Naraščajoča
AKU tahu Omar tersinggung dengan kata-kata Kiai yang beredar di kalangan pesantren hingga akhirnya … sampai ke telinga kami. Dan aku juga tahu kalau putra semata wayangku itu pun tak bisa berbuat apa-apa sebab, kalaupun ayah tirinya memang mengatakan itu, Omar, pun ibunya ini, bisa berbuat apa?
“Benar Mak memegang buku tabungan itu?”
“Bank Slovenia?” konfirmasiku, ketus. Sempat-sempatnya Omar membicarakan urusan sensitif beberapa jam sebelum bertolak ke Bandara Gilgit. Lima hari di utara Pakistan ini ngapain saja?!
Kalau masih butuh uang, kan ia tinggal ngomong. Aku pasti mengirimkannya seperti selama ini. Apalagi pembuangan Kiai ke Pakistan justru membuat pesantren suamiku makin diminati sehingga berapa pun yang kuminta untuk Omar, Kiai tak pernah mempermasalahkannya. Uh, kekusutan ini membuatku bersyukur tidak menepuk-nepuk punggungnya hanya untuk bilang “Sabar ya, Mar” ketika pemilik Old Hunza Inn—yang ketika itu sedang menjenguk vila yang Kiai sewa—menyebut Omar sangat beruntung karena memiliki ayah seperti Kiai.
“Aku tidak apa-apa, Mak.” Omar menoleh, menolak kukasihani.
Sejak menerima pinangan Kiai, semua kebutuhan Omar dari kelas satu SMP sampai tahun kedua kuliah ditanggung suamiku itu. Tidak itu saja, bersama sahabatnya Amir, karena kesalihan dan ketangkasan mereka berdua dalam bela diri, Omar mengawal Kiai ke mana-mana. Tapi, begitu mengetahui kalau Kiai memiliki dua istri—dua istri!—beberapa hari setelah ia dibuang ke selatan Asia, Omar dan Amir putar haluan. Omar kuliah ke Inggris dan tak mau bicara dengan ayah tirinya lagi, sementara Amir malah mengabdi pada Dammahum!
Omar sempat marah ketika teleponku bukan untuk mengucapkan selamat atas pemuatan esainya di New York Times, melainkan membuka status uang kirimanku kepadanya selama ini. Sejak itu, ia tidak mau lagi menerima kiriman uang dariku. Tentu saja sikapnya terlihat berlebihan di mataku. Meskipun aku tidak tega bilang, “Memangnya berapa sih penghasilan penulis?”. Tidak. Tidak akan mungkin aku mengecewainya. “Tapi, anakkku Omar,” ingin sekali aku mengelus-elus rambutnya seperti ia kecil dulu, “memangnya dari mana makmu ini dapat uang kalau bukan dari Kiai?”
“Jadi kebun karet kita tak lagi menghasilkan?” tanyanya usai Kiai meninggalkan kami berdua di beranda vila usai makan malam.
Aku tidak menyangka ia masih mengingat kebun yang sudah kujual untuk membantu ibu sahabatnya yang jatuh miskin karena ditinggalkan suami yang menikah lagi. “Ibunya Amir sudah seperti ibuku sendiri, Mak,” rengeknya 15 tahun yang lalu. Tidakkah kau ingat semua itu, Mar?
Omar diam.
“Biaya kuliahmu masih bisa diurus ayahmu. Begitu pikiranku waktu itu.”
Omar masih diam. Aku tak tahu, apakah kata-kataku membuka kesadarannya atau karena yang lain ….
Percakapan kami tak berlanjut hingga ia bertolak ke Austria via Paris dari Gilgit untuk residensi menulisnya di Eropa Timur selama tiga bulan. “Bagaimana Salzburg?” kataku sebulan yang lalu di pelantang suara ponsel.
“Kota yang indah, Mak,” katanya. “Ke Eropa Timur waktu itu, Mak menyempatkan ke sini, ‘kan?”
Aku mengangguk, meski aku tahu ia tak bisa melihatnya. “Kabar tentang kematian Dammahum sudah sampai kepadamu, Mar?”
Hening.
“Kami juga baru tahu.”
“Aku tidak menyalahkan Mak dan Kiai.”
Ah, Omar, kenapa kau masih memanggil ayah tirimu Kiai? Apakah ‘rekonsiliasi’ kalian di Hunza tidak lagi berlaku ketika kau akhirnya mengetahui bahwa ayah tirimulah yang membiayai hidupmu selama ini? Ah.
“Aku sekarang justru sedang di Slovenia, Mak.”
“Apa?” Omar pasti menangkap keterkejutanku. “Kau menemukan makamnya?”
“Baru kemarin, Mak.”
“Oh ….”
“Di hari kesembilanku di Ljubljana.”
“Kata ayahmu …” aku terenyak oleh kata-kataku sendiri. Aku ingin mengganti ayahmu dengan Kiai, tapi telat …
“Apa kata Kiai, Mak?”
“Pekan ini kami akan ke sana.”
“Aku mungkin sudah balik ke Austria, Mak.”
“Nanti kami mampir ke Salzburg.”
“Oh tidak perlu,” ralat Omar. “Akan kusempatkan bertemu Kabari kalau kalian sudah tiba. Aku ingin mengajak Mak ke sungai Ljubljanica.”
Hanya bertemu aku, Mar?
“Bukanlah, kata Mak dulu, Mak hanya sempat membuka buku tabungan di Ljubljana?”
“Kiai yang membuatkannya, Mar,” kataku datar. Aku dan Kiai, batinku melengkapi.
“Mak,” suaranya seperti menginterupsi, “kenapa Kiai mau mencari tahu makam murid yang telah mengkhianatinya, pemimpin yang zalim pada rakyatnya?”
“Kiai yakin Dammahum melakukan hal-hal yang kita sebut buruk itu bukan tanpa alasan, Mar.”
“Semua kita begitu, Mak,” kejar Omar. “Mana ada kita melakukan sesuatu tanpa motif. Mak jangan main kata sama penulis. Pasti ada hal lain.”
“Kamu sendiri?” Aku mencoba, entah, apakah mengalihkan percakapan atau menantang balik Omar ….
“Orang nomor satu tanah air dimakamkan di Eropa Timur bagiku menarik. Meski aku belum tahu akan menulis apa tentang pemimpin yang menyebabkan Kiai malah betah di Hunza itu.”
“Kiai dan Dammahum sama-sama mengidolakan Jože Plečnik.”
Omar mengerutkan kening, mengingat-ngingat.
“O, bagaimana kau baru ingat? Penulis macam apa kau ini!”
“Bukannya Kiai lebih mengidolakan Gaudi, Mak?”
“Sejak bertemu Dammahum, ia tahu kalau Plečnik kerap disejajarkan dengan arsitek Sagrada Familia itu.”
“Padahal bisa saja itu akal-akalan Dammahum agar ….”
“Kalau begitu cara pandangmu, Mar,” potongku, “Plečnik-lah yang beruntung disandingkan dengan Gaudi. Bukan sebaliknya.”
Omar menghela napas.
“Maaf, Mak .…”
“Apa-apaan, Mar,” tepisku.
“… kenapa Amir tak pernah bercerita tentang bantuan kita itu ya, Mak?”
“Mar?” Bagaimana ia bisa semaunya mengubah topik. “Aku sudah menyampaikan pendapatmu tentang Plečnik yang ambisius sehingga mendesain ulang Ljubljana sejak gempa besar 1895 meluluhlantakkan kota itu. Kalau bencana itu menginspirasinya, sungguh ia seorang sadistis.”
“Demi Allah,” kata Omar buru-buru, “aku tidak bermaksud menuduh Mak menyalahgunakannya.”
“Antoni Gaudi jelas tak punya aib sebagaimana Plečnik, Mar!”
“Karena kadung tahu keberadaan Kiai di balik layar hidupku, aku juga ingin tahu kenapa Amir bersikap aneh.”
“Kita akan ketemu di Jembatan Tiga Lipat di Ljubljana nanti, Mar.”
“Mak!”
Aku menggigil di ujung pelantang-suara ponsel. Omar pasti bisa merasakannya.
“Mak kenapa begini?!”
Aku tahu, aku salah.
“Persetan sama Plečnik dan Gaudi!”
“Maaf, Mar.”
“Persetan juga sama Dammahum yang mati secara misterius! Persetan dengan musabab pemakamannya di Ljubljana, sementara ia mengembuskan napas terakhir di Pakistan, dan semua keluarga besarnya yang kaya raya itu justru ada di Singapura!”
Aku memaklumi kemarahannya. “Kamu tahu kabar tentang Dammahum sempat menyamar menjadi orang biasa?” aku bicara dangan volume pelan, tapi aku yakin ia masih bisa mendengarku.
“Sebutan orang biasa rasanya tidak tepat karena ia membelah diri menjadi pegiat literasi yang pintar ngomong.”
“Dan menjadi yang lain-lain juga.”
“Apakah benar bahwa garin yang mempermalukannya dalam sebuah penyamaran beberapa tahun silam adalah Kiai?”
“Muridnya Kiai malah, Mar.”
“Sampai sekarang aku tak habis pikir, Mak,” kataku, “bagaimana bisa aku dan Amir tidak mengendus ketidakberesan sekutu jin itu.”
“Sebagaimana kau tidak menyangka kalau Amir yang tak pernah pacaran, sepeninggal Kiai, menjadi sopir Dammahum ….”
“… dan berpacaran dengan Jannah?”
Aku tertawa. Omar juga ikut tertawa.
“Kamu memang sudah tahu semua?”
“Aku juga tahu kalau Dammahum takut istri, Mak.”
“Dammahum yang mana?”
“Dammahum bisa membelah diri di luar, tapi tidak ketika berada di dalam rumah.”
“Aku juga tidak tahu, Mar.”
“Lalu, apa hubungan antara kemampuan Dammahum membelah diri dan Amir yang tak berkabar?”
“Sabar, Mar.” Omar memang cerkas. Meski kukelak-kelokkan sedemikian rupa, ia masih ingat hulu percakapan kami.
Hening.
“Pertama,” aku menghela napas, “Amir sibuk bekerja padanya. Kedua, itu bertepatan dengan pemberian bantuan kepada ibunya Amir.”
“Amir tidak tahu?”
“Mana aku tahu,” aku menolak disalahkan. “Yang jelas, hubungan Amir dan kakak-kakaknya sudah lama terganggu sejak mereka memilih ikut ayah dan ibu tiri mereka,” terangku. “Amir juga mungkin menjaga jarak atau … bisa saja malu kepadamu dan keluarga kita, Mar.”
Omar diam lagi. Mungkin ia sedang berpikir kenapa ia tidak menganalisis masalah itu sejernih aku. Ah, Omar, apa pentingnya aku memberi tahu anak 12 tahun sebagaimana tak perlu kuberi tahu bahwa, karena ketaktelitianku membaca surat perjanjian, kebun itu baru dibayar 8 tahun kemudian … sampai kemudian uang—tiga ratus juta—itu yang mulanya kuniatkan untuk menguliahkan Omar, malah digunakan untuk membantu keluarga Amir. “Tapi, tidakkah apa yang Kiai lakukan pada kau dan aku adalah semacam balasan dari Allah, Mar?” Aku mengungkit lagi jatah bulanan dua puluh juta yang Kiai transfer tiap tanggal enam.
“Berapa saldo yang tercetak?” kejar Omar.
“Seribu dua ratusan euro.” Ya, aku ingat, Kiai memberikan buku tabungan bersampul Banka Slovenije di kereta ketika kami melakukan perjalanan dari Ljubljana ke Budapest.
Omar menutup percakapan dan terus mengingatkan perihal buku tabungan.
Lima hari kemudian, kami merancang pertemuan di tepi sungai Ljubljanica pada suatu siang yang sejuk di bulan Mei. “Tanpa Kiai,” tegas Omar.
“Kami baru pulang dari ziarah,” kataku. “Kiai sedang istirahat.”
Kami melewati begitu saja kanal-kanal Ljubljanica, menyusuri jalan sekunder di selatan yang dipayungi kanopi mapel yang sedang jingga-jingganya. Dua puluh menit kemudian, bangunan klasik bertuliskan Banka Slovenije berdiri gagah di hadapan kami.
“Bagaimana, Mak?” desaknya ketika aku memandangi angka tujuh juta tujuh ratus enam puluh enam ribu euro di bagian bawah halaman pertama buku tabungan dengan wajah memerah dan gelombang yang mengaduk-aduk dada. Kecuali setoran pertama, semua merupakan kiriman atas nama Omar Salamullah. “Mungkin Maryam Jayarini—istri tuanya yang tak pernah Kiai siarkan ke publik—itu lebih membutuhkan daripada seorang madu sepertimu, Mak.”
Air bah itu menjebol dadaku. Dari bangku taman Banka Slovenije ini, segalanya menyepia di mataku yang basah.
“Ada Omar, Mak,” Omar menggamit bahuku hingga punggungku bersandar di lekuk lengannya. “Sudah ada Omar, Mak,” tegasnya.
Aku mendongak. Dari rahangnya yang bergemeretak, Omar bagai hendak menanyakan hal yang sama untuk kali kesekian. Aku pikir, aku sudah mampu menjawabnya. Mungkin memang sudah saatnya aku melepaskan diri dari … Kiai. Selamanya. Segalanya. Selepas-lepasnya. Sejauh-jauhnya.