Upaya Menghidupi Hidup

 Upaya Menghidupi Hidup

RUPANYA Ale membangunkan Bang Beruk di rumahnya. Dalam keadaan tanpa minyak, genset homestay sering ngadat. Dan Bang Beruk adalah satu-satunya seorang buta huruf yang ahli dalam urusan permesinan apa pun di Dusun Tanjung Ru.

“Ambil saja solar saye, lima liter,” tawar Bang Muaweng, si Pak RT yang rumahnya saya jadikan tempat berteduh sekaligus membereskan berkas salindia materi besok sembari menuggu Ale datang.

Lewat tengah malam itu, ketika saya dan Ale tiba di homestay yang gelap. Beruk sudah ada di dekat genset dengan senter di kepalanya. Ia mengotak-atik genset sekaligus memberi tahu kami masalah mesinnya. Kami tidak terlalu paham meski tetap mendengarkannya.

“Bang Beruk tidurlah di sini jak,” tawar Ale ketika akhirnya listrik menyala.

“Istri saya di rumah takut prakang, Kapten,” katanya dengan mimik serius.

“Istrimu hamilkah?”

Bang Beruk menggeleng. Prakang adalah jelmaan orang yang pernah mati di laut. Ia bisa muncul tanpa alasan. Tapi orang-orang Karimata percaya ia menyukai darah bayi yang baru lahir.

“Kalaupun prakang itu datang, dia langsung lari terbirit-birit, Ruk. Basan kalian berdua sama-sama besar,” kata Ale bersemangat, “Diam saja pun kalian di rumah, prakang bakal mengira kalian derum.”

Saya mau tertawa, tapi muka Bang Beruk serius sekali. “Akram takut sama binatang laut jadi-jadian yang bisa terbang, Kapten.”

Ale tertawa tanpa suara. Saya tak ingin melakukan hal serupa di depan Bang Beruk yang tampaknya tidak memiliki selera humor. Dia pamit dengan tosa-nya. Kendaraan jemput roda tiga itu ia kendarai dengan ngebut sehingga deru mesinnya terdengar sampai ke dalam homestay.

“Keluarga beruk, Benn,” kata Ale, “sebagaimana orang-orang sini kebanyakan: percaya dan takut hantu.”

Saya tahu, meski saya agak bingung.

“Pulau ini tak memiliki hiburan apa pun. Tak ada wahana permainan. Tak ada supermarket. Tak ada tempat berlibur sebab semua tempat pernah dan tiap hari orang-orang dusun kitari. Baik lewat darat, apalagi laut. Jadi, selain nyumi, makan, tidur, repeat, mereka harus menciptakan ‘hiburan’ atau ‘sensasi lain’ untuk membuat hidup lebih berwarna.”

Saya bersama Bang Beruk.

“Narasi hantu-hantu itu pun hidup.”

“Endorfin dan adrenalin mereka punya alasan untuk keluar, Benn.”

Saya setuju tentang itu. Analisis yang menarik, Le.

“Kamu masih akan menyelesaikan materi?” kata Ale ketika hendak ke homestay. “Aku tak bisa menemani. Aku mau tidur. Subuh-subuh harus bangun untuk membawamu ke Padang. Kita harus menguji sinyal bawah tower atau ke kedai di pelabuhan yang menjual paket ubiqu.”

Saya ke belakang. Menjerang air. Membuat kopi sedikit gula. Menyalakan laptop di saung yang menjorok ke pantai sekaligus “menjaring sinyal” yang biasanya “normal” lewat tengah malam.

Ya, urusan sinyal di sini adalah permasalahan serius. Kalau foto terunggah di media sosial, artinya ia telah melalui masa tunggu 1 hingga 3 jam. Sedangkan video bisa lebih lama. Pernah, hanya untuk mengunggah video 13 detik di Facebook, membutuhkan waktu hingga 51 jam alias lebih dari dua hari!

Sekitar pukul satu, beberapa berkas power point terkirim ke WhatsApp panitia, meski subuh harinya, ketika saya membuka ponsel, panitia mengatakan kalau tidak satu file pun yang bisa dibuka karena proses pengiriman yang bermasalah.

“Webinar akan mulai tepat pukul 8 ya, Pak,” kata panitia. “Acara kita langsung ke Pak Benny. Tanpa sambutan. Paling, hanya dibuka singkat oleh moderator yang mengenalkan Bapak.”

Saya harap semuanya baik-baik saja. Subuh itu saya berdoa lebih panjang. Setelah menulis jurnal harian, saya menjerang air, mencuci baju, dan gegas mandi.

Pukul setengah tujuh, saya membuat kopi. Ale yang ternyata sudah duduk di saung dengan laptopnya yang terbuka memandang ke saya dan membaca gelagat saya. “Kopi satu, Benn!”

Saya tahu, dia sedang membuat rincian peristiwa bakal novelnya. Ya, selain mengajarkan anak-anak Karimata menulis cerita lokal, Ale meminta akses privat belajar menulis novel.

“Tidakkah perjalananku sebelum ke Karimata ini akan sangat seru diceritakan, Benn,” katanya sebelum ia, lagi dan lagi, menceritakan tentang keterdamparannya di Belarusia, nyawanya yang hampir melayang di ketinggian Kyrgyzstan, atau pertemuannya dengan salah satu rimphoce di Rusia, hingga perangai para klien yang membuatnya muak.

“Pandemi memberiku momentum untuk pulang ke sini,” tukasnya, dengan nada yang dramatik.

Aku hafal semuanya. Dan dia tak pernah peduli sehingga tiap kali bercerita, lagaknya seperti sedang mengutarakan hal yang baru.

“Besok tugasku selesai!” katanya seraya menyeruput kopinya.

Saya tak ingin menanggapi, sebab ujung-ujungnya saya hafal: ia meminta saya mengoreksi tugas yang belum selesai ia kerjakan. “Saya mandi dulu, Le,” kata saya seraya beranjak. “Pukul tujuh lewat lima belas kita mungkin bisa langsung bertolak ke Padang,” kata saya sekaligus mengingatkannya kalau kami tak punya banyak waktu pagi itu.

Alhamdulillah, pagi itu cerah. Kami sempat menjajal tower Telkomsel yang berkecepatan 1 Mbps. Hasilnya: membuka gambar kiriman di WhatsApp saja loading-nya hampir lima menit. “Kita nggak punya pilihan, Le.”

Ale rupanya membawa saya ke kedai pertama yang saya singgahi ketika kapal dari Sukadana merapat ke Pulau Karimata. Intinya, paket 250 ribu itu harus diambil. Saya harus bertanggung jawab dengan pekerjaan dan amanah.

“Bagaimana kalau ambil paket internet cepat satu giga 150 ribu jak?” tawar pemilik kedai ketika mendengar saya harus memberikan lokakarya selama 4 jam. “Tapi kami hanya punya tiga paket. Bagaimana?”

“Ambil!” kata Ale cepat.

Ketika saya sedang menyalakan laptop, rekan-rekan residensi saya yang melakukan riset cumi di Belitung rupanya baru tiba. Ale yang cekatan langsung membawa Ghifari ke dalam kedai. “Bantu Benny mengaktifkan paket internet satelit ke laptopnya,” katanya seraya mendorong Ghifari ke dalam kedai.

“Lima menit lagi webinar dimulai, Ri,” saya berusaha tenang.

Ketika Ghifari sedang mengotak-atik laptop, saya diberi tahu Ale bahwa paket ini hanya bisa digunakan di dalam kedai. “Lupakan mimpimu melakukan zoom dengan latar pantai atau pelabuhan,” katanya seraya menyalakan rokoknya.

“Teh satu!” teriaknya kemudian kepada pemilik warung.

Ya, saya bisa masuk ke kelas virtual. Di kamera, tampak jelas berbagai dagangan kedai (ciki aneka merek, sampo sachetan, atau payung parabola yang terbalik, menjadi latar belakang saya. Di layar laptop, saya menangkap beberapa ekspresi—menahan—tertawa dari panitia dan peserta.

Selama zoom berlangsung, orang-orang yang berbelanja di kedai, sayup-sayup, terdengar mempertanyakan kepada pemilik kedai tentang apa yang sedang dilakukan seseorang yang sedang berteriak-teriak di hadapan laptopnya.

Ya, berapi-api sudah menjadi gaya saya dalam menyampaikan materi. Ini tidak dibuat untuk memacu semangat peserta. Tidak. Ini bawaan sejak sekolah.

Beberapa kali istri memberi masukan agar saya bisa lebih kalem. Sayangnya, karena saran itu diikuti pernyataan, “Tapi … yang sekarang juga sudah bagus kok. Kita nggak ngantuk. Malah merasa terintimidasi kalau nggak ngerjain tugas!” Saya pun istiqamah dengan gaya itu.

Alhamdulillah, kelas menulis daring yang ditaja Balai Bahasa Sulawesi Tengah itu pun akhirnya berhasil saya selesaikan. Saya harap, panita dan peserta bisa memaklumi gangguan koneksi yang membuat saya kesulitan menayangkan salindia, membaca tugas di kolom chat, hingga beberapa kali terpental dari zoom.

Tapi, ini adalah hari yang padat. Saya harus segera pulang karena kelas menulis di homestay juga sudah menunggu. Yang mestinya sudah dimulai pukul 12 tadi. Ah, mereka pasti sudah menunggu. Di luar kedai, Ale sengaja meninggalkan motornya untuk saya bawa. Saya maklum. Menunggui saya zoom 4 jam bukan aktivitas yang produktif.

Dalam perjalanan, perut saya mulai keroncongan. Saya memutar gas lebih cepat dari biasanya sehingga beberapa kali saya hampir menabrak kawanan biawak dan kera yang melintas. Saya lupa, motor butut ini tak punya rem.

Di homestay, saya gegas ke belakang.

“Bang Atien belum pulang,” teriak Ale dari saung. “Chef kita itu melaut sejak kemaren!”

Benar saja. Ketika tudung dibuka, hanya ada nasi dingin di mangkuk besar, sambal kemarin yang menguar aroma masam, dan ikan kuah yang ….”

“Ikannya masih bagus, Benn!” kembali Ale berteriak.

Saya membawa nasi ke saung. Baru saja saya hendak memulai suapan pertama, jam digital di layar ponsel Ale membuat saya teringat sesuatu. “Anak-anak mana, Le? Ini sudah pukul satu!”

“Ada beberapa kemungkinan,” kata Ale tanpa beralih dari layar laptopnya. “Dilarang orangtua, ada pekerjaan mendadak, atau, khusus Dul, melaut karena butuh duit.”

Rasa lapar saya hilang. Setelah makan tiga suap, saya naik ke homestay untuk menunaikan Zuhur. “Le!” teriak saya dari atas. “Lupakan tugasmu!”

Ia mendongak.

“Aku tidak puas sama jawabanmu, Le,” saya menuruni jenjang. “Aku bukan penulis terkenal di sini. Aku hanya guru.”

Ale menganga ke arah saya, mencoba mencerna maksud cerocosan saya.

“Dan seperti katamu,” saya berjalan ke arah sepeda motor. “Guru yang tangguh adalah guru yang bisa membalikkan keadaan. Ikut?”

Ale menutup laptop dan mengambil alih kemudi. Ya, siang itu kami akan kembali ke Dusun Padang hingga Sungai Abun. Menemput murid kami satu-satu, rumah ke rumah, dan menyeretnya belajar di rumah masa depan mereka yang sedang kami bantu membuat desainnya.

Hidup tanpa ujian tak layak dihidupi.

***

Benny Arnas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *