Shapiro dan Palestinisme Kita

 Shapiro dan Palestinisme Kita

Oleh Benny Arnas

Ben Shapiro, jurnalis muda sayap kanan Israel, yang kerap mengunggah materi (teks, gambar, ataupun video) yang berisi dukungan terhadap negaranya dalam konflik Israel-Palestina, di akun X alias Twitter-nya, adalah narator berpengaruh era kiwari.

Sebagai alumnus Harvard University, pria Yahudi berkebangsaan Amerika Serikat bernama lengkap Benjamin Aaron Shapiro itu menyusun materinya dengan struktur logika, retorika, dan argumentasi serta, tentu saja, dengan pengemasan yang rapi.

Anda bisa menyimak materi-materinya, baik di akun X atapun Youtube-nya dengan pengikut lebih dari enam juta tersebut. Shapiro seolah sadar, tanpa perhatian pada narasi dan pengemasan, propaganda tidak akan menyebarkan pengaruh signifikan.

Saya sendiri termasuk orang yang geram dengan kecakapan Shapiro menyusun tiga babak drama. Bagaimana plot propagandanya mengalir sepanjang cerita. Bagaimana lead-nya selalu menohok dan koda penuh daya entak. Menjura buat Saphiro.

Belakangan, video-videonya viral, termasuk tentang penyerangan Hamas 7/10. Dapat ditebak, kalangan awam goyah. Kalaupun tidak serta-merta mendukung Israel, narasi Shapiro kuasa membuat mereka tidak lagi memandang Palestina sebagai korban.

Tiga belas Oktober 2023, Shapiro terpeleset. Begitu opini publik, begitu pendapat pengamat. Padahal, tidak sesederhana itu. Dengan kemampuannya membangun narasi, Shapiro menebar tajur di mana-mana, ke mana-mana.

Shapiro (tidak) Terpelet

Dua belas Oktober 2023, Saphiro merilis dua foto bayi Israel. Yang pertama, bayi Israel tanpa kepala yang penuh percikan darah—dengan bagian kepala yang di-blur. Tak puas dengan lebih 8 ribu retweet, Shapiro mengunggah foto berikutnya: bayi Israel yang terbakar.

Benar saja, foto dengan takarir penutup “Setiap ons darah yang tumpah di Gaza adalah tanggung jawab Hamas” ini berhasil meraih lebih banyak simpati. Lebih dari 29 ribu retweet!

Shapiro sadar bahwa warganet adalah periset terbaik, sebagaimana ia juga tahu bahwa tak semua follower-nya termakan oleh propagandanya.

Melalui situs pendeteksi keaslian gambar aiornot.com, gambar bayi yang terbakar unggahan Saphiro dinyatakan hasil rekayasa AI.

Bola bergerak liar.

Saphiro mungkin tak mengharapkan ini. Tapi, tentu ia sudah mengantisipasi bahwa sebuah kesalahan-yang-ketahuan potensial membuka aib-aib lainnya.

Tudingan miring pun menghadap Shapiro. Ia dituduh kerap menggunakan gambar palsu untuk membela pemboman tanpa henti Israel dan pengepungan total terhadap Gaza yang, ketika newarab.com mengunggah berita tentang Propaganda Bayi AI itu sehari setelah unggahan Saphiro, telah menewaskan lebih dari 2000 warga Palestina, termasuk lebih dari 700 anak-anak.

Bukan Shapiro kalau tak punya akal. Menjadikan pendapat para ahli yang menyebut pendeteksi konten AI tidak selalu akurat, pemuda kelahiran California itu bergeming.

Tajur Shapiro kadung bergoyang. , Sedangkal apa pun materi propaganda, selalu ada (dan itu tidak sedikit!) yang terpedaya oleh story telling-nya yang menghipnosis.

Benar saja, masih banyak warganet (baik yang netral atapun pro Israel) yang menggunakan unggahan-unggahan—termasuk video-video Shapiro—sebagai penguat argumentasi mereka ketika berdebat tentang konflik Israel-Palestina.

Hasilnya?

Sebagaimana dirilis newarab.com, laporan pemenggalan kepala bayi Israel di Kfar Azza telah tersebar luas sejak personel militer Israel mengunjungi media asing di sekitar lokasi tersebut setelah pertempuran.

Para jurnalis juga mengaku bahwa mereka telah diberitahu oleh tentara Israel bahwa sekitar “40 bayi Israel” telah dibunuh selama pertempuran dan bahwa laki-laki, perempuan, dan anak-anak telah “dipenggal”.

Lihat! Betapa Shapiro terbang tinggi dengan kemampuan bernarasinya yang, dalam istilah yang digunakan Al Jazeera, sebagai “membungkus kotoran dengan emas murni”.

Shapiro Tidak Sendiri

Selain lewat suara perorangan dengan kapasitas yang mumpuni, Israel juga memproduksi propaganda, bahkan hoaks, lewat lembaga.

Dua hari sebeluk Shapiro berulah, Federasi Pertahanan Israel (IDF) mengunggah video tentang keberhasilan mereka menumbangkan empat pejuang Hamas yang melakukan teror di Zikim Beach, Israel.

Video yang menampilkan empat pria—yang mereka sebut pejuang Hamas—terkabar dengan senjata laras panjang di dekat tubuh mereka masing-masing itu mengandung dua pesan:

Pertama, Hamas telah lancang melakukan teror di wilayah publik di Israel. Kedua, bagaimanapun tentara Israel sangat cekatan sehingga mampu menumbanhkan mereka.

Namun, sebagaimana dirilis Al Jazirah (11/10), ternyata video tersebut adalah hasil rekayasa. Al Jazirah menampilkan rekaman asli keempat pemuda (Palestina) tanpa senjata yang sudah mengangkat tangan, berlutut, dan seperti memohon agar mereka tidak ditembak.

Nasib berbcara lain. Rekaman satelit itu, meskipun hitam-putih, secara jelas menunjukkan bagaimana keempat pemuda sipil itu meregang nyawa di ujung bedil Israel. Setelah terkapar, tentara zionis, sebagaimana diberitakab Republika (14/10), menanam senjata laras panjang di dekat mereka, lalu mulai mengambil rekaman. “Kami telah berhasil menumbangkan teroris yang berkeliaran di Tanah Israel,” klaim salah satu tentara sebelum kamera diarahkan ke empat pemuda “dengan senjata laras panjang” yang terkapar di tanah.

IDF tidak merasa perlu menghapus video yang sudah ditelanjangi Al Jazirah muatan kebohongannya. Ya, selalu ada pembaca portal mereka yang malas memeriksa fakta. Dan sesedikit apa pun, itu adalah kekuatan baru bagi propaganda mereka.

Literasi Palestinisme

Abdul Fatah el Alwaisi, seorang profesor yang empat puluh tahun meneliti tentang konflik Palestina-Israel menyatakan bahwa, untuk membebaskan Baitul Maqdis, Palestina tidak membutuhkan uang dan kedatangan jihadis. “Mereka membutuhkan komitmen Anda untuk berpihak kepada kemanusiaan,” katanya sebagaimana dikutip Felix Siaw dalam siniar di kanal Youtube YNTV (2018).

Bukan tanpa alasan Alwaisi menggunakan terminologi “komitmen”. Sang profesor seolah ingin mengatakan bahwa Muhammad saw. pun menghabiskan 18 tahun untuk membebaskan Baitul Maqdis. Dua tahun di tengah untuk negosiasi, 2 tahun terakhir untuk penyerangan, dan … 14 tahun di awal untuk persiapan. Itulah komitmen.

Empat belas tahun persiapan itu digunakan sang nabi terakhir untuk menanamkan pemahaman sejarah, literasi kemanusiaan, dan kecakapan yang brilian dalam memproduksi narasi kepada kaum muslimin.

Itu adalah hal-hal yang dengan serius Israel perhatikan. Itu; semuanya, ada pada seorang Ben Shapiro.

Lalu kita?

Kita masih saja malas membaca sejarah dan enggan menganalisis setiap wacana dan peristiwa, atau malah menganggap sudah bersama kemanusiaan hanya dengan menunjukkan subjektivisme muslim sebagai tameng terakhir dan satu-satunya dalam konflik Palestina.

Tanpa perhatian pada pengetahuan mendalam tentang kepalestinaan dan kecakapan yang memadai dalam membangun narasi, kita, yang kadung jauh dari pusaran konflik ini, tidak akan pernah menjadi bagian dalam upaya menyelamatkan (ke)manusia(an).***

Gambar: karena menampilkan foto bayi yang terbakar membuat unggahan ini menjadi sensitif, penulis pun menggunakan tangkapan layar video pemuda sipil Palestina tanpa senjata dari dalam rekaman satelit Al Jazirah (sumber: @AJenglish)

Benny Arnas

https://bennyarnas.com

Penulis & Pegiat Literasi

1 Comment

  • Masya allah.
    Lagi. Menguatkan narasi sebelumnya untuk menyadarkan kaum awam, perlunya mengenal sejarah, kisah, fakta di balik konflik Palestina-Israel, sebelum menyebar “liar”-kan argumennya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *