Tuan Kong Bertanya Kabar Dzulkarnain

 Tuan Kong Bertanya Kabar Dzulkarnain

LALU kurampungkan karangan ini. Cerita tentang seseorang yang kutemui pada masa lalu. Aku tak memaksa khalayak mempercayai karena lelaki mulia itu, orang yang pernah bergumul denganku dalam cahaya, tak pernah mengajarkan itu. Ya, aku tiba-tiba mengagumi apa-apa yang terserla dalam dirinya, petuah dan peritabiatnya. Di masa sebelum aku mati, lalu hidup lagi, mati lagi, hidup lagi…. Begitulah seterusnya. [1]

Ketika itu, pertikaian antarwilayah kekuasaan Dinasti Chou menyebabkan perpecahan. [2] Lalu muncullah kerajaan-kerajaan. Kerajaan-kerajaan kecil. Kerajaan-kerajaan baru. Dengan raja-raja yang baru. Dengan raja-raja yang kecil. Raja-raja itu menjadi simbol negeri yang dititahnya. Masing-masing negeri mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Raja-raja mengharapkan rakyatnya turut membangun negeri. Namun begitu, raja-raja tak menjanjikan apa-apa (apalagi kedudukan di kerajaan) bagi yang (merasa) berjasa. Bagi yang hendak membantu, silakan. Bagi yang tak berhasrat, jangan membuat masalah. Dan bagai mendapat angin yang berkarib, muncullah pemikir-pemikir. Namun, waktu adalah arena pertandingan yang paling makbul. Maka, seperti buah-buah zaitun yang jatuh berserakan di gurun karena diserang tuba dari Saudi, putaran demi putaran bumi merontokkan satu demi satu para pemikir itu.

Kong Fu Chius. Ialah satu dari segelintir pemikir yang masih layak dipandang. [3] Aku kali pertama bertemu dengannya pada 485 Sebelum Masehi, di Pasar Mun Sian, persis dua puluh kaki dari Pasar Zhengguo. Walaupun namanya sudah menggema di mana-mana—termasuk di Tanah Melayu, namun sekalipun aku belum pernah melihat wajahnya. Jadi, wajar saja kalau awalnya aku tak tahu kalau ia adalah Tuan Kong, demikian orang-orang Cina memanggilnya.

Ketika itu, secara tak terencana, pandangan kami ditabrakkan oleh sesuatu yang bernama kebetulan. Tuan Kong menarik kedua ujung bibirnya melengkung ke atas. Aku serta merta membalas senyumnya. Entah bagaimana, tiba-tiba aku melihat ada cahaya putih yang menyeruak dari wajahnya yang bersih. Cahaya itu makin besar, tebal, dan benderang. Aku bertanya-tanya dalam hati. Siapakah laki-laki itu. Laki-laki yang kutaksir usianya dua puluh tiga tahun. Belum sempat terjawab pertanyaan yang tiba-tiba menyeruak dalam benakku itu, Tuan Kong menghampiriku. Ia menyentuh, menggamit bahuku. Dan orang-orang sekitar yang tengah sibuk keluar-masuk pasar, serta-merta memperhatikan kami. Tak lama, mereka semua mematung bagai ditotok aliran darahnya. Aku tahu—walaupun tebakan ini belum tentu benar—bagaimana aku (maksudku kami berdua) tiba-tiba menjadi pusat perhatian; karena Tuan Kong menyalurkan kekuatan (entah semacam ilmu kanuragan, entah semacam energi positif, atau…entahlah!) yang membuat tubuhku berlumur cahaya (maksudku tubuh kami berdua bercahaya).

Tuan Kong memperkenalkan diri. Aku tertegun. Ia menanyakan sesuatu kepadaku. Kabar Dzulkarnain. [4] (O o, benarkah kabar yang mengawang itu: Dzulkarnain adalah guru Kong Fu Chius?) Dan aku masih tertegun karena belum mampu memahami apalagi menguasai keadaan. Belum sempat kutanggapi keingintahuannya, ia sudah menyambung pertanyaannya. Apa kabar perdebatan tentang Tembok Dzukarnain? Apakah sudah tersurat dan dimaklumatkan bahwa ialah yang membangun tembok raksasa di negeriku itu? [5] Kalau saja para raja yang mengaku-ngaku itu dapat kutemui, ingin kukatakan yang sebenarnya! [6]

Aku tak sempat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang datang bergerombol itu. Sepertinya Tuan Kong sengaja tak memberiku kesempatan untuk menjawab. Lebih tepatnya lagi, Tuan Kong secara halus memeras semua ingatan dan keterbatasan pengetahuan tentang Dzulkarnain dan Tembok Dzulkarnain itu. Tentu aku takkan menduga bahwa Tuan Kong hanya ingin membuatku penasaran. Tentu pula aku takkan berprasangka bahwa Tuan Kong hanya ingin memberitahuku bahwa dia adalah pemikir hebat, orang yang bercahaya, orang yang dapat membagi cahaya. Satu hal yang membuatku benar-benar heran, mengapa Tuan Kong menanyakan Dzulkarnain dan Tembok Dzulkarnain kepadaku? Maksudku, apakah ia tahu bahwa aku tengah meneliti Tembok Besar China?

“Hei, Kisanak!”

Aku tergeragap. Seolah bangun dari mimpi. Orang-orang yang tadi mematung kini mengerumuniku. Mereka bertanya bagaimana Tuan Kong dapat menemuiku, lalu memelukku. Apa? Memelukku? Tentu saja aku tak dapat menjawab pertanyaan itu karena kepalaku bagai bergasing. Kini, justru aku yang bertanya.

“Jadi, kalian juga melihat pemuda itu, eh, maksudku Tuan Kong?”

Mereka terbahak-bahak. Mereka mengejekku sebagai orang asing. Mereka katakan (seolah mengejekku) bahwa Tuan Kong selalu hadir di titik keramaian, tempat rakyat China menyambung nyawa. Di pasar salah satunya. Mereka sering tak menyadari kehadiran Tuan Kong karena ia selalu pandai mengubah penampilan. Hanya satu yang mencirikan keberadaannya (biasanya bila ia menemui seseorang): Cahaya.

“Apakah wajahnya sudah mengeriput?”

“Mengeriput?”

“Mengeriput dengan cahaya.”

Aku masih bergeming.

“Atau matamu sudah lamur?”

Aku tatap mereka satu-satu sebelum memutuskan untuk mengunci mulutku rapat-rapat. Apakah mereka akan percaya bahwa aku bertemu Tuan Kong dalam penampilannya yang lebih muda? Atau aku memang tengah bertemu Tuan Kong muda? Mungkin saja. Sudahlah, aku tak mau merumitkan ingatan mereka tentang Tuan Kong. O o, tiba-tiba aku bagai tersadar. Kong Fu Chius lahir pada 552 Sebelum Masehi!

Aku permisi minta diberi jalan. Mereka membuka kerumunan. Tak seperti dugaanku bahwa mereka akan bertanya ini-itu (yang tentu saja sedikit banyak akan menghalangi perjalananku). O, alangkah mulianya Tuan Kong di mata mereka hingga kepada aku—seorang Sumatra yang hendak mengunjungi Tembok China—yang baru saja ditemui pun, mereka tak kuasa mencuat tanya karena takut kualat telah menganggu “sahabat” Tuan Kong.

Enam tahun berikutnya aku mendengar kabar kalau Kong Fu Chius meninggal dunia. Tampaknya Tuhan hanya membolehkanku melihat wajahnya sekali seumur hidup. Entah bagaimana, ketika aku bertolak menuju China melalui Singapura, pesawat yang kutumpangi tiba-tiba terbang di atas Segitiga Formosa. [7] Kami angslup dalam pusaran waktu. Kami hidup dalam kerajaan Iblis di bawah laut. Kalian tahu, kadang-kadang Raksasa Bermata Satu mengunjungi kami. Kami tak kunjung tahu dari mana ia berasal. Ada yang bilang ia berasal dari Segitiga Bermuda, ada pula yang bilang ia berasal dari Khurasan.

Ah, aku tertawa sendiri kini. Tertawa sendiri mengingat peristiwa itu. Peristiwa yang bila kuceritakan pada keluarga, kawan, ulama, bahkan sejarawan pun, belum tentu ditanggapi dengan serius. Peristiwa klasik yang masih kuredam dalam ingatan. Peristiwa yang dialami diriku yang lain pada masa lalu. Masa ketika aku masih hidup, lalu mati, hidup lagi, mati lagi….

Begitu seterusnya.

(*)

Benny Arnas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *