Palestina, 7/10, dan Tanah yang Diabaikan
Oleh Benny Arnas
MEIR Vs. EKSISTENSI PALESTINA
Seorang teman yang baru pulang dari Palestina beberapa hari sebelum peristiwa 7 Oktober menelepon saya, “Benn, mata uang pertama Palestina ada tulisan Ibraninya,” jelas sekali antusiasme dalam nada bicaranya.
Tidak ada yang aneh dengan itu, balas saya. Tah ketika masih di bawah Ottoman pun, Islam, Kristen, dan Yahudi hidup bersama di Palestina. Tidakkah hadirnya bahasa itu dalam mata uang malah bukti bagaimana Khilafah Islamiah mengakomodasi pluralisme?
Beberapa hari belakangan, beredar potongan video yang pernyataan mantan perdana menteri ke-4 Israel, Golda Meir. Salah satu pendiri Negara Israel itu menyatakan dari tahun 1921–1948 ia memegang paspor Palestina. “Meskipun begitu,” lanjutnya. “Di sana (Palestina) tidak ada yang namanya Bangsa Palestina, Arab, ataupun Yahudi. Yang ada hanya Yahudi dan Arab.”
Pernyataan Meir tersebut justru kental dengan kontradiktivitas. Baik secara informasi, maupun muatan sejarah.
Pertama, bagaimana bisa sebuah negara tidak merepresentasikan (atau direpresentasikan oleh) nama bangsa yang mendiami wilayahnya.
Kedua, bagaimanapun, para diaspora Yahudi yang membawa misi mendirikan negara di Tanah Yang Dijanjikan itu pada 1920-an, ketika permohonan Zionis—melalui Lord Rotchild, bankir investasi Inggris yang mendukung penuh pendirian Israel atas inisiasi Theodore Hazel—dipenuhi Inggris, pemimpin United Leagues (PBB kala itu) yang masih dalam euforia kemenangan Perang Dunia I atas Blok Sentral di mana Kesultanan Ottoman ambil bagian dalam gerbong yang dipimpin Jerman itu.
Bahkan ketika Negara Israel dideklarasikan pada 1948, Palestine Post menjadikannya tajuk utama. Terlepas orang-orang Yahudi yang sudah menguasai media arus utama kala itu, terang sekali, itu menunjukkan bahwa Palestina eksis. Palestina ada. Bagaimana bisa Palestine Post terbit di tempat yang bukan bernama Palestina?
ISRAEL Vs. HAMAS
Ketika berkembang narasi bahwa Hamas adalah organisasi bentukan Israel yang “dipelihara dan dimainkan” sebagai dalih untuk melakukan genosida di Gaza, saya teringat masa awal kuliah di Universitas Andalas dulu.
Saat itu, ketika murabbi meminta kami membawa foto idola kami di pertemuan berikutnya, berbeda dengan keempat teman saya yang lain menyerahkan foto-foto pahlawan nasional, saya menyerahkan foto Syeikh Ahmad Yasin yang saya gunting dari Majalah Sabili.
Tiap kali mengingat Syeikh Yasin, selalu saya merasa menjadi sebutir debu. Bagaimana mungkin seorang syeikh yang memimpin intifada dari kursi rodanya menjadi antek Yahudi. Sukar diterima. Susah dinalar.
“Apa yang kamu tahu tentang idolamu ini?” tanya murabbi saya, Hafizul Malin, saat itu.
“Pejuang intifada,” jawab saya tegas. “Pemimpin Hamas,” lanjut saya. “Penyeru bahwa berjihad ke Palestina adalah fardhu ain bagi kaum muslimin di seluruh dunia,” terang saya ketika kakak tingkat saya di Fakultas Pertanian itu sepertinya meminta lebih.
“Kamu tahu Hamas tidak sejalan dengan Fatah di Tepi Barat?” ia seperti menguji pengetahuan saya.
Saya mengangguk. “Saya tak melihatnya sebagai sebuah perpecahan,” kata saya mantap. “Saya melihatnya sebagai keberagaman cara berjuang. Hanya saja …” saya ingat sekali, saya tiba-tiba bertanya balik kepada sang murabbi. “Saya ingin tahu, bantuan dunia kepada Palestina, siapa yang menerima? Hamas atau Fatah?
Hari ini, saya sadar kalau urusannya tak sehitam-putih itu. Sebagai perpanjangan gerakan Ikhwanul Muslimin, resistensi Israel terhadap Hamas bukanlah tarik-ulur permainan, melainkan bentuk kekesalan karena gagal, paling tidak, mengulangi tumbangnya Mursi (baca: Ikhwanul Muslimin) di Mesir setelah sang presiden menjadi produk demokrasi pertama negeri itu.
7/10 Vs. PENDUDUKAN ISRAEL
Salah satu isu krisis kemanusiaan yang Israel “jual” kepada publik adalah, keberingasan Hamas dalam serangan dari berbagai penjuru pada 7 Oktober itu. “Mereka merangsek masuk ke permukiman sipil, sampai ke kamar, bla .. bla … bla …” protes Monique Rijkers, warga Indonesia pro Yahudi dalam sebuah debat di TV One (13–10–2023).
Pernyataan Monique tak urung seperti menjadi rangkaian parade kesedihan yang dialami striker PSV Eindhoven berkebangsaan Israel, Erran Zahavi, yang batal memperkuat timnya dalam laga kontra Williem II Tilburg begitu mendapat kabar kediamannya di Amsterdam dimasuki orang-orang tak dikenal. Peristiwa yang kemudian disebut perampokan itu menyebabkan barang-barang berharga keluarga Eran digondol ketika istri dan anak-anaknya diikat. Meskipun anggota keluarganya tidak terluka atau menderita cidera sedikit pun, tentu saja kejadian itu membuat trauma. Peristiwa tersebut sempat mempopulerkan tagar #standwitherran di media sosial.
Tentu saja, kalaupun krisis kemanusiaan yang Israel siarkan terkait “pendudukan” Hamas ke wilayah privat masyarakat sipil
israel itu benar, kita tentu perlu melihat ke belakang, bagaimana pada 8 Mei 2021, sehari sebelum keluarga Erran tertimpa musibah, warga Palestina di Permukiman Syeikh Jarrah harus terusir karena warga Israel, tanpa angin dan hujan, merebut tempat tinggal mereka begitu saja. Tanpa pembicaraan, tanpa negosiasi, tanpa meladeni pertanyaan. “Ini adalah tanah kami yang sudah dijanjikan-Nya,” sebuah alasan yang menyebalkan.
Kita semua tahu, malam pertama Ramadan dua tahun lalu, Al Aqsa berkecamuk, yang ditandai dengan penangkapan Afifi, violis Palestina yang memarahi para tentara Israel yang merangsek masuk ke kompleks kiblat pertama umat Islam untuk membuat kerusuhan.
SERBUAN DIASPORA Vs. PERANG DUNIA I
Versus ini akan ditulis mundur.
Pada 1948, tiga tahun setelah Palestina menjadi negara pertama yang mengumumkan dukungannya kepada kemerdekaan RI yang baru diproklamasikan Soekarno-Hatta, PBB melakukan pemerkosaan kemanusiaan secara terang-terangan dengan membagi wilayah Palestina: 55 persen diberikan kepad Israel.
1922–1948, setelah mendapatkan restu dari Jenderal Balfor, para diaspora Yahudi memasuki wilayah Palestina. Apakah saat itu di Palestina tidak ada Yahudi? Ada. Sudah ada. Kristen pun ada. Namun mereka hidup berdampingan, tanpa konflik. Arus deras diaspora membuat Yahudi di atas angin. Penjajahan terang-terangan pun dimulai.
Setelah 1916, adalah mula dari segalanya. Kesultanan Ustmani yang kalah dalam Perang Dunia I harus merelakan wilayahnya dibagi-bagi oleh Blok Sekutu pimpinan Inggris dan Prancis.
1901, permohonan kedua Rothcild untuk meminta wilayah kepada Kesultanan Ustmani kembali ditolak. Sebagaimana permohonan pertama yang juga ditolak (1889), Sultan Abdul Hamid II yang saat itu berkuasa, menolak menemui sang bankir dan mengirimkan surat dengan poin penting yang kelak menjadi blunder dan sumbu api di Palestina: “… selama Khilafah Islamiah masih ada, Zionis tidak akan bisa kembali ke tanah terjanji—yang dulu diabaikan!”
Meskipun, pada saat itu, Ottoman diserang isu dari segala bidang—literasi yang buruk, hedonisme dalam kalangan elit; dan armada perang yang lemah, Sultan Abdul Hamid II teguh menolak tawaran 150 juta poundsterling (alias 300-an triliun rupiah) dari Zionis.
Dua puluh tiga tahun kemudian, Attaturk, lewat kudeta yang ia rancang dari Anatolia, berhasil membuat perisai terakhir umat Islam itu runtuh. Ya, tanah pemberian Safronius kepada Umat Islam ketika Umar bin Khathab menaklukkan Yerusalem itu pun, lepas sudah.
TANAH TERJANJI Vs. TANAH DIABAIKAN
Setelah Musa memimpin pelarian Bani Israil dari kejaran Firaun lewat Laut Merah yang terbelah 3000 tahun lalu, Bangsa yang Dikasihi Allah (begitu arti Bani Irsrail secara harfiah) dihadapkan pada opsi:
- Kembali ke Mesir yang dipimpin Ramses II yang kejam.
- Menuju Tanah yang Dinjanjikan—yang dihuni bangsa dengan kaum lelaki berperawakan gagah dan berwajah beringas bernama Bangsa Pilistin.
Merujuk petunjuk yang diterimanya, Musa tentu mengajak mereka ke pilihan yang kedua. Namun kaumnya ternyata tidak memilih bersamanya. Tidak memilih keduanya, lebih tepatnya.
Kita semua tahu, lebih empat puluh tahun kemudian, lewat generasi selanjutnya, mereka baru kembali ke Tanah Yang Dijanjikan empat puluh tahun kemudian. Sayangnya serangan Nebukadnezar dari Babilonia yang meruntuhkan Tembok Yerusalem dan membumihanguskan Kuil Sulaiman pada 589 SM membuat mereka terusir—dan diseret ke negeri penjajah. Di Babilonia, Yahudi hidup jauh dari sejahtera.
Barulah ketika Babilonia ditaklukkan Persia, Yahudi kembali ke Tanah Yang Dijanjikan, kembali membangun kuil suci itu, sebelum kemudian diratakan Romawi dibawah pimpinan Titus pada 70 Masehi. Sejak itu, mereka kehilangan tanah. Yahudi bertahan hidup dan beranak pinak sebagai diaspora.
Banyak kalangan mengatakan, bahwa apa yang menimpa Yahudi (Bani Israil) adalah karma atas kezaliman yang mereka lakukan kepada Musa sebagai pimpinan yang menyelamatkan mereka dari kekejama Firaun. Ada juga yang menganggap bahwa, perangai malas berjuang namun serakah adalah karakter yang hari ini mengaliri darah bangsa Yahudi. “Kalau saja mereka tidak mengabaikan ajakan ‘memperjuangkan’ wilayah yang membentang dari Sungai Mesir ke Sungai Efrat, Tanah Terjanji itu tidak akan pernah melahirkan krisis kemanusiaan berkepanjangan,” tulis Chris Rice dalam Through My Enemy’s Eyes: Envisioning Reconciliation in Israel-Palestine (2016).
HUMAN Vs. HUMIT
Sepekan sebelum cahaya kuning cerah yang menyumbul dari ufuk timur di utara Re’im kibbutz, sekitar 6 kilometer dari Gaza, menjelma percikan merah saga dari lima ribuan roket Hamas, intelijen Mesir telah memperingatkan Israel. “Akan ada seragan besar-besaran dari Hamas,” kata sebuah sumber Mesir sebagaimana dikutip Al Jazeera (8–10–2023).
Namun mengabaikan informasi tersebut. Bagi mereka, sehebat-hebatnya serangan dari organisasi bentukan Syaikh Ahmad Yasin itu, belum ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan kekuatan militer yang mereka miliki. Kedua, sistem deteksi, antisipasi, pengawasan, dan pengamanan berbasis teknologi terkini tidak mengirimkan sinyal bahaya sedikit pun. “Terlalu percaya pada teknologi (AI) membuat Israel kena batunya,” kata Conie Bakrie, pengamat militer, dalam sebuah paparan khusus tentang penyerangan tersebut di siaran Tribun News TV. “Bahwa kecakapan human (manusia), dalam beberapa urusan, belum bisa diambil alih (atau dikalahkan!) oleh humit (human IT).”
Kalau Ade Armando menyatakan bahwa tindakan Hamas adalah bentuk kekonyolan karena secara hitung-hitungan, organisasi garis keras itu takkan mampu menandingi Israel (TV One, 13–10–2023), mungkin laki-laki 62 tahun itu lupa bahwa heroisme atau patriotisme adalah abstraksi atas rasionalitas. Produk bahasa dan imajinasi, kata Harari. Sebagaimana rasanya tak mungkin Vietnam bisa memukul mundur tentara AS, atau mustahil Indonesia merdeka di bawah hegemoni Jepang dan jejak kolonialisme Belanda yang masih kuat pada 1945, atau keberhasilan Al Fatih bisa menaklukkan Konstantinopel yang diawali oleh narasi ajeg yang bernama kemustahilan!(*)
Lubuklinggau, 16 Oktober 2023
Sumber gambar: Muslim, Nasrani, dan Yahudi Palestina membaca Palestine Post (1940): www.palestineremembered.com
3 Comments
Masyaallah. Terimakasih atas tulisannya. Luar biasa
Tulisan yg memberi vitamin bagi otak dan wawasan
Alhamdulillah..tulisan yang menjernihkan…mari menjeenihkan. Jangan mengeruhkan….
biar teranalisa jelas apa yg ada di balik bening terlihat