Ng
Oleh Benny Arnas
golagongkreatif.com, 2 Maret 2024
Bagi gadis perantau dengan uang bulanan seuprit yang tak tentu datangnya, berhenti kuliah adalah upaya meringankan beban hidup yang masuk akal. Apalagi teman satu angkatan menawariku pekerjaan ketika kuliah di semester tiga sedang mumet-mumetnya. Lengkap sudah!
“Nggak harus sarjana. Mahasiswa kayak kita pun bisa,” katanya. “Kamu juga nggak harus campaign kayak aku, Ng,” ia rupanya bisa membaca kegelisahan seorang introver. “Kamu cuma beresin laporan,” ia makin mengerucut. “Yaaa, adminnya NGO inilah!” tegasnya. “Kamu bisa merangkap sekuriti kalau mau make ilmu judomu sekalian!” Lalu kami tertawa.
Mulanya aku hanya ingin cuti ngampus, tapi kesibukan sebagai staf administrasi membuatku harus memilih. “Kenapa setahun ini kamu membohongi kami, Ng?” suara Ibu di pelantang ponsel sore tadi benar-benar merusak mood sehingga aku baru bisa menyelesaikan laporan pukul 01.15. “Apa benar, kata Bu Leka, kalau kamu jual diri di sana?” Aku tahu aku hanya anak pungut yang keberadaannya tak lagi penting setelah adik tiriku hadir ke dunia sepuluh tahun yang lalu. Tapi, hinaan barusan terdengar garing. Alih-alih meminta pembelaannya, aku malah makin percaya orangtua durhaka itu ada.
“Tidur di ruang ngetik aja, Ng!” seru Bima ketika melihatku mencangking tas sandang. “Kunci dari dalam!” Ali seperti membaca ketakutanku. “Pulang tengah malam dengan pikiran kacau, bahaya lho, Ng!” Aku yakin, Juno mendengar teriakan ibuku di telepon tadi. “Di luar kayaknya mau hujan lho!” Entah suara siapa lagi itu.
Ah, men will be men.
Ah, men will be men.
Ng
Sebelum meninggalkan kantor, aku memasang penyuara telinga. Belakangan aku menggilai Savage Garden. Perkenalanku “I Knew I Loved You” dari pencarian acak di Spotify membuatku menyukai nomor-nomor lain dari band Australia yang populer sebelum milenium itu. Ketika Darren Hayes hendak melengkingkan chorus “Truly Madly Deeply” dengan falsetto-nya yang lembut, dua orang laki-laki empat puluh tahunan di persimpangan, sekitar dua puluh meter dari tempatku mulai memperlambat langkah, sedang berseteru.
Sembari berjalan pelan volume Hayes kuredam. Entah mengapa, aku malah punya ide mencuri dengar keributan mereka.
Sepuluh meter lebih dekat. Rupanya salah satu dari mereka mengambil laba yang lebih banyak dari usaha kafe yang mereka rintis empat bulan ini. Namun, yang lebih mengejutkanku, si Penilap melakukannya karena sakit hati kepada rekannya yang menggoda istrinya.
Lima meter lebih dekat. Kejutan belum berhenti. Si Penilap menyebut si Penggoda sebagai politisi cabul yang takkan terpilih lagi. Sementara si Penggoda, alih-alih menyangga, ia malah menyebut si Penilap sebagai imam masjid yang suka korupsi.
Si Penilap mengambil batu bata, namun si Penggoda berhasil menghindar dan melakukan serangan balik dengan kaki kanannya yang berkelebat sebelum mendarat di dada rekannya.
Brug. Si Penilap terjatuh satu meter di hadapanku.
Si Penggoda melotot kepadaku. Tangan kananku yang berada dalam saku sweter, tempat ponselku memerintahkan Hayes bernyanyi dalam volume terbaiknya, seperti bisa membaca yang berkelindan dalam kepalaku, sigap “melakukan perintah”. Aku berikan sepasang penyuara telingaku kepada laki-laki yang dari dekat tampak mengerikan karena bopeng-bopeng yang berserakan di wajahnya.
Ia mengembalikan kedua benda mungil itu setelah memastikan bahwa “Animal Song” sedang menabuh-nabuh gendang telinganya dalam volume maksimal sehingga, tentu saja, ia menganggapku tidak mungkin mendengar keributan mereka.
Aku mempercepat langkah, dan di waktu bersamaan, tanganku dalam saku mematikan volume Spotify.
Dua meter di belakangku, perkelahian itu terdengar makin seru.
Empat meter di belakangku, sepertinya si Penilap mulai kewalahan.
Lima meter di belakang, terdengar bunyi beban menabrak dinding beton.
Aku menoleh.
Si Penilap terjerembab di dinding sebuah toko baju yang, sebagaimana ruko lain, sudah digembok. Wajahnya yang mencium trotoar membuatku tak bisa mendapatkan informasi yang cukup tentang keadaannya. Semoga dia hanya pingsan, harapku.
Sial! Pandanganku bertabrakan dengan mata si Penggoda itu. Aku mempercepat langkah. O, kosku masih enam atau tujuh menit lagi. Di belakangku, laki-laki itu sepertinya menyusul. Dia mempercepat langkah. O, tidak! Dia berlari.
Tak ada orang lain atau kendaraan yang melintas.
Aku balik badan. Rupanya ia sedang melompat ke arahku dengan batu bata di tangan. Aku mengelak, sehingga ia jatuh terjerembab dan, sebagaimana rekannya, wajahnya mencium trotoar.
Ia berusaha bangkit dengan merangkak. Lututku gemetar. Aku ambil batu bata yang terlempar dari tangannya tadi. Kini, ia berputar menghadapku, masih dalam posisi merangkak. Ia mendekat, seperti hewan yang hendak menikam mangsa. Aku berjalan mundur, masih dengan lutut dan tangan gemetar.
Batu bata itu terlepas dari tanganku. Aku ingin berlari, namun kakiku tertahan. O, kaki kananku kini dalam genggamannya. Aku berteriak minta tolong. Aku memang juara judo, tapi melawan gadis sebaya di arena dengan wasit, penjaga, dan penonton, bukan melawan laki-laki tinggi-besar di jalanan lengang pukul dua dini hari!
Seperti harimau yang kelaparan, ia mengaum seakan-akan aku adalah pelanduk yang tertinggal jauh dari kawanan.
“Tidak mungkin kau tidak mendengar keributan kami, ‘kan?” Ia menyergapku dan, oh pikiran buruk itu melintas. Napasnya yang menyengat membuatku membuang muka.
Meski bukan pemabuk, aku tahu kalau laki-laki itu minum alkohol terlalu banyak. Aku baru tahu kalau mabuk bukan hanya mengurangi kesadaran, tapi juga kuasa mengubah manusia menjadi binatang!
“Kita semua, dalam keadaan terburuknya, bisa mengeluarkan sisi mengerikan yang selama ini tak kita sadari keberadaannya,” begitu kata Bu Mira, dosen Pengantar Psikologi, dalam sebuah kuliahnya di semester dua.
Kini aku mengerti. Sisi mengerikan itu adalah kebinatangan. Atau jangan-jangan, kita adalah binatang yang berakting sebagai manusia. Ketika terdesak atau berada dalam situasi tak menguntungkan, berpura-pura tentu akan sangat melelahkan.
Kini aku mengerti. Sisi mengerikan itu adalah kebinatangan. Atau jangan-jangan, kita adalah binatang yang berakting sebagai manusia. Ketika terdesak atau berada dalam situasi tak menguntungkan, berpura-pura tentu akan sangat melelahkan.
Ng
O, bagaimana aku baru sadar kalau tubuhnya menindihku saat ini. Kucolok mata laki-laki itu ketika hidungnya nyaris mendarat di permukaan leherku. “Jangan kurang ajar,” teriakku. “Aku akan laporkan …”
“Apa yang bisa diharapkan dari aparat perut buncit?” katanya seraya mengucek-ngucek matanya. “Apa bisa hukum ditegakkan para pemalas, hah?” Ia terkekeh.
“Apa yang bisa diharapkan dari aparat perut buncit?
Apa bisa hukum ditegakkan para pemalas, hah?”
Hellyasukukromarjo
Benda seukuran telunjuk—dan tampak mengilap diterpa lampu jalan—keluar dari pinggangnya. Aku refleks memiringkan badan ke kiri karena terkejut (ya, karena terkejut, bukan karena satu-dua jurus judoku).
Ketika ia memutar dan kembali mengarahkan benda yang kemudian kuketahui sebagai pisau lipat itu ke pinggangku, gerakan berputarku membuat serangannya menyerang angin. Pisau itu, kini tercecer tepat di sampingku.
“Hebat juga kau, Pelacur!” ia menyeringai dalam keadaan sempoyongan.
Bagaimana bisa laki-laki memanggil perempuan yang tak membuat mereka kesal dengan Pelacur. Ini sungguh menyebalkan! Kuambil stainless yang berkilau itu dan mengarahkannya ke leher laki-laki itu.
Satu, dua, tiga, enam tusukan.
Kini, ia tergeletak, meninggalkan pertunjukan enam lubang air mancur marun di lehernya.
***
Dibumbui ini-itu peristiwa dini hari itu menyebar dalam berbagai versi drama. Kabar terakhir yang kubaca, kepolisian menunggu si Penilap yang ternyata bernama Rahmat Andika sadar dari komanya. Subuh tadi, seorang perempuan paruh baya yang biasa berjualan lontong pakis di depan ruko nahas itu menemukan dua laki-laki tergeletak. Yang satu tewas kehabisan darah, satu lagi terlelap dengan kepala bagian belakang yang memar.
Jelang dini hari tadi, hujan memang turun. Tapi tidak deras dan hanya sebentar, seakan-akan hanya untuk menghapus jejak kehadiranku pada tubuh korban. Ah.
Kemujuranku purna ketika (ya, aku harus menggunakan kata “mujur” untuk ini) dua CCTV yang dipasang berdekatan dengan lampu jalan yang terang benderang—yang seharusnya merekam kejadian nahas itu—malah dikerubungi laron dini hari itu.
Kabar itu kudengar dengan perasaan campur aduk. Lega karena aku bebas untuk sementara. Cemas karena, hanya menunggu waktu, polisi pasti meringkusku.
Sejak itu hari-hariku kacau. Tak satu laporan NGO pun yang bisa kurampungkan. Beberapa kali aku ditegur kepala bagian.
Dan di hari kesepuluh setelah pembunuhan itu, wakil kepala kantor, yang tak lain tak bukan adalah teman yang memberiku pekerjaan ini, menyambangi kos. Ia memarahi habis-habisan. Dari menuduhku memalsukan surat sakit dari Puskesmas hingga menyebutku sebagai pelacur yang tak tahu terima kasih.
Dadaku bergemuruh. Kudorong ia keluar dan kukunci pintu dari dalam. Di luar kudengar ia menyebut-nyebutku, lagi dan lagi: pelacur!
***
Empat hari kemudian, usai membaca surat pemberhentianku dari NGO di surel, aku gegas memasukkan pisau lipat berlumuran darah dalam plastik transparan ke dalam tas sandang. Taksi daring sudah menunggu di luar.
“Benar ini tujuannya ke kantor polisi ya, Kak?” nada pengemudi itu terdengar hati-hati. Dari bahu dan samping mukanya, kutebak kami sebaya.
Aku mengangguk. Aku tahu dia bisa melihatku dari spion tengah mobil.
Meskipun aku bisa berkeliaran bebas sampai hari ini, perasaan bersalah menghantuiku. Aku mengidap insomnia, selera makanku hilang, dan hapeku mati total. Karena itu pula kau sungguh susah menalar perangai spikopat. O, bagaimana bisa pembunuh bisa berpelesiran? Atau aku saja yang berlebihan?
Sudahlah, niatku sudah bulat. Menyerahkan diri adalah langkah terbaik bagi seseorang yang pada dasarnya tak bermaksud membunuh. Siapa tahu pengadilan akan memberiku keringanan hukuman setelah mendengar apa yang sebenarnya terjadi dini hari itu.
Kunyalakan ponselku. Portal-portal berita mengecam kepolisian yang gagal mengungkap misteri pembunuhan caleg petahana Hellyasukromarjo (Oh, rupanya si Penggoda itu adalah anggota DPRD kota ini dua periode!). Namun di platform X dan Instagram, tagar thankskiller menjadi trending.
Aku mengusap-usap ponsel untuk berburu penyebab keanehan reaksi warganet itu.
Selama menjabat sebagai wakil rakyat satu dekade Hellyasukromarjo terlibat dalam banyak kasus. Dua tahun lalu namanya disebut dalam dokumen pembakaran 55 permukiman warga yang hari ini lahannya menjadi nganga tambang nikel nomor dua terbesar di Sumatra. Tiga tahun sebelumnya, namanya santer disebut berada di balik penjualan komplotan gadis di bawah umur ke ibukota dan Thailand. Empat tahun ke belakang, ia sempat dilaporkan dalam kasus pemerkosaan ART-nya. Lima tahun lalu …. Enam tahun lalu …. Dan masih banyak lagi.
Namun, jabatan strategis membuatnya bebas melenggang.
“Sudah sampai, Kak,” kata sopir itu begitu mobil menepi di luar gerbang Polres.
Dari tempatku duduk, di balik kaca jendela, kulihat para aparat yang, seperti aneka perabot dalam kosku di akhir pekan, berserakan di mana-mana. Beberapa sedang main kartu. Di sudut lain, sedang tertawa menonton sebuah tayangan di ponsel mereka. Di pintu, seorang laki-laki sedang berbicara dengan ponsel di tangan kanan dan rokok di antara jemari tangan kirinya. Semuanya buncit!
Negara harusnya berterima kasih kepada pembunuh yang telah membunuh penjahat! Ya, Negara harusnya berterima kasih karena aku telah membersihkan Hellyasukromarjo. Meskipun pendapat sampah busuk itu tentang polisi itu ada benarnya. Apa yang bisa diharapkan dari aparat perut buncit?
Negara harusnya berterima kasih kepada pembunuh yang telah membunuh penjahat!
Ng
“Sudah sampai, Kak,” kata sopir itu lagi.
“Ini,” aku memberikan selembar uang merah jambu. “Maju tiga puluh meter lagi ya. Di depan mal baru itu. Kembaliannya ambil saja.”
Kakinya menekan pedal gas, lambat, pelan, namun meyakinkan.
Lubuklinggau, 22 Februari 2024