Generasi India dan Laki-laki yang Mencari Saya dengan Parang di Tangannya
PERTEMUAN ketiga kelas menulis saya habiskan dengan memeriksa premis tulisan para peserta. Sebagian besar menulis cerita rakyat, baik mitos maupun legenda. Bagi saya, ini kabar baik. Kekayaan budaya kerap kali tidak dianggap karena pragmatisme lebih melihat sumber daya alam yang mudah menghasilkan uang. Tak terkecuali di Karimata, yang dalam ceramahnya medio Oktober 2020, Ustaz Abdul Somad menyatakan bahwa sejak zaman Nabi Adam hingga hari ini, kekayaan laut pulau ini tak pernah habis.
Cerita tentang Teungku Abdul Djalil yang memimpin perlawanan melawan penjajah (baca: Belanda); tentang pelayaran si Teungku menggunakan kapal papan dan layar terpal sehingga tak berdaya dihajar badai; tentang Tuanku Bujang yang gagal menyunting gadis pujaan di Pulau Labuan; tentang sedekah laut di Karimata Tua, dan lain sebagainya.
Premis-premis itu adalah embrio bagi sumbangan kekayaan budaya dari mereka untuk tanah kelahiran—Karimata. Kami membahas calon-calon cerita dengan penuh semangat. Antusiasme peserta belajar adalah bahan bakar energi sang guru. Dan hal itu tengah terjadi di antara kami. Tengah menimpa kami.
“Premis kalian menarik dan sekaranglah waktunya riset,” kata saya di ujung kelas. “Tapi … rasanya perihal riset, sudah bisalah kalian lewati. Itulah salah satu keunggulan menulis lokalitas, sesuatu yang paling dekat dan paling kita tahu sebab ia sudah ada di sekitar penulisnya sejak dulu, sudah lebur dalam darah dan kehidupan kalian tanpa disadari.”
Lalu saya menyampaikan ketentuan teknis penulisan.
“Ada apa?” tanya saya ketika Dul, remaja 22 tahun dari Desa Padang, memperhatikan tangan kanan saya.
“Eh iya,” seru Karin, remaja Sungai Abun yang masih duduk di kelas 3 SMP. “Tangannya kenapa, Bang Benn?”
Ya Allah, saya baru sadar. Lengan saya bukan hanya penuh bintik merah, tapi juga bintik kudisan karena tampaknya sering digaruk tanpa sadar. Saya butuh waktu beberapa saat untuk memikirkan sebabnya sebelum Mas Mugie, rekan Ale di homestay, mengatakan itu efek cumi dan lobster.
“Tubuh Bang Benn terkejut,” kata Mas Mugie. “Di sini, semua lauknya protein kuadrat pangkat delapan!”
Semuanya tertawa.
Saya harus stop makan cumi, lobster, atau ikankah, tanya saya ragu. Ooooo tentu tidak, Ferguso! Kapan lagi dan kapan lagi bisa “semevvah” ini. Ya, “semevvah” di Karimata. Cumi besar-besar, lobster yang mahalnya na’uzubillah di kota, atau ikan-ikan kaya gizi yang … kepada pendatang dan guru seperti saya dan Ale … menjelma jadi “tak ada harga”.
“Saya juga dulu begitu,” kata Mas Mugie lagi yang, entah bagaimana caranya, sudah ada di dekat saung tempat kami belajar.
“Mas Atin dan Kapten juga,” ia menunjuk laki-laki berdarah Sunda yang 6 bulan belakangan menjadi juru masak di homestay dan Ale yang sedang memberi makan Jack dan Sparrow, dua elang peliharaan mereka.
Kemarin saya juga baru tahu, kalau di Karimata, orang-orang memanggil Ale “Kapten O”.
Mas Mugia dan saya di saung diskusi kami di depan homestay/Dok. Pribadi Penulis/Benny Arnas
Oh ya, Mas Mugie adalah pegiat teater di Pontianak. Dua puluh tahun ia menjadi bagian dari pemanggungan dan merasa … tidak memberi dan dapat apa-apa.
“Sembilan bulan lalu saya ketemu orang gila!” katanya suatu ketika seraya menoleh Ale yang sedang menyulut rokok.
“Saya takjub dengan semua gerakannya di Karimata. Anak-anak memanggilnya Kapten karena ia punya kapal di pelabuhan yang sedang direnovasi. Ia bercita-cita bisa berlayar dengan posisi sebagai kapten. Mimpi gilanya ia ceritakan pada anak-anak yang ia ajar baca-tulis tiap hari.”
“Trus?” Sungguh, saya makin merasa jadi debu.
“Kapalnya masih tertambat di dermaga. Mesinnya rusak. Tapi anak-anak yang kadung mencintainya kadung juga memanggilnya Kapten.”
Saya cegah mata saya basah. Saya mau bukti, batin saya.
“Karena kegilaan Ale itu, saya tak mau kalah,” Mas Mugie belum selesai rupanya. “Saya bilang kepadanya. Saya mau ikut. Kami naik kapal nelayan dari Pontianak 22 jam. Dihajar musim angin selatan yang membuat ujung palka kapal nelayan pecah. Untung perbaikan di atas kapal di tengah hujan bisa dilakukan.”
Allah. Saya bisa membayangkan. Alangkah horornya.
“Saya ingin mewakafkan diri saya buat Karimata, Bang Benn.”
Kini saya baru ngeh. Kenapa saban bakda Zuhur anak-anak ramai datang, meski Mas Mugie berteriak seperti hendak mengusir, “Yang belum solat Zuhur, ambil wudu cepat! Atau pulang sana!” Dan anak-anak itu selalu nurut.
“Selain mengajar baca, saya juga mengajarkan mereka mengaji.”
Mata saya hangat.
“Bang Benn,” kata Dul tiba-tiba.
Ah, ia memecahkan lamunan saya. Pemuda 22 tahun itu bertanya tentang bagaimana merealisasikan premis ke dalam cerita.
“Sebentar lagi kita akan belajar,” kata saya seraya membersihkan papan tulis dengan kain lap. “Saya beri waktu 10 menit, premis-premis yang sudah kita sepakati, kalian tulis rapi-rapi. Tanpa coretan.”
Saya melanjutkan lamunan.
Saya dan Ale ke Dusun Padang dan Sungai Abin sore kemarin. Saya ingin membuktikan … dan ….
“Kapten!”
“Kapten O!”
“Oi, nak ke mane, Kapten!”
“Mampir oi, Kapten!”
“Kapten!”
Tidak anak-anak, tidak remaja, tidak orangtua, semua menyapanya. Aktivitas apa pun berhenti sejenak demi menyapa Ale sang Kapten yang membonceng saya di atas sepeda motor tanpa rem.
Oh ya, everibodi, ada tiga ciri sepeda motor di Karimata sejauh ini:
Semuanya butut
Tak ada rem
Kuncinya tak pernah dicabut dari tempatnya.
Khusus yang ketiga, Ale pernah nyeletuk, “Kota ini adalah kandang kaca. Tak ada yang bisa bersembunyi dari pandangan sesiapa.”
Hmm, saya mengerti kini.
Saya sedang belajar menjadi … pegiat literasi sesungguhnya di sini.
“Dul,” kata saya begitu saya menyadari kalau pemuda itu masih memelototi lengan saya yang kudisan, “setelah kelas, belikan pil ctm ya?”
Ia mengangguk. Saya bersikeras memintanya membelikan, meski teman-temannya bilang kalau itu akan membuat saya mudah mengantuk.
“Ayo break dulu!” Ghifari mendekat dengan senampan bakwan.
Di belakangnya, Bang Atin membawa beberapa gelas es kopyor dalam tatakannya.
“Eh, Bang Benn!” kata Risna tiba-tiba.
Kami refleks menoleh, sebagaimana saya yang urung memulai tegukan pertama es kopyor.
“Saya sekarang tahu Tere Liye.”
Saya yang baru minum, hampir saja keselek potongan kelapa muda.
“Itu adalah potongan lirik lagu Tum Hi Ho,” lalu ia menyanyikan penggalan lagu yang membunyikan “tere liye”.
Keempat temannya alih-alih menahan tawa sebagaimana saya dan Ale yang tiba-tiba sudah ada di balik papan tulis, malah menyanyikan lagu Tum Hi Ho secara penuh dan meneriakkan lirik “tere liye” dengan lebih keras dan ekspresi berlebihan seakan-akan mereka khatam arti dan makna lagu itu.
Ale dan Jack, elang peliharaannya, di Karimata/Dok. Pribadi Penulis/Benny Arnas
Saya, Ale, dan rekan-rekan residensi saya dari Pontianak yang sedari tadi memperhatikan jalannya kelas, tak lagi bisa bertahan. Saya tertawa, mereka juga tertawa. Anak-anak kelas menulis juga tertawa. Tentu untuk alasan berbeda.
“Bagaimana Tere Liye bisa terkenal sampai India, Bang Benn?” tanya Karin serta-merta.
Tawa kami makin jadi. Anak-anak kelas menulis malah bengong. Ini yang saya bilang, tertawa kami di atas untuk dua alasan yang tak sama.
Dasar, generasi India!
“Apakah keempat teman kalian masih mungkin datang?” kata saya setelah keriuhan itu berakhir karena saya meminta mereka menghabiskan es dan bakwan yang sudah dihidangkan.
Mereka saling pandang. “Sardi dan Susanto tadi mau datang, tapi … tentu mereka milih nyumi karena besoknya langsung dapat duit.”
“Saya paham,” saya tak punya stok kata pemakluman apa lagi. “Jangan dipaksakan,” suara saya pasti terdengar pasrah. “Tunjukkan saja catatan kalian ke mereka. Mungkin bisa kirim foto via WA.”
Mereka diam. Saya tahu, di sini, kirim sekarang, berjam-jam kemudian gambarnya baru bisa dibuka (apalagi video!!!).
“Sepuluh menit lagi kita masuk materi baru.”
Yang lain masih asyik makan dan minum.
“Rewriting,” beri tahu saya.
“Apa, Bang Benn?” teriak mereka hampir serentak.
“Setelahnya, kalian libur dua hari untuk menulis cerita sampai selesai,” saya lebih tertarik menyampaikan tugas daripada mengulangi judul materi yang sebentar lagi saya bawakan. Saya baru sadar telah keliru memilih judul karena lupa mencari padanan kata bahasa Indonesianya (maafkan saya Ivan Lanin, atas kekhilafan ini).
Seorang bapak-bapak mendekati kami. Karin bangkit. Wajah keempat temannya pucat. Saya menoleh ke belakang, di mana mata anak-anak kelas menulis tertuju.
Laki-laki itu membawa parang.
Saya meneguk liur.
Saya tahu, jalan ini tidak mudah.
“Assalamu’alaikum, Pak,” kata saya begitu laki-laki mendekati saung kami.
Dia tidak menjawab. Parangnya, di mata saya, tampak mengilap dan … kuasa menebas segala. Aduh, membayangkan kulit disayatnya dan darah yang mengucur setelahnya sungguh … Aduh!
“Mana yang namanya Pak Beni?” suaranya dalam, tapi kuasa menggetarkan.
Suasana tegang seketika.