Romanturkisme
Oleh Benny Arnas
Tiap mendengar Turki, pikiran saya mengingat dua hal sekaligus: penaklukan Konstantinopel dengan Aya Sofya-nya yang megah dan indah pada 1453; dan antitesisnya—Mustafa Kemal Pasha mengusir Abdelmejid II, khalifah terakhir Dinasti Utsmaniyah pada 1924, sekaligus menjadi tonggak sekulerisasi Turki.
Oleh karena itu, ketika tiba di Istanbul bakda Asar di pembukaan Maret yang dingin, hanya Aya Sofya yang ada dalam kepala saya. Baru lima menit menginjakkan kaki di bangunan yang didirikan pada 573 M itu, azan berkumandang, mata saya hangat serta-merta.
Saya pun bertanya kepada orang-orang sekitar di mana tempat wudu, tapi semuanya pendatang sehingga mereka lebih banyak menggeleng atau menjawab tidak tahu. Tapi, sebentar! Tidakkah mereka juga ingin mengambil wudu sebagaimana saya karena waktu salat sudah tiba? Beberapa dengan terus terang menjawab bahwa mereka tidak salat. Oh, saya baru ingat, meskipun Presiden Erdogan mengembalikan Aya Sofya menjadi masjid pada 10 Juli 2020 setelah 85 tahun menjadi museum, ia juga mengeluarkan pernyataan bahwa pintu Aya Sofya akan terbuka untuk semua warga Turki, orang asing, muslim, dan nonmuslim.
“Pernyataannya itu nyata sekali menunjukkan bahwa yang Erdogan pikirkan adalah kebangkitan ekonomi, bukan kebangkitan Islam,” kata seorang Turki yang tak sengaja menjadi teman ngobrol ketika kami menunggu pesanan cokelat panas di Hierapolis beberapa hari kemudian. Ia benar, kini saya sadar, sebagian besar yang datang ke sini, hanya untuk berfoto.
Sepanjang salat, saya dan dua orang di kiri-kanan tak kuasa membendung air mata. Usai berdoa, kami berkenalan. Mereka rupanya datang dari Belanda. Mereka sudah tiba di Turki dua pekan sebelum kami. “Kamu tentu tidak percaya kalau tidak sampai seperempat masjid ini yang terisi di waktu Magrib, bukan?” tanya Moan, begitu pemuda 30 tahun itu membuka percakapan setelah kami berkenalan.
“Kamu mungkin juga tidak percaya dengan apa yang kami temukan dalam bus?” Belum habis keterkejutan saya, pemuda yang mengaku bernama Zee itu melanjutkan, “setelah kami berkenalan dengan dua gadis Izmir, mereka malah terang-terangan berciuman tanpa peduli kalau seisi bus akan bepergian ke Aya Sofya yang agung.”
Saya tidak tahu harus berkata apa.
“Kalau ini Belanda, kami tidak akan nyinyir,” kata Moan lagi sebelum kemudian ia menawarkan diri untuk memfoto saya dengan latar beberapa jemaah yang belum beranjak dari saf mereka.
“Charalambros juga tidak salat, Yah,” lapor Istri ketika saya bergabung dengan ia dan putri kami di luar.
“Kamu yakin fasilitator kita itu muslim?” saya memastikan.
Istri saya mengangguk. “Dia tadi bilang, tapi katanya, dia dan keluarganya tidak pernah salat.”
“Dia kelahiran Yilpirim, ‘kan?”
“Besar di Izmir,” timpal Istri. “Dan bekerja di Siprus.”
“Apa pun itu, ia adalah muslim Turki,” tiba-tiba saya merasa sangat sebal.
Lalu, kami pun melanjutkan perjalanan. Mendatangi atau sekadar mampir dan melewati Adana, Bodrum, Denizli, Manisa, Mardin, Diyarbakir, Edime Izmir, Kayseri, Antalya, Bursa, Cankiri, Uskudar, Erzurum, Kirklareli, Konya, Kapadokia, Eskisebir, Kesan, Kirikkale, Gaziantep, Zonguldak ….
Orang-orang setempat kelihatan tidak antusias ketika kami membicarakan religiusitas orang-orang Turki. Mereka malah sangat bersemangat membicarakan Mustafa Kemal Pasha. “Pendiri Republik Turki itu memiliki jasa besar sehingga bangsa Turki bisa mengejar ketertinggalan,” kata mereka dengan antusias. Saya tahu, saya harus siap dengan segala kejutan yang ditawarkan perjalanan.
Apalagi, saya besar dalam lingkaran tarbiyah yang memberikann “pelajaran” kontras dengan yang saya temui di Turki kali ini. Kemal sebagai tokoh utama di balik keruntuhan Islam di Era Modern tak saya rasakan dalam percakapan dan pemikiran orang-orang yang kami temui.
“Dia adalah panglima pemberani yang membuat Turki bisa keluar dari gelombang imprealisme Barat ketika 700.000 pasukan Ottoman tewas dalam Perang Balkan,” kata Chisar, laki-laki sebaya saya yang saya temui di lobi usai sarapan di sebuah hotel di Pamukale.
“Tapi, Kemal juga yang membawa Turki menjadi sangat Barat, bukan?” saya mencoba mengimbangi.
“Indonesia dan negara-negara lain yang melihat Turki dengan membawa-bawa romantisisme penaklukan Konstantinopel sekaligus meludahi Yang Mulia Mustafa Kemal karena dianggap mengkhianati semangat Al Fatih tidak akan pernah bisa membedakan modernisasi dan westernisasi,” katanya seraya mengangkat gelas birnya, sehingga saya refleks mengangkat cangkir latte saya. Tos kami bagai mempresentasikan kegalauan dan keganjilan yang saya rasakan.
Lalu perjalanan kami melalui masjid-masjid dengan bentuk yang seragam: besar, bermenara banyak dan tinggi-tinggi, tapi … saya tak yakin jemaahnya banyak. Oh.
“Saya datang ke sini ketika summer, Bang,” kata Dirja ketika tertawa cukup lama. Mahasiswa Koç University asal Lubuk Ngin, Musirawas, itu lalu menceritakan tentang pakaian orang Turki di musim panas yang tak ubahnya dengan masyarakat nonmuslim di negara Eropa lainnya. “Saya juga baru tahu kalau Kemal di sini 11-12 dengan Sukarno yang kharismatik dan pemberani. Di tangan Kemal, Turki yang sekuler disegani oleh bangsa-bangsa lain, tak terkecuali Amerika Serikat, seperti hari ini.”
“Lalu mana bukti, katanya, Islam sedang bangkit di Turki?”
“Bakda Jumat, banyak para dermawan yang berbagi makanan dan di tempat-tempat tertentu akan kita temukan para pengendara mobil yang dengan sukarela memberi tumpangan kepada orang-orang yang kedinginan di tengah malam atau di bawah guyuran badai salju.”
“Usaha menghibur diri yang garing,” balas saya. Lalu kami tertawa lagi.
Lalu ingatan saya melipir ke para pedagang makanan dan oleh-oleh di Madinah dan Mekkah yang, alih-alih bergegas ke Masjid Nabawi atau Masjid Haram sebagaimana para pendatang, malah dengan santai menutup lapak atas nama aturan—atau juga menjaga ciri khas kebudayaan—dan kembali buka begitu selesai salat dalam lapaknya; lalu ingatan saya juga melipir dengan cerita Ethile, fasilitator perjalanan saya di Eropa Timur yang ateis, tentang kunjungannya ke Palestina: Ia bertemu para pemuda setempat yang sedang asyik membincangkan Liga Eropa dan film Holywood yang sedang tayang, sambil minum sahlab. Di hari ke-11 bulan Maret, kami salat Zuhur di Masjid Nuruosmaniye yang terletak di tengah kawasan ramai Cerembritas, lima puluh meter dari Grand Bazaar. Hanya saya, istri dan anak saya, serta kurang dari 10 orang berwajah Turki yang menjadi jemaahnya.
1 Comment
sama2. makasih dah berkunjung ya