kepada saya. Beberapa ceritanya sudah saya dapat dari Ale.
“Tulislah tentang pulau yang dilupakan ini, Mas Benny,” pintanya setelah kami ngobrol hampir setengah jam.
“Insya Allah, Pak,” kata saya.
“Bagaimana mungkin pulau indah dengan hasil laut tak pernah habis itu hanya akrab di telinga, tapi jauh ….”
“Saya menyebutnya 3J, Pak,” timpal saya cepat.
“3T?” kata Pak Bupati seperti mengoreksi.
Saya menggeleng. “3J, Pak,” kata saya mantap.
“Apa itu?”
“Karimata memang dekat di telinga, tapi 3J.”
Bupati dan rombongannya menunggu lanjutan kalimat yang sengaja saya jeda tersebut.
“Jauh di mata, jauh di hati, jauh dari mana-mana.”
Semua tertawa.
Tawa yang getir.
Semua tertawa.
Menertawakan diri sendiri.
***