Motivasi “Terbaik” untuk Menulis

 Motivasi “Terbaik” untuk Menulis

Syarat menulis bagus ada 4: membaca banyak, menulis banyak. Duanya lagi?

Kesibukan, kondisi ekonomi, atau situasi politik yang tidak menguntungkan, bagi penulis-yang-meledak-karena-membaca, bukanlah lubang-lubang hambatan, melainkan celah peluang!

Alami adalah sifat terbaik untuk tumbuh. Dalam pengertian harfiah: pohon yang akarnya menancap dalam, menerima hujan dan sinar tanpa dipaksa, dengan daun yang bergerak mengikuti ritme angin, akan melahirkan buah yang bukan hanya tampak manis tetapi juga tangguh menanggung musim. Sebuah mangga yang tumbuh di tanah subur, kaya unsur hara, dirawat dengan sabar, akan lebih tahan terhadap cuaca dan hama dibanding mangga besar berkilau di pasar, yang tumbuh dari pohon disemprot pupuk kimia tiap pekan. Buah cepat matang, tapi pohonnya rapuh. Ia tumbuh cepat, lalu patah cepat.

Begitu pula dalam bidang lain. Seorang pengrajin tembikar di Kyoto tak pernah terburu-buru mengeluarkan hasil dari tungku. Tangan tuanya menunggu retakan kecil yang memberi kekuatan pada tekstur. “Kesempurnaan,” kata mereka, “lahir dari ketidaksempurnaan yang diterima.” Atau lihat seorang musisi jalanan di Buenos Aires yang berlatih setiap malam di bawah jembatan; nada-nadanya mungkin sederhana, tapi tubuhnya terbentuk oleh disiplin, bukan oleh penonton yang menyoraki. Ia mungkin tak terkenal, tetapi tangguh, karena tumbuh dengan waktu.

Begitu pula menulis. Motivasi terbaik untuk menulis bukanlah memiliki karya, bukan terapi stres, bukan pula ambisi menjadi kaya atau terkenal. Dorongan-dorongan itu seperti pupuk kimia yang disemprot ke tubuh kata-kata. Ia mempercepat pertumbuhan, tetapi melemahkan akar. Karya bisa lahir dari situ, tetapi jarang bertahan lama. Karena akselerasi, betapa pun canggih namanya, sering hanyalah bentuk baru dari jalan pintas.

Lalu, apa motivasi terbaik untuk menulis? Jawabannya sederhana: membaca.

Ya, sejatinya, sealaminya, menulis adalah luapan dari aktivitas membaca. Ketika membaca tak lagi cukup menampung keingintahuan, ketika kalimat-kalimat dalam buku terasa seperti undangan untuk berdialog, ketika buku-buku bagus menyeretmu ke gelanggang dan berteriak “Jangan ngedumel muluk, tulis yang terbaik versimu!”, di sanalah kamu tersudut. Kamu terdesak dan “tak punya” pilihan selain me-nu-lis!

Susan Sontag menulis, “Reading usually precedes writing. And the impulse to write is almost always fired by reading.” Kata-kata Sontag itu bukan nasihat kosong; ia sendiri menghidupi bacaan hingga tubuhnya menjadi perpanjangan dari perpustakaan.

Lihatlah Haruki Murakami. Ia bukan lulusan sastra, bukan pula penulis sejak muda. Ia pemilik bar jazz di Tokyo. Tapi malam-malam panjangnya diisi dengan membaca Fitzgerald, Dostoevsky, dan Carver. Ketika akhirnya menulis Hear the Wind Sing, ia menulis bukan karena ingin terkenal, tetapi karena kata-kata dalam buku-buku itu mulai mendesak keluar dari dalam dirinya. Murakami tumbuh bukan dari ambisi, melainkan dari kebiasaan membaca yang panjang dan tekun. Itulah yang menjadikannya tangguh, produktif, dan konsisten merilis karya bagus.

Atau Toni Morrison. Sebelum menulis The Bluest Eye, ia membaca dunia: membaca sejarah bangsanya, membaca luka perempuannya, membaca diam ibu-ibu kulit hitam di ruang tamu kecil Amerika. Ia menulis karena membaca tak lagi cukup. “If there’s a book that you want to read, but it hasn’t been written yet, then you must write it,” katanya. Morrison membaca dengan ketabahan, menulis dengan kesadaran, dan bertahan dengan keberanian. Ia tangguh karena membaca mengajarkannya bertahan dalam rasa sakit dan diam, bukan karena penghargaan yang ia menangkan.

Begitu juga R.K. Narayan di India. Ia menulis setiap pagi di beranda kecil rumahnya di Mysore, membaca ulang setiap paragrafnya dengan sabar, dan tak pernah tergoda untuk pindah ke kota besar demi popularitas. Karya-karyanya, yang bercerita tentang kota fiksi Malgudi dan orang-orang kecil di dalamnya, lahir dari keseharian yang dibacanya dengan teliti. Ketika teman-temannya berlomba mengirimkan naskah ke London, Narayan hanya membaca ulang karangan lamanya. Ia tahu: menulis bukan perlombaan, melainkan ketekunan yang tumbuh pelan tapi kuat.

Penelitian juga mendukung hal ini. Studi Miftahul Jannah, Sahiruddin, dan Roosi Rusmawati (Universitas Brawijaya, 2022) menunjukkan bahwa motivasi membaca intrinsik memiliki korelasi jauh lebih kuat dengan kemahiran berbahasa dibanding motivasi ekstrinsik. Artinya, dorongan dari dalam diri (rasa ingin tahu, rasa senang membaca) lebih tahan lama daripada dorongan luar seperti nilai, hadiah, atau pengakuan. Penelitian lain oleh Masrul Masrul dan Sri Yuliani (Unisla, n.d.) juga menunjukkan bahwa motivasi yang tumbuh dari self-efficacy berkaitan langsung dengan performa menulis siswa. Membaca dan menulis saling meneguhkan; yang satu mengakar, yang lain berbuah.

Bangsa-bangsa yang menempatkan membaca sebagai kebiasaan juga membuktikan hal serupa. Di Islandia, setiap malam Natal mereka merayakan Jólabókaflóð, “banjir buku,” saat keluarga saling bertukar buku dan membaca bersama hingga pagi. Di Jepang, rak buku di stasiun kereta diisi gratis untuk siapa pun yang menunggu. Di Finlandia, negara yang berulang kali menempati peringkat pertama World’s Most Literate Nation, membaca bukan sekadar kegiatan, melainkan budaya bertahan hidup. Tidak heran jika negara-negara itu juga dikenal sebagai rumah bagi penulis-penulis tangguh yang menulis seumur hidup, bukan sekadar untuk terkenal.

Mengapa membaca bisa menjadi motivasi terbaik untuk menulis? Karena membaca adalah proses membangun daya tahan lewat bahasa, gaya teks, dan topik narratives. Setiap kalimat yang kita baca adalah bekal untuk berteman dengan sunyi di depan layar. Jean M. Auel pernah berkata, “You learn to write by writing, and by reading and thinking about how writers have created their characters.” Menulis tanpa membaca ibarat seseorang yang sepanjang hidupnya leyeh-leyeh memutuskan ikut lomba lari untuk kali pertama.

Dalam kelas menulis saya, ketika ada yang bertanya: “Bagaimana cara menulis yang bagus?”, saya kerap mengutip Stephen King: banyak membaca, banyak menulis. Kalau ada yang menginginkan saran lebih dari dua, saya biasanya menambahkan menjadi empat: membaca banyak, menulis banyak, membaca banyak sekali, menulis banyak sekali. 

Membaca menyiapkan kita untuk memiliki kesabaran. Menulis menuntut kita menggunakannya. Gabriel García Márquez menulis Seratus Tahun Kesunyian setelah bertahun-tahun membaca surat kabar, buku sejarah, dan kisah rakyat Kolombia. Ia menulis dari akumulasi, bukan impuls. Dari kesabaran, bukan sekadar kegelisahan.

Karena itu, bila seseorang menulis hanya untuk melepaskan stres, ia sedang menulis untuk melupakan, bukan untuk bergerak maju. Bila menulis demi terkenal, ia menulis untuk dilihat, bukan untuk jadi kuat. Tapi bila menulis karena membaca telah memenuhi dirinya hingga tak tertampung lagi, ia sedang menumbuhkan daya tahan untuk menawarkan perubahan lewat sudut pandang.

Menulis bukan tujuan akhir. Ia adalah lanjutan alami dari membaca. Akar membaca memanjangkan batang ketangguhan penulis. Buah yang dihasilkan bukan sekadar manis, tetapi tahan lama menghadapi musim dan zaman. Kesibukan, kondisi ekonomi, atau situasi politik yang tidak menguntungkan, bagi penulis-yang-meledak-karena-membaca, bukanlah lubang-lubang hambatan, melainkan celah peluang!(*)

Lubuklinggau, 1 November 2025

Benny Arnas

https://bennyarnas.com

Penulis & Pegiat Literasi

5 Comments

  • Tulisan yang luar biasa.
    Tulisan yang mengisyaratkan  “sesuatu yang mudah didapat cenderung mudah lenyap”. Terimakasih untuk tulisan yang begitu menginspirasi

  • Karena tulisan ini jadi banyak tahu, termasuk tentang Jólabókaflóð sehingga memunculkan harapan, kalau emang bisa main ke Islandia suatu saat, semoga bertepatan dengan malam Natal biar bisa ngerasain momen itu.

    Aku baca tulisan bang Benny ini pasca (pada akhirnya) berhasil menghasilkan satu cerpen lagi, setelah sekian abad gak nulis cerpen. Akhirnya ngerasain lagi sensasi beda pasca nulis fiksi itu.

  • Semoga tulisan ini menjadi pengingat kita semua baik bagi siapa saja yang ingin menulis: bukan untuk mengejar kemilau, melainkan untuk membiarkan kata-kata tumbuh dari bacaan dan pengalaman yang diproses dengan sabar.. 🥹👍🏻 terus menulis Bang Ben..

  • Kasihhh paham bang…

  • Website Scam Penipu Indonesia, situs penipu SITUS SEXS

Leave a Reply to Rian Sastranegara Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *