Poliglotisme & Akses Literasi
Oleh Benny Arnas
Jawa Pos, 23 September 2023
Akhir April 2023, residensi menulis saya belum juga dimulai ketika perjalanan Jakarta-Muscat-Kuwait-Amsterdam seperti buru-buru memberi pelajaran tentang literasi. Berkah perjalanan.
Jeni, gadis 29 tahun dengan tujuan akhir Frankfurt, menjadi pengantar pelajaran pertama.
Ketika ia menjawab sapaan saya dalam bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia, saya pun bangga sekaligus penasaran.
“Di Jerman, kami belajar bahasa Inggris dan Perancis di sekolah. Belajar bahasa asing itu menyenangkan. Bunyinya khas. Dengan menguasai bahasa Indonesia, saya bisa baca buku bahasa Indonesia. Itu berkah!”
Lalu Jeni bercerita tentang pemuda Lombok yang ia sebut “pacar”. Sesekali ia menggunakan bahasa Inggris ketika kesulitan menggunakan kosakata yang pas dalam bahasa Indonesia.
Mencintai Banyak Bahasa Sejak Dini
Di ruang tunggu transit, saya bertemu dengan Keenan. Pemuda Afrika Selatan keturunan Belanda itu ternyata merumput di PSV Eindhoven. “Tapi bukan tim utama,” imbuhnya seraya tersenyum.
“Kamu suka membaca?” Saya tergelitik begitu melihat sebuah buku di tangannya.
“Saya suka Nadine Gordimer,” katanya seraya menunjukkan sampul July’s People dengan nama peraih Nobel Sastra 1991 itu. “Sebenarnya,” kata Keenan lagi, “saya lebih suka membaca buku-buku dalam bahasa Afrikaans. Tapi Gordimer sepertinya sengaja menulis novel-novelnya dalam bahasa Inggris. Mungkin untuk alasan pasar.”
Saya tak bisa terlalu melayani percakapannya entang pengarang perempuan kelahiran Transvaal, Afrika Selatan itu, sebab yang saya hanya pernah membaca satu buku Gordimer. The Conversationiste. Itu pun ketika kuliah dulu. Tapi saya penasaran dengan Afrikaans.
“Itu bahasa Jermanik Barat. Hanya digunakan di Afrika Selatan dan Namibia.”
“Kamu fasih?” Tentu saja saya penasaran.
“Tidak sefasih Inggris dan Jerman,” katanya merendah.
Lima belas menit kemudian. Dalam tubuh besi KLM (Koninklijke Luchtvaart Maatschappij N.V.) yang membawa kami singgah sebentar di Kuwait sebelum bertolak ke Schiphol, saya berkenalan dengan Freek yang duduk di sebelah saya.
Remaja jangkung itu suka bercerita. Freek menyebut Kafka sebagai penulis yang karya-karyanya harus dibaca oleh ia dan teman-teman sekolah menengah bawah (baca: SMP) sepertinya.
“Kami membaca versi Jermannya,” katanya ketika saya bertanya apakah ia membaca Metamorfosis dalam bahasa Inggris. “Bukankah novela itu terbit pertama kali dalam bahasa Jerman dengan judul Die Verwandlung?” konfirmasinya sebelum tawa kami meledak.
“Sejak sekolah dasar kami terbiasa berbicara dalam banyak bahasa,” jelasnya ketika saya bertanya bagaimana ia bisa menguasai bahasa Jerman sebagus bahasa Belanda. “Pertama, sekolah mengajarkan bahasa Inggris, Jerman, dan Perancis, meskipun sangat dasar. Kedua,” katanya lagi, “teman-teman banyak yang berasal dari luar Belanda.” Lalu ia menyebut nama-nama negara yang menggunakan bahasa asing yang mereka pelajari di sekolah itu.
Menjadi Poliglot, Keniscayaan?
Selama residensi menulis di Eropa sepanjang Mei, tidak di trem, bus, metro, ataupun kereta cepat, realitas memukul-mukul kepala saya: orang-orang Belanda membaca novel bahasa Inggris; orang-orang Prancis membaca jurnal dalam bahasa Jerman; orang-orang Swis mengisi TTS dalam bahasa Spanyol; dan percakapan di antara para poliglot ketika sedang mengantre untuk masuk (dan tentu saja membeli) Toko buku Shakespeare & Co di Paris ….
Menguasai bahasa-bahasa—yang sering digunakan untuk menulis karya besar dunia—tampaknya adalah keniscayaan untuk menjadi literat.
Kondisi itu memungkinkan interaksi dengan banyak ilmu pengetahuan dari sumber aslinya berjalan lancar. Bayangkan kalau membaca Les Miserables-nya Victor Hugo langsung dalam bahasa Prancis atau Musyawarah Burung-nya Fahruddin Attar langsung dalam bahasa Persia? Alangkah dahsyatnya kucuran air pengetahuan itu keluar dari kran literernya.
Ya, meskipun penerjemahan dan alih bahasa (subtitling) marak, tapi membaca buku-buku atau menyimak gelar wicara atau memahami puisi dalam langsung dalam bahasa aslinya akan menerbitkan keintiman intelektual yang tak bisa disanding-bandingkan dengan menikmati terjemahan atau subtitling yang sudah mengalami degradasi literer dan estetik.
Di luar sana, menjadi poliglot sejak dini memang tak dapat dipisahkan dengan kondisi geografi mereka. Letak antarnegara yang berdekatan, fasilitas dan aksesibilitas transportasi publik yang layak dan lancar, karya-karya multibahasa yang mudah didapatkan, dan tentu belajar banyak bahasa sudah menjadi kurikulum di sekolah, memang faktor yang tak dapat dilepaskan. Hal itu pula yang membuat Kanada, negara asalnya Powell Janulus, poliglot 42 bahasa, menempati urutan kedua atau Luxemburg, negara dengan populasi poliglot terbanyak di dunia menempati peringkat empat dalam daftar negara paling berpendidikan di muka Bumi (World of Statistics, 2023).
Namun, menormalisasi keunggulan Barat sekaligus menjadikan realitas geografis dan sistem pendidikan kita yang kusut sebagai alasan untuk tidak ngotot mengejar ilmu pengetahuan dari sumber aslinya tentu saja adalah kekonyolan yang mengenaskan.
Teknologi dan Literasi Keluarga
Dua pekan lalu saya bertemu dengan Helvy Tiana Rosa. Sastrawati itu bercerita tentang Nadia, putri keduanya, siswa kelas 1 SMA, yang menggilai musik Korea dan Jepang. “Sepertinya dia akan jadi poliglot,” kata Helvy ketika mengatakan bagaimana fasihnya sang putri bicara bahasa Inggris, Rusia, Jepang, dan Korea, hanya karena interaksinya dengan konten-konten lintas negara di Internet. Saya tiba-tiba teringat Fiki Naki, poliglot popular “yang lahir” dari Internet.
Ya, teknologi hari ini seharusnya bisa menjadi trampolin bagi kita untuk melambung tinggi: menjadi poliglot. Tapi, apa iya literasi keluarga kita mampu mengarahkan generasi ini menjadi demikian: menjadi poliglot dengan selera bacaan bermutu??
Amsterdam, 20 April 2023