Sementara Jarum Jam Terus Berdetak
TIAP bangun pagi, dari kamar homestay yang tinggi, saya selalu dibuat terpesona oleh laut Karimata yang membentang memancarkan tiga lapis warna: biru muda dekat pantai, biru toska di tengah, dan biru langit di kejauhan.
Lapis paling jauh itu, kalau saja tak ada awan yang mengambang di kejauhan, sangat mungkin membuat sesiapa mengira kalau laut membentang meliuk hingga angkasa. Turun ke saung kecil yang hanya berjarak kurang dari 10 meter dari bibir pantai adalah momen favorit saya. Sambil menyeruput kopi, saya biasa bertegur sapa dengan penduduk Tanjung Serunai yang mengayuh sampan di tepi pantai untuk mencari kayu bakar ke arah timur. Karena itu pula (jarak sampan yang begitu dekat dengan pantai), saya jadi tahu kalau lewat tengah malam hingga menjelang Duha air selalu pasang.
Sore hari, usai mengajar kelas menulis, laut yang jernih dan mulai surut sehingga jarak saung—yang juga sering kami jadikan kelas menulis—makin melebar selalu berhasil menggoda saya untuk menceburkan diri ke sana.
Biasanya bersama para remaja/pemuda atau anak-anak yang belajar mengaji dengan Mas Mugie atau bermain dengan Ale. Tapi, beberapa kali saya melakukannnya sendirian. Menyelam lalu muncul ke permukaan melongok kapal-kapal cumi yang berjarak kurang dari 10 mil dari bibir pantai di kejauhan. Meskipun mata saya agak pedih, tapi sensasi “memiliki” pantai pribadi, ah, alangkah sayangnya apabila sekadar dipandang, tapi tak “dialami” dengan menceburkan diri ke laut lepas ….
Tapi, tidak dengan sore itu.
Setelah menutup kelas, Ale membonceng saya ke Dusun Padang dengan sepeda motornya yang … selain butut, juga … tak ada rem! Kami harus menguji kualitas internet di bawah menara Telkomsel yang berkecepatan 1 Mbps (Catet: 1 Mbps!) dan internet satelit di kantor kepala desa yang beberapa hari ini ngadat.
Hasilnya, hingga pukul 10 malam kami menemukan kenyataan bahwa tidak satu pun layanan komunikasi di Karimata ini layak untuk Zoom.
Ya, pagi ketika tulisan ini tayang, saya harus mengisi workshop menulis cerpen selama 4 jam. Acara yang dihelat Balai Bahasa Sulawesi Tengah itu, mulanya saya terima karena internet satelit itu yang berkekuatan 20 Mbps—dan sering ngadat!—itu akan normal “pada waktunya”.
“Tenang,” kata Ale waktu itu. “Nanti kita minta tolong teknisinya.”
Masalahnya, kami lupa kalau tanggal 27 itu alangkah cepatnya tiba. Dua teknisi ternyata tak ada di tempat; satu di Ketapang, satu di Belitung. Sementar Ghifari yang membersamai kami sejak awal residensi sejak lima hari lalu melakukan riset di Belitung dan kapal nelayan yang ia tumpangi sudah bertolak ke Karimata sejak sore harinya. “Mungkin sekitar pukul 7 atau 8 atau 9 pagi,” prediksi seorang nelayan tentang waktu tibanya kapal itu.
Tentu saja sangat tidak mungkin mengharapkan Ghifari akan membantu membereskan masalah jaringan dan layanan data ini.
“Ada,” kata Aliman, seorang nelayan yang kami temui di ujung Dusun Padang. “Beli paket Ubique ….”
Ah dia menyebut sebuah nama paket yang susah saya ingat (saya mengetik catatan ini bakda Subuh dan Ale yang bisa saya tanyai masih lelap di kamarnya).
“1 GB-nya 250 ribu!”
Alamak!
“Mungkin Bang Benn butuhnye sampai 2 juta agar bisa zoom pagi besok.”
Saya dan Ale bersipandang.
Setelah menanyakan di mana kami bisa mendapatkan paket supermahal itu, Ale menepuk bahu saya, “Kita pulang, Benn,” katanya, antara tenang dan pasrah. “Kita pikirkan nanti. Sudah cukup perjuangannya sampai jelang tengah malam ini.”
Ale benar. Waktunya berdoa dan berserah.
Kami pun menuju homestay. Yang saya (tentu juga Ale!) bayangkan adalah kasur yang empuk untuk istirahat yang cukup.
Saya sendiri membayangkan masih akan mengutak-atik berkas salindia yang disesuaikan dengan kebutuhan lokakarya (aduh, mengapa ini tak saya lakukan jauh-jauh hari) dan berharap sinyal lewat tengah malam di tepi pantai akan bersahabat (biasanya begitu), meski saya sangsi kekuatannya bisa mengantarkan powerpoint saya ke panitia. Allah.
Webinar Kelas Menulis: Secuil Ide hingga Karya
Dalam keadaan badan penuh keringat dan gatal-gatal (di catatan sebelumnya, saya sudah bilang: badan saya penuh bentol yang mirip kudis karena cumi, lobster, dan ikan laut yang dikonsumsi setiap hari mengasup protein berlebih—paling tidak dibanding sebelum saya ke Karimata!) saya tak sabar ingin mandi dulu setiba di homestay. Tapi ….
Ternyata, rumah kayu yang berjarak 4 kilometer dari permukiman itu masih gelap gulita. Bang Atien, juru masak yang biasanya menghidupkan genset tiap sore, ikut Mas Mugie nyumi. Alamak!
“Solar kita habis, Benn,” kata Ale, lemah dan geram.
Tidak ada pilihan. Kami berbalik ke permukiman. Semua warung sudah tutup. Satu yang buka dan mengatakan sudah sepekan ini kapal-kapal penyalur solar tak memberi mereka “barang”.
“Saya harus memastikan laptop, power bank dan ponsel saya penuh daya besok pagi, Le,” kata saya ketika kami melaju dalam diam.
Di kemudi, Ale mengucek matanya berkali-kali. Gerimis. Tak lama kemudian, angin kencang berembus. Hujan turun. Lebat dan … renyai.
Kami mampir di rumah Pak RT. Terdiam. Mematung.
Hari menunjukkan pukul 23.12. Tepat tengah malam, lampu di permukiman akan dipadamkan Bang Beruk yang diamanahkan sebagai petugas dari kantor desa.
“Kamu tunggu di sini,” kata Ale. Saya tak menyahut. Ale menyalakan sepeda motornya. Dia hanya mengenakan sehelai kaus oblong, tanpa jaket, tanpa helm. Hujan masih lebat. Kilat menyambar-nyambar. Dan waktu tak bisa diajak berhenti, meski sebentar saja.
4 Comments
Mantap
makasih, Ton
Enak banget bacanya
makasih ya. ayo baca kisah lengkapnya di seri yang lain …