Keledai (Tidak) Membaca
OIeh Benny Arnas
Harian Rakyat Sumbar, 23-24 Juni 2023
“Jika kau tak temui adab pada dirinya, kau tak perlu buang-buang waktu belajar ilmu kepadanya.”
Aaliyah bint Shurayk al-Azdiyya kepada Malik bin Anas
Buat apa perintah iqra turun? Untuk membaca? Membaca apa? Membaca apa saja. Ini bukan kabar gembira bagi yang malas membaca buku apalagi menulis. Ini adalah kabar buruk bagi yang memperlakukan aktivitas literasi sebagai “sekadar membaca”. Sekadar iqra.
Sekadar Iqra
Sekadar iqra adalah membaca tanpa menelaah; membaca tanpa kritisisme; membaca tanpa mengamalkan; membaca dengan khidmat dalam perpustakaan pribadi yang luas, sejuk, dan musik jazz mengalun lembut dari pengeras suara di sudut langit-langitnya; membaca agar terlihat cerdas dan memukau; membaca agar menjadi rajadiraja kecendikiaan.
Perilaku sekadar iqra demikian membuat para pelakunya berkubang dalam pusaran ilusi kehebatan di atas. Makin jemawa mereka, makin angslup diri dan jiwanya ke dalam kealfaan. Di waktu yang terbatas, ia membaca apa saja. Ia banyak tahu, tapi sedikit-sedikit, sekadar permukaan, sekadar jangan tertinggal dari kencangnya sprint informasi. Bahkan, ia banyak menulis, tapi teksnya tak pernah menggerakkan. Ia banyak bicara, tapi kata-katanya menjadi kembang api. Meledak sekali, memercik, lalu padam. Orang-orang cepat terpukau, tapi lekas pula lupa begitu layar turun menutup panggung.
Membaca, dan Masih Terpeleset
Bagi yang membaca dengan khidmat pun bisa terpeleset ke jurang sekadar iqra apabila pengetahuan dalam dirinya hanya untuk dirinya. Itu saja? Tidak. Bahkan, kalaupun pengetahuan itu bermanfaat bagi banyak orang karena berhasil ia tuliskan dengan baik, misalnya, ia akan tetap sekadar iqra kalau justru menciptakan lingkungan yang menuhankan ilmu pengetahuan semata. Akibatnya, informasi penting lalu-lalang dalam kehidupan, dan diskusi dan debat tentang pengetahuan pun marak sehingga melahirkan banyak orang berkemampuan pas-pasan menghina para ahli.
Kalaupun pengetahuan yang lahir dari aktivitas membaca atau literasi lainnya itu menjelma tindakan, karya, atau gerakan, ia akan tetap sekadar iqra apabila hanya membuat ia dan lingkungannya menjadi kritis, tapi tak peka.
Membaca banyak membuat kita memiliki pengetahuan. Pengetahuan akan memudahkan kita berbuat, berkarya. Karya-karya akan menjadi jenama. Dan memiliki jenama adalah keistimewaan cum kemudahan untuk memengaruhi banyak orang. Tapi, sampai di situ pun kita sebenarnya belum diperkenankan berhenti.
Hilir Iqra
Aktivitas iqra, yang kemudian menjadikan kita mahir memimpin, menganalisis, menulis, memengaruhi orang lain, dan lain sebagainya, memiliki hilir yang jarang disadari. Apa itu? Tindakan? Belum cukup. Hilir aktivitas membaca adalah menjadi peka!
Tindakan berbunga karya. Kepekaan berbuah kebermanfaatan.
Buat apa menuhankan karya, buku-buku bagus, tulisan-tulisan megah, perusahaan dengan banyak cabang, komunitas gemuk anggota, atau hal-hal yang kelihatan besar lainnya, apabila semuanya malah menjadikan kita pribadi yang tidak peka, tunarasa, tidak rendah hati, tak acuh dengan orang lain dan lingkungan.
Pokoknya karya adalah segala-galanya!
Aduh, buat apa? Buat apa?
Ilmu yang Bermanfaat
Kemenjulangan yang tidak memedulikan kemanusiaan adalah menara gading. Adalah keindahan yang keropos. Adalah cerita yang seru tanpa pesan. Adalah pengembaraan tanpa tahu ke mana hendak pulang. Adalah buku-buku terbaik di balik lemari emas yang tak bisa dibuka. Adalah perhiasan yang dikenakan manekin. Adalah lukisan yang dilihat dari dekat: hanya berupa cat yang belepotan.
Adalah kegagahan lanskap besi.
Begitu diterpa sinar matahari, orang-orang awam akan menyalahkan mata mereka yang gagal menaklukkan silau, sementara orang-orang peka tahu bahwa pemandangan sebenarnya adalah hati yang lapang dan ilmu yang bermanfaat.
Ketidakpekaan rawan membuat kita gampang mengklaim paling baik karena ilmu, menuduh tanpa bukti karena ilmu, memanfaatkan ketaklid-butaan awam sehingga merasa berhak mengambil tanpa izin, atau bahkan menghilangkan periuk nasi orang lain karena menganggapnya inkompeten!
Buat apa?
Sungguh betapa bumerangnya ilmu itu. Sampai-sampai, mereka yang dipeluknya erat-erat sukar bernapas, terus hibuk memperkaya diri dengannya. Sampai-sampai tak lagi mau tahu bahwa penting menjadi peka, penting mencukupkan jiwa dengan adab. Syaikh Ibnu Mubarak, seorang yang sangat salih dan berilmu, terang benderang menyatakan, “Aku belajar ilmu selama dua puluh tahun. Lama? Tidak. Aku bahkan membutuhkan tiga puluh tahun lamanya untuk belajar satu hal yang lebih penting dari segala: adab.”
Dan sebagaimana pesan ibunda pakar fikih, hadis, dan pendiri Mahzab Maliki yang membuka tulisan ini, ilmu, pengetahuan, kecakapan, popularitas, atau bahkan militansi, bukanlah urusan fundamental yang membuat manusia layak diteladani. Adalah kualitas tindakan, sikap, tingkah laku, dan refleksitas respons terhadap kemanusiaanlah memuncaki segala. Agar melahirkan apa? Kepekaan. Dalam wujud simpati, empati, dan kasih sayang.
Hakikat Ilmu
Jadi, sebanyak apa pun koleksi buku kita dapat saja menjadi hanyalah kumpulan jilidan teks yang diberi sampul apabila ia tidak memberi manfaat kepada banyak orang. Urusan kita dengan buku adalah bukan sekadar membacanya untuk kemudian memajangnya. Urusan kita dengan buku adalah lebih besar dari itu. Urusan kita dengan buku adalah urusan kita dengan pengetahuan. Semakin buku-buku itu dikungkung, baik oleh tempat penyimpanan atau larangan untuk meminjam, semakin jauh ia dari hakikat ilmu itu sendiri: kebermanfaatan sosial.
Selama belum mengamalkan itu, urusan pegiat literasi dan kreator, sungguh sekadar gagah-gagahan. Sekadar pamer. Sekadar banyak baca. Sekadar iqra. Sekadar, sebagaimana termaktub dalam Al Jumuah ayat 5, seekor keledai yang memikul buku-buku tebal.(*)